Bareksa.com - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menerbitkan aturan turunan dari Peraturan Presiden No. 40/2016, yakni Peraturan Menteri ESDM No. 16/2016. Ketentuan ini mengatur lebih rinci tentang penetapan harga gas untuk tujuh industri prioritas. Meskipun demikian, ternyata implementasi dari peraturan tersebut masih belum dapat dirasakan dalam waktu dekat karena memerlukan sejumlah proses dan persyaratan lanjutan.
Mengutip peraturan yang diundangkan di Jakarta pada tanggal 22 Juni 2016 tersebut, Menteri ESDM dapat menetapkan harga gas bila tidak dapat memenuhi keekonomian industri pengguna gas bumi dan harga lebih tinggi dari US$6 per MMBTU (million metric british thermal unit). Penurunan harga maksimal yang bisa diberikan adalah sebesar US$2 per MMBTU.
Penyesuaian harga gas bumi ini dilakukan melalui dua cara yaitu langsung dari sisi Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) migas atau melalui badan usaha pemegang izin usaha niaga gas bumi, alias distributor gas. Dalam cara pertama, pemerintah bisa mengurangi bagian yang diterima dalam production sharing contract (PSC) tanpa mengurangi porsi hak KKKS. Dalam cara kedua, penyesuaian dilakukan setelah harga gas dari kontraktor diturunkan.
Namun, untuk mendapatkan harga gas bumi tertentu, pengguna gas harus mengajukan permohonan kepada Menteri ESDM melalui Direktur Jenderal Migas. Itupun dibutuhkan rekomendasi dari Menteri Perindustrian. Bila sudah ada rekomendasi, perlu ada verifikasi lagi oleh tim penentuan harga gas.
Jadi, meskipun sudah ditetapkan tujuh industri prioritas -- pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet -- setiap pengguna gas bumi tidak otomatis menikmati penurunan harga. Pasalnya, setiap pengguna harus mengajukan sendiri-sendiri permohonan penetapan harga gas yang dilampirkan dengan laporan keuangan dan kontrak jual beli gas saat ini yang akan dijadikan bahan pertimbangan oleh Kementerian ESDM.
Oleh sebab itu, para pelaku industri pada umumnya masih belum akan menikmati secara langsung penurunan harga gas, pasca terbitnya Permen ESDM tersebut. Ketua Asosiasi Industri Olefin, Aromatik dan Plastik (Inaplas) Budi Susanto Sadiman mengakui belum merasakan dampak dari terbitnya aturan turunan itu. "Masih terlalu dini untuk melihat hasil penerapan Permen tersebut," ujarnya kepada Bareksa.
Akan tetapi, Budi masih optimistis harga gas industri dalam negeri bisa turun karena ada prospek baik di sisi hulu maupun distribusinya. Menurutnya, dengan Permen ESDM ini kemungkinan harga gas turun makin besar karena merombak pola distribusi, mengurangi kemungkinan pengaturan atau permainan oleh pemain lama di sektor distribusi.
"Sekarang prospeknya di sisi hulu dan distribusi, artinya harga US$6/mmbtu bukan hal yang mustahil," katanya.
Permen ESDM 16/2016 itu juga mengancam akan memberikan sanksi bagi para distributor yang tidak melakukan penyesuaian harga gas bumi yang dijual kepada pengguna sesuai yang dibeli dari kontraktor. Sanksi tersebut mulai dari teguran tertulis, pembekuan izin usaha, hingga pencabutan izin usaha.
Tata Niaga Gas
Harga gas Indonesia memang tergolong mahal bila dibandingkan dengan harga di negara-negara tetangga. Harga gas di Indonesia berkisar antara US$9-11 per MMBTU, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di Malaysia yang hanya sekitar US$4 per MMBTU. (Baca juga: Harga Gas Indonesia Selangit, Realisasi Perpres Jokowi Ditunggu Industri)
Menurut Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Amien Sunaryadi, ada beberapa faktor yang menjadikan harga gas mahal: faktor hulu, midstream dan distribusi. Khusus di hulu saja, masalah utama yang sedang dihadapi adalah peningkatan harga tidak wajar (mark up) dalam transaksi pengadaan yang berimbas kepada cost recovery dalam production sharing contract.
"Mark up ini yang harus dihilangkan. Di Malaysia, saya kira sogok-menyogok di area ini tidak separah di Indonesia, karena itu harga gas mereka bisa lebih murah," ujar Amien dalam wawancara khusus dengan tim riset Bareksa.
Amien juga melihat adanya inefisiensi harga gas di midstream dan hilir, contohnya perhitungan biaya yang tidak wajar di Kilang Arun, salah satu kilang LNG terbesar nasional. Selain itu, peningkatan harga di distribusi terjadi karena banyak pihak yang ingin mencari untung besar tanpa punya modal. (Baca juga Kepala SKK Migas: "Harga Gas Indonesia Lebih Mahal dari Malaysia Karena Markup")
Sementara itu, Direktur Utama PT Badak LNG Salis Aprilian menilai bahwa mahalnya ongkos distribusi gas di Indonesia karena belum ada infrastruktur yang memadai. Menurutnya, distributor pemilik pipa gas sekarang ini bisa membeli gas dengan harga murah, tapi lalu dengan begitu leluasa bisa menjualnya kembali dengan harga sangat tinggi. Sebagai catatan, Badak LNG merupakan anak usaha PT Pertamina yang memiliki kilang pengolahan gas cair (LNG) dan distribusinya.
"Distributor ini beli dari pemerintah murah, karena sudah memonopoli harga maka dia menjual dengan harga tinggi. Jadi hal seperti ini yang harus ditata. Jangan sampai yang hanya membangun pipa dengan biaya yang tidak terlalu besar bisa memonopoli pasokan," katanya kepada Bareksa.
Gambar: Peta Rencana Induk Jaringan Transmisi dan Distribusi Gas Bumi Nasional 2010-2025
Sumber: Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
Dia juga mengatakan kondisi di Indonesia ini sangat jauh berbeda dengan di Amerika Serikat yang harga gas buminya hanya sekitar US$2 per MMBTU. Hal itu dikarenakan hampir seluruh wilayah Amerika adalah dataran, berbeda dengan Indonesia yang kepulauan. Apalagi, sejak puluhan taun lalu, AS sudah punya pipa gas yang secara masif sudah terhubung semua. Hal ini berbeda dengan Indonesia yang hanya memiliki jaringan gas yang masih minim, seperti terlihat dalam gambar.
Oleh sebab itu, Salis menjelaskan bahwa kunci dari harga gas murah dan pasokan stabil adalah di infrastruktur. Dia pun mendukung Badan Usaha Milik Negara (BUMN) termasuk PT Pertagas dan PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) untuk dapat bersatu dalam penyaluran gas dan menyingkirkan sebagian distributor swasta yang sekarang seenaknya menetapkan harga. "Jadi, kuncinya di infrastruktur," dia menegaskan. (kd)