Bareksa.com - Pemerintahan Jokowi sedang berupaya menurunkan harga gas industri di Indonesia, yang saat ini dinilai kelewat mahal bahkan jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia. Untuk itu Presiden Jokowi telah menandatangani Peraturan Presiden No. 40/2016; disusul dengan Peraturan Menteri ESDM No. 16/2016 yang menjabarkan teknis pengaturan harga gas untuk tujuh industri prioritas.
Untuk mendalami hal ini, tim riset Bareksa mewawancarai secara khusus Amien Sunaryadi, Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Sebagaimana diketahui, harga gas di wilayah hulu merupakan domain SKK Migas sebagai regulator produsen dan kontraktor migas.
Sebelum menjabat sebagai Kepala SKK Migas, Amien merupakan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi di awal kelahirannya (2003-07) dan merupakan salah satu arsitek utama pendirian lembaga anti rasuah ini. Berikut petikan wawancara dengan auditor kelahiran Malang, 23 Januari 1960 ini.
Dengan adanya Perpres 40/2016 ini apakah kontrak antara SKK Migas dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) migas akan berubah?
Tidak, perjanjian kontrak antar SKK Migas dengan KKKS tidak berubah. Berdasarkan perjanjian itu, ada penerimaan negara atau hasil bagian negara dan ada bagian kontraktor. Bagian kontraktor itu dijaga, tidak akan berkurang sedikit pun. Kalau di awal KKKS terima $10 juta, nanti akan tetap sebesar itu. Namun, penerimaan bagian negara bisa berkurang. Kenapa? Karena harga jualnya diturunkan.
Apa sebetulnya yang menyebabkan harga gas di Indonesia lebih mahal dibandingkan negara-negara lain, khususnya Malaysia? Di Indonesia sekarang sekitar $9-11/MMBTU, tapi di Malaysia cuma $4/MMBTU.
Ada faktor hulu, ada faktor di midstream, bisa juga faktor distribusi yang menjadikan harga mahal. Misalnya, di hulu yang menjadi domain saya. Bisa jadi di Indonesia gas mahal karena waktu yang diperlukan lebih panjang. Barangkali di Malaysia menyewa rig seminggu sudah bisa langsung mengebor. Kalau di Indonesia, menyewa seminggu belum tentu bisa langsung mengebor. Jalannya masih dipalang oleh warga lokal. Ini harus diselesaikan dulu, keluar uang lagi. Kemudian rig jalan lagi, masih belum bisa mengebor juga, karena pembebasan lahan ternyata masih ada masalah. Perlu waktu lagi, perlu uang lagi. Lalu setelah rig terpasang, masih juga belum bisa mengebor karena izinnya masih bermasalah. Nah, padahal sewa rig harus terus dibayar. Ini yang menjadikan harga di Indonesia lebih mahal.
Perizinan kan di bawah kendali pemerintah. Kebijakan deregulasi belum efektif?
Nanti dulu. Ini kita bicara pemerintah yang mana? Ada pemerintah pusat, ada pemerintah daerah. Oke, dikatakan pemerintah pusat harus cepat… nanti dulu… ini kita bicara pemerintah pusat yang mana? Hehehe… Ada Kementerian ESDM, Kementerian Lingkungan Hidup, dll. Kalau menyangkut lahan, misalnya, rumit sekali urusannya. Persoalan izin begitu panjang dan berbelit sekarang, berbeda dengan zaman Orde Baru. Zaman Orba dulu, kalau diputuskan butuh migas, prosesnya bisa langsung cepat. Sekarang tidak bisa begitu.
Ditambah lagi—ini masalah utama yang sedang saya coba atasi—transaksi pengadaan di hulu ada banyak markup. Harga yang di-markup ini dimasukkan ke komponen cost recovery, lalu kemudian harga jual dinaikkan karena kontraktor tidak mau rugi. Markup ini yang harus dihilangkan.
Di Malaysia, saya kira sogok-menyogok di area ini tidak separah di Indonesia, karena itu harga gas mereka bisa lebih murah.
VIDEO: Wawancara Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi, untuk menonton klik tautan ini.
Berapa persen biasanya markup itu?
Saya tidak tahu angka persisnya. Sebelum saya masuk SKK Migas, saya sudah dapat laporan bahwa KKKS punya vendor macam-macam dan di sini penuh praktik sogok-menyogok, sehingga cost recovery jadi terlalu tinggi. Untuk mengatasi masalah ini tidak bisa cuma diumumkan: tidak boleh nyogok. Lah, dari zaman sebelum merdeka juga sudah diumumkan bahwa menyogok itu dilarang. Jadi, untuk mengatasinya harus melalui audit. Saya minta semua vendor diaudit. Ini yang perlu dibersihkan. Kalau markup di tingkat vendor bisa ditekan, cost turun, maka harga jual turun.
Persisnya, bagaimana cara Anda menghilangkan markup itu?
Kalau di hulu, saya selalu secara terbuka menegaskan di internal SKK Migas, kepada KKKS, juga di forum-forum migas, bahwa di bawah kepemimpinan saya bisnis migas di hulu itu prinsipnya "no gift, no hospitality, no bribery”. Jadi, pelaku bisnis tidak perlu memberikan macam-macam untuk saya ataupun orang SKK Migas. Jadi, tidak perlu ada tambahan cost.
Selain itu, sekarang diberlakukan sistem centralized and integrated vendor data base. Jadi vendor itu sistem registrasinya tersentralisir, supaya waktu, tenaga dan biaya registrasi bisa lebih efisien, dan tentu cost-nya jadi lebih kecil
Diterapkan juga right to audit. Jadi SKK Migas sekarang berhak mengaudit vendor. Untuk itu kami menyewa kantor akuntan besar seperti EY, PwC, dan lain-lain, untuk mengaudit vendor yang dicurigai. Yang dicari bukan mengaudit kontrak, tetapi mengaudit vendor, untuk mencari tahu apakah dia mengeluarkan biaya-biaya yang tidak berhubungan dengan bisnis, misalnya untuk menyogok, untuk entertainment, untuk mentraktir sana-sini. Itu harus dikeluarkan dari cost.
Ada vendor yang tidak mau diaudit?
Sebelumnya, kami tidak punya hubungan dengan vendor, hanya ke KKKS. Tapi sekarang sudah saya atur, SKK Migas bisa mengaudit vendor manapun. Tahun lalu kami mengaudit 4 vendor besar. Bukan SKK Migas yang mengaudit, tapi kami menunjuk EY, PwC, Deloitte. Dari empat vendor yang dicurigai, salah satunya tidak mau diaudit. Sudah dipaksa, tetap tidak mau. Akhirnya, saya keluarkan surat kepada seluruh KKKS, isinya begini: per tanggal surat ini, kontrak dengan vendor itu tidak boleh masuk cost recovery. Mati perusahaannya. Pada saat surat ini dikeluarkan, ada pejabat perusahaan KKKS tiba-tiba balik ke negaranya karena terkait masalah itu. Jadi ini kan jelas ada urusan cincai (kolusi, red.)… Itu yang saya kerjakan.
Itu di hulu, bagaimana inefisiensi harga gas di midstream dan hilir?
Di midstream, contohnya di Kilang Arun. Arun itu wilayahnya besar, ada berbagai kilang, lapangan, hingga dermaga. Semua makan listrik. Nah, kalau ada kapal dari Tangguh lalu dibebani keseluruhan biaya ini. Padahal kapal itu kan cuma pakai satu dermaga. Harusnya kan beban di dermaga itu saja yang dihitung. Ini tidak, dihitung beban semua dermaga. Yang dipakai lapangan ini, tetapi dihitung biaya semua lapangan. Listriknya juga begitu.
Cost accounting seperti ini yang harus dihitung ulang. Arun jelas tidak mau dikurangi. Tapi kan Arun itu di bawah Pertamina, punya pemerintah juga. Ya, harus di-gecek-gecek pemerintah biar mau turun. Karena kalau nggak, manajemen Arun cuma duduk-duduk, uang masuk. Harusnya ada merit system di sini.
Kalau tata niaga gas problemnya apa?
Saya ini geleng-geleng kepala, terutama melihat distribusi gas. Untuk sampai ke user ada begitu banyak meteran. Di Bekasi, contohnya, tiap jarak 1 km ada meteran, tiap jarak 300 meter, ada meteran lain, punya PT yang berbeda. Dari PT awal beli Rp100, lalu ke PT selanjutnya ya naik jadi Rp105. Akhirnya harga gas jadi mahal. Bayangkan, sejalur pipa itu berbeda-beda pemiliknya. Terus, pertanyaannya, kenapa bisa dikasih izin? Ya, itulah, yang dulu kok kasih izin? Ada yang mau coba memberantas, tapi ternyata yang punya jalur pipa itu saudaranya yang punya izin. Jadi, jaman dulu itu memang jaman jahiliyah betul!
Maka itu, dirjennya langsung ditendang oleh Pak Menteri ESDM sekarang (Sudirman Said). Saya selalu melihat di mana diciptakan marjin artifisial, maka di situ pasti ada suap-menyuap. Karena itu, yang harus dihantam adalah suap-menyuap ini.
Yang dipersoalkan sejumlah kalangan juga adalah Direktorat Migas di Pertamina…
Boleh saja Pertamina tambah divisi, tapi tidak boleh ada tambahan harga. Jangankan barang, tanda tangan pun sekarang ada marjinnya. Jadi kan susah.
Itu kedengarannya sangat sederhana, tapi dilaksanakannya susah. Gas mau impor dari mana? Amerika? Saya sudah ngomong sama Pertamina. Di sana murah cuma $2/MMBTU. Tapi, itu kan di sana. Sekarang anggap saja begini, ini industri di Belawan, dari Amerika sampai Arun harganya sudah jadi $7. Itu baru sampai Arun. Lha, sampai sini kan jadi mahal juga, karena dikemplang di jalur distribusi.
Kalau impor pasti berupa LNG. Lalu itu LNG turun di mana? Sekarang cuma ada tiga tempat: Arun, Lampung, dan Jakarta. Bahkan, bayangkan saja Jayapura itu tidak bisa terima pasokan gas dari Tangguh yang cadangannya begitu besar. Mau dibawa ke sana pakai apa? Jadi, pemikiran impor itu terlalu disederhanakan. Salah satu yang harus dipecahkan adalah masalah infrastruktur gas.
Kalau kita bangun infrastruktur untuk kapal-kapal kecil seperti di Singapura?
Masalahnya, duit dari mana? Tidak ada duit. Oke, kita bikin kapal untuk bawa LNG. Lalu yang bangun dermaga siapa? Kalau sudah ada dermaga, yang bangun storage siapa? Tidak ada. Ini harus pakai duit infrastruktur di APBN. Masalahnya, kebanyakan APBN itu isinya kebanyakan biaya perjalanan dinas, konsinyering, honor rapat ini dan itu. Tidak ada cukup dana untuk membangun infrastruktur gas.
Lalu, dengan segala keruwetan itu, Anda yakin dengan Perpres No. 40/2016 harga gas bisa diturunkan?
Kalau melihat isi konten aturan itu, mestinya bisa, walaupun saat ini hanya dinikmati oleh selected users, tidak untuk semua users.
Maksudnya? Bukankah penurunan harga gas ditujukan untuk tujuh industri prioritas itu?
Tidak untuk keseluruhan industri, satu per satu user harus mengajukan dulu. Di Perpres itu memang per pengguna. Jadi, kalau misalnya ada 30 perusahaan kaos tangan, tidak seluruh 30 perusahaan itu akan dapat penurunan harga.
Jadi artinya perusahaan-perusahaan tertentu akan disubsidi pemerintah?
Iya, ini subsidi. Jadi ditetapkan, contohnya PT A dapat $6.
Soal PGN bagaimana?
Kalau kita lihat PGN, harga saham PGN di pasar modal kan melejit tinggi. Kenapa itu bisa tinggi, artinya profitnya tinggi melebihi rata-rata. Kalau melebihi seperti itu biasanya ada sesuatu, mungkin karena dia menguasai captive market, sangat dominan, monopoli.
Setengah kepemilikan PGN itu kan swasta, kenapa tidak diambil saja seluruhnya oleh Pertamina, sehingga 75 persen pipa di Indonesia ada di bawah kontrol pemerintah?
Lah, ini PGN mau di-merge sama Pertagas saja semua sudah pada ribut... hahaha... Sebagian pemain swasta itu, tidak seluruhnya, bisnisnya ya sebetulnya cuma rent seeker saja. Inovasi tidak bisa, servis tidak bisa, modal tidak bisa. Kalau modal tidak punya, ya harus servis kan? Kalau servis juga tidak bisa tapi pengen dapet duit, ya harus inovasi, punya ide. Tapi kalau ide tidak punya juga, ya akhirnya rent seeking. Modalnya ya koneksi, saudara... Kalau tidak ada saudara ya nyogok, balik-balik selalu ke situ lagi... (kd)