Bareksa.com - Harga saham perusahaan pertambangan khususnya tambang nikel dan batubara yang masih terus meningkat hingga saat ini apakah menjadi indikator bisnis sektor pertambangan mulai bangkit?
Data Bareksa menunjukan periode year-to-date, indeks saham sektor perdagangan menghasilkan return 26,45 persen, lima kali lipat dari return Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang hanya 4,66 persen.
Naiknya harga minyak dunia serta valuasi harga saham pertambangan yang murah ditengarai menjadi pendorong kenaikan harga saham. Apakah benar seperti itu?
Grafik: Indeks Saham Tambang dan IHSG Periode Year-to-Date
Sumber: Bareksa.com
Menurut Renji Betari, analis komoditas PT Bursa Berjangka Jakarta (BBJ), kenaikan harga minyak saat ini belum bisa menjadi dukungan fundamental bagi saham sektor pertambangan karena harga minyak mentah sendiri diproyeksi tidak akan menyentuh level US$100 per barel dalam waktu dekat.
Kondisi negera-negara di Timur Tengah yang masih terus menggenjot suplai minyak akan menahan kenaikan harga minyak. Renji mencontohkan negara Arab Saudi yang masih terus memproduksi minyak dengan kuota yang sama karena anggaran negara mereka yang terdesak. Iran juga sedang mendorong produksi untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya.
Renji sendiri memprediksi harga minyak mentah tidak akan melebihi US$55 per barel sampai September atau Oktober ini. "Akhir tahun barulah mungkin bisa menyentuh US$60 per barel," katanya.
Selain itu dalam masa pemulihan ekonomi dunia juga tidak mendorong permintaan minyak yang signifikan. Jadi faktor internal maupun eksternal menurut Renji belum bisa kuat menopang kenaikan harga minyak dunia.
Renji menilai kenaikan saham pertambangan di Indonesia lebih dikarenakan harga saham yang sudah turun dalam serta kondisi utang perusahaan yang sudah mulai menyusut sehingga membuat struktur modal menjadi lebih sehat.
Efisiensi ini yang membuat kinerja perusahaan tambang pada kuartal pertama 2016 ini menunjukan kenaikan. Sementara dari harga komoditas sendiri belum mendorong kinerja keuangan.
Hal senada juga diungkapkan oleh Corporate Communication Division Head Adaro Energy Tbk, Febriati Nadira. Dia mengatakan sektor batubara hingga saat ini masih dalam kondisi oversupply. Sementara permintaan masih cenderung datar belum ada kenaikan. Adaro pun hanya menargetkan produksi 52-54 juta ton tahun ini, naik tipis dari tahun lalu 51,5 juta ton.
"Tapi kami dapat efisiensi bahan bakar dari turunnya harga minyak dunia. Komponen bahan bakar mengkontribusi 30 persen biaya produksi batubara," ungkap perempuan yang kerap disapa Ira ini kepada Bareksa.
Head of Corporate Secretary & Investor Relation Division, PT Adaro Energy Tbk, Mahardika Putranto juga mengungkapkan korelasi harga minyak dengan perseroan saat ini belum belum berpengaruh kepada kenaikan harga batubara.
"Kalau harga minyak itu berpengaruh kepada kita karena kita menggunakan banyak bahan bakar untuk proses pengolahan batubara," katanya kepada Bareksa. (np)