Pemerintahan Jokowi Tekan Harga Gas, Bagaimana Nasib Saham PGAS?

Bareksa • 07 Jun 2016

an image
Sejumlah pengemudi bajaj berbahan bakar gas (BBG) antre mengisi kendaraan di unit pengisian bahan bakar gas mobile (GasLink) milik PT Perusahaan Gas Negara Tbk di Jakarta, Senin (26/10/2015). (ANTARA FOTO/Andika Wahyu)

Harga saham PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) telah amblas 58 persen.

Bareksa.com - Pemerintah akhirnya memutuskan akan menurunkan harga jual gas untuk industri, sebagai bagian dari upaya pemerintah menurunkan biaya produksi bagi pelaku usaha nasional. Melalui Peraturan Presiden No. 40/2016, Presiden Joko Widodo memberikan mandat kepada Kementerian ESDM untuk mengatur harga di tujuh sektor industri utama dengan harga gas yang melampaui US$6 per MMBTU. 

Di satu sisi, kebijakan pemerintah ini akan berdampak positif bagi para pengusaha yang menggunakan gas sebagai salah satu bahan bakar utama. Namun, di sisi lain, kebijakan tersebut niscaya akan menciptakan sentimen negatif bagi distributor gas nasional PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS), yang sahamnya tercatat di Bursa Efek Indonesia. Marjin laba perusahaan tanpa ampun bakal terpenggal.

Pada penutupan perdagangan Selasa kemarin, 6 Juni 2016, harga saham PGAS tinggal Rp2.520. Ini level setelah amblas hingga 58 persen jika dibandingkan harga pada awal tahun 2015 sebesar Rp5.975.

Riset Citi Group menilai pemangkasan harga gas sebesar US$1 per Mmbtu bisa memotong marjin EBITDA sebesar 18 persen dan laba sebelum pajak sebesar 20 persen. "Dampak dari pemangkasan tarif akan besar, menurut kami," demikian tertulis dalam laporan riset Citi yang sudah dibagikan kepada nasabah. 

Salah satu langkah pemangkasan paling besar dilakukan di Medan, Sumatera Utara--wilayah dengan harga jual gas tertinggi di Indonesia. PGAS sudah sepakat untuk memangkas harga gas sekitar U$1,4 per Mmbtu di Medan dan akan mengambil langkah serupa untuk lokasi lain di Jawa. 

Senada dengan Citi, laporan riset Maybank-Kim Eng bahkan merekomendasikan "jual" untuk saham PGAS dengan target harga Rp1.700 dalam 12 bulan. "Bila pemerintah meneruskan pemangkasan harga di Jawa, hal ini bisa semakin besar menekan marjin PGAS. Menurut kami, intervensi pemerintah tidak dapat dihindari. Hal ini bisa mempengaruhi harga kontrak baru. Kontrak lama juga tidak 100% aman," demikian dinyatakan laporan riset itu. 

Meskipun demikian, PGAS masih diuntungkan dengan skema bisnis di industri penyaluran gas yang saat ini semi-monopoli. PGAS mendominasi 95 persen pangsa pasar distribusi gas nasional. Untuk bisnis transmisi, PGAS menguasai 55 persen pangsa pasar nasional. 

Analis Syailendra, Alvin Kusuma, menjelaskan PGAS sebenarnya memiliki valuasi dengan fondasi yang cukup kuat, terlepas dari campur tangan pemerintah. Maka, meskipun ada pengaturan harga yang akan membuat marjin PGAS tidak setebal dulu, pemerintah diyakininya tidak akan sampai membuat PGAS merugi. 

"Demand gas selalu ada, dan PGAS adalah pemain besar di industri. Saham ini sudah turun cukup dalam semenjak rencana pemerintah menurunkan harga gas. Pada titik tertentu, saham PGAS memang layak dikoleksi karena memiliki value yang nyata  terlepas dari campur tangan pemerintah," ujarnya kepada Bareksa

Di samping tekanan dari sisi harga gas, isu merger PGAS dengan Pertagas juga bisa turut memunculkan sentimen negatif. Pertagas adalah anak usaha Pertamina yang nilainya lebih kecil dibandingkan PGAS. "Pertagas ini bukan perusahaan publik dan ada kemungkinan kinerjanya lebih jelek dibandingkan dengan PGAS. Oleh sebab itu, isu merger PGAS dengan Pertagas ini membuat investor tidak suka sehingga banyak yang melepas sahamnya di pasar," kata Alvin. 

Grafik: Pergerakan Harga PGAS, 2 Januari 2015 - 6 Juni 2016

Sumber: Bareksa.com

Kronologi Anjloknya Harga Saham PGAS

Penurunan harga saham PGAS bermula dengan turunnya harga minyak dunia pada awal tahun 2015. Harga minyak WTI telah mengalami penurunan sebesar 49 persen dalam waktu enam bulan menjadi US$52 per barel pada Januari 2015. Padahal, pada pertengahan tahun 2014, harga minyak masih bertengger di level US$102 per barel. Penurunan ini membuat harga saham PGAS ikut tertekan sejak awal tahun 2015.

Lalu, pada bulan April 2015, Menteri Perindustrian Saleh Husin mengusulkan agar harga gas industri diturunkan dengan kisaran 10-40 persen. Keesokan harinya, harga saham PGAS langsung anjlok hingga 10,5 persen.

Penurunan ini terus berlanjut hingga akhirnya pemerintah mempertegas niatnya saat merilis Paket Kebijakan Ekonomi III, November tahun lalu. Pemerintah menyatakan harga gas industri akan diturunkan pada tahun 2016.

Tekanan harga saham PGAS sebenarnya bukan hanya akibat intervensi harga pemerintah, tapi yang utama juga karena merosotnya kinerja perseroan. Jika ditelaah lagi di laporan keuangan, penurunan kinerja ini salah satu penyebabnya adalah investasi besar-besaran PGN untuk mengembangkan bisnis hulu, yakni eksplorasi dan produksi minyak dan gas (migas). Investasi ini dilakukan saat harga minyak dunia sedang mencapai puncaknya sehingga harga yang harus dibayar menjadi sangat mahal dilihat dengan valuasi saat ini. 

Sejak 2013, PGN memutuskan masuk ke bisnis hulu migas melalui anak usahanya, yakni PT Saka Energi Indonesia. Sayangnya, strategi tersebut justru membebani PGN karena butuh investasi yang sangat besar dan beban tinggi. Saka Energi yang kini mengelola beberapa blok migas juga menjadi pesaing BUMN lainnya, seperti PT Pertamina (persero) yang memiliki fokus di sektor hulu. (Baca juga: Lebih Baik PGN Ambil Pertagas Atau Sebaliknya? Ini Penilaian Pakar Investasi)

Selain itu, munculnya kembali rencana pemerintah mendorong sinergi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sejenis semakin kuat--salah satunya adalah melalui pembentukan holding company di bidang energi. PT Pertamina (Persero) direncanakan akan menjadi induk di bidang energi, yang menangani aktivitas mulai dari hulu hingga ke hilir.

Menteri BUMN Rini Soemarno telah menjelaskan rencana sinergi antara kedua BUMN tersebut. Di bawah naungan Pertamina, PGAS -- 43 persen sahamnya sudah dimiliki publik -- juga akan disinergikan dengan Pertagas, yang merupakan unit khusus penyaluran gas Pertamina. 

Isu merger antara PGAS dan Pertagas sudah hangat sejak akhir tahun lalu dan sempat mengerek harga saham PGAS. Akan tetapi, bila ditilik dari asal investornya, yang asing justru lebih banyak memilih keluar. Semenjak November 2015 hingga Mei 2016 tercatat asing sudah melakukan jual bersih (net sell) sebesar Rp1,22 triliun. Adapun total transaksi saham PGAS selama periode itu sebesar Rp8,3 triliun. (kd)