Bareksa.com - Mahalnya harga gas industri di Indonesia ini menjadi penghambat industri manufaktur dalam negeri bersaing dengan produk luar negeri, oleh karena itu pemerintah berupaya menurunkan harga gas. Di sisi lain kebijakan ini tentu berdampak negatif bagi perusahaan hulu dan penyalur gas, salah satunya pada PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS).
Tekanan regulasi ditengarai membuat harga saham emiten pelat merah ini menyusut lebih dari setengah harga rata-rata pada akhir tahun 2014, menjadi hanya Rp2.520 per saham, Senin kemarin 7 Juni 2016. Aturan yang menekan di antaranya adalah kewajiban menjalankan open access atau penggunaan jaringan pipa secara bersama-sama.
Grafik: Harga Saham PGN
Sumber: Bareksa
Rencana Induk Jaringan Transmisi dan Distribusi Gas Bumi Nasional (RIJTDGBN) tahun 2012-25 mengatur penggunaan sistem open access untuk mencegah monopoli gas oleh perusahaan tertentu, termasuk BUMN,sekaligus memenuhi kebutuhan industri dan pembangkit listrik PT Perusahaan Listrik Negara (Persero).
Pemain bisnis jaringan pipa gas terbesar memang dipegang oleh dua BUMN yakni PGN dan PT Pertamina Gas (Pertagas). Tetapi sebelumnya cenderung dikuasai oleh PGN yang mengoperasikan 76 persen dari seluruh jaringan infrastruktur pipa gas di Indonesia.
Berdasarkan data perusahaan per Desember 2015, PGN tercatat mengoperasikan 7.026 kilometer jaringan pipa gas yang tersebar di Pulau Sumatera dan Pulau Jawa. Sebagai market leader, bisnis PGAS terbilang mulus sampai pemeritah akhirnya mengeluarkan kebijakan open access.
Dengan aturan open access, dominasi PGAS di bisnis distribusi gas bumi pun akan tergeser. Produsen gas lain dapat menjangkau pengguna secara langsung dengan memanfaatkan infrastruktur yang telah dibangun sebelumnya. Sebagai pemilik infrastruktur pipa, PGN hanya akan mengandalkan fee dari produsen yang menggunakan jaringan pipa mereka.
Model bisnis seperti ini, sebenarnya sama dengan bisnis transmisi yang juga mengandalkan fee dari pengguna infrastruktur. Namun sayangnya, bisnis transmisi merupakan salah satu model bisnis yang kurang menguntungkan dibanding bisnis lain yang dijalankan PGN. Berdasarkan data yang dikumpulkan Bareksa, sejak 2010, bisnis transmisi PGN tak pernah menghasilkan laba.
Beban penyusutan merupakan salah satu beban terbesar yang ditanggung perseroan di segmen ini, tak sebanding dengan pendapatan yang cenderung kecil. Sebagai gambaran, di tahun 2015 bisnis transmisi hanya menghasilkan pendapatan bersih sebesar US$7,03 juta atau setara Rp97 miliar (kurs Rp13.795 per dolar AS), sementara beban penyusutan yang ditanggung mencapai US$58 juta atau setara Rp800 miliar. Akibatnya segmen bisnis transmisi membukukan kerugian Rp773 miliar.
Grafik: Pendapatan, Laba & Beban Penyusutan Bisnis Transmisi PGN
Sumber: Laporan Keuangan PGN
Performa bisnis transmisi PGN bertolak belakang dengan performa bisnis distribusi, yang menghasilkan keuntungan besar bagi perseroan. Pada bisnis distribusi perseroan membeli gas dari produsen, kemudian menjualnya langsung kepada pelanggan melalui jaringan pipa yang mereka miliki. Ini memberikan marjin keuntungan yang cukup besar.
Grafik: Alur Bisnis PGAS
Sumber: Presentasi PGN
Sepanjang tahun 2015, pendapatan bisnis distribusi mencapai Rp38 triliun, dan menghasilkan laba sebesar Rp12 triliun. Dari angka tersebut, diketahui marjin kotor segmen distribusi bisa mencapai 30 persen. Kontras dengan kerugian yang diderita pada segmen transmisi.
Melihat tuntutan regulasi, PGN pun mulai menggeser bisnisnya. Perseroan mengurangi investasi pembangunan jaringan pipa, dan mengalihkannya untuk investasi di industri hulu migas sebagai produsen. Masih segar di ingatan, pada tahun 2014 PGN melalui anak usahanya yakni PT Saka Energi Indonesia mengambil alih 100 persen blok Pangkah dengan mengeluarkan dana hampir Rp11 triliun.
Tidak hanya itu, kini Saka Energi juga agresif melakukan pendekatan untuk mengakuisisi beberapa blok lain seperti Blok B South Natuna yang kini dikelola ConocoPhillips dan Blok Bentu Riau yang dikelola PT Energi Mega Persada.
Berinvestasi di sektor hulu juga merupakan pertaruhan di mata investor. Pasalnya PGN harus mengeluarkan biaya investasi yang besar. Dari komposisi biaya modal tahun 2015 lalu, 39 persen digunakan untuk penambahan aset hulu.
Grafik: Arus Kas Investasi PGN 2010-2015
Sumber: Laporan Keuangan PGAS, diolah
Upaya PGN memperbesar infrastruktur pipa pun dikorbankan. Tahun 2015 pertumbuhan jaringan pipa hanya 21 persen menjadi 7.026 kilometer dari tahun sebelumnya 5.800 kilometer. Kontras dengan pertumbuhan jaringan pipa di tahun 2012 yang mencapai 92 persen.
Grafik: Panjang Jaringan Pipa PGN
Sumber: Presentasi PGN, diolah
Berkurangnya investasi PGN pada pipa tentu membuat investor mengurangi nilai tambah PGN. Pasalnya selama ini investor tertarik dengan PGN karena bisnis distribusi gas yang dinilai lebih stabil dibandingkan dengan bisnis hulu. (kd)