Kemenkeu Minta Defisit Anggaran Diperlebar Jadi 2,48%, Samakah Dengan Era SBY?

Bareksa • 06 Jun 2016

an image
Presiden RI Joko Widodo (kiri) bersama Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (kanan) berdoa usai pelantikan Presiden dan Wakil Presiden RI 2014-2019 di Gedung Nusantara I - (ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma)

Defisit anggaran kali ini digunakan untuk program infrastruktur, berbeda dengan era SBY yang digunakan untuk subsidi

Bareksa.com - Realisasi penerimaan pajak pemerintah yang belum menyentuh target mendorong permintaan Kementerian Keuangan menaikkan batas defisit anggaran menjadi 2,48 persen PDB dari sebelumnya 2,15 persen. Bukan kali ini pemerintah melebarkan defisit anggaran hingga hampir mendekati batas yang diamanatkan Undang-Undang yakni sebesar 3 persen. Era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono juga pernah mengalami defisit menyentuh angka 2,4 persen. Lantas apakah impak ekonominya akan sama?

Perbedaan Postur Anggaran

Di masa SBY, defisit menyentuh angka 2,4 persen terjadi dua kali yakni tahun 2009 dan 2014, akibat bengkaknya subsidi energi. Tahun 2009 tercatat pemerintah memberikan subsidi energi sebesar Rp94,6 triliun dan subsidi non energi Rp43,5 triliun.

Tahun 2014 anggaran subsidi energi melonjak 3 kali lipat dari tahun 2009 menjadi Rp341,8 triliun, sementara subsidi non energi pada 2014 sebesar Rp50,2 triliun. Hal ini membuat komposisi subsidi energi semakin besar yakni 21 persen dari total anggaran negara.

Grafik: Defisit & Subsidi 2005-2016


sumber: kementerian keuangan

Era pemerintahan Joko Widodo, subsisi ini justru dipangkas besar-besaran. Tahun lalu, pemerintah memotong anggaran subsidi menjadi hanya Rp212,1 triliun dari sebelumnya Rp392,0 triliun. Subsidi energi terkena pemangkasan paling besar yakni 59 persen menjadi Rp137 triliun dari sebelumnya Rp341 triliun.

Tahun 2016 subsidi kembali dipotong. Tahun ini, komposisi beban subsidi untuk pertama kalinya menyentuh angka single digit yakni 9 persen dari total APBN 2016.

Sebagai gantinya, beban pemerintah kini beralih ke anggaran infrastruktur yang menjadi fokus utama dalam dua tahun terakhir. Di tahun 2015, anggaran infrastruktur meningkat drastis menjadi Rp290 triliun atau naik 63 persen dari dari tahun sebelumnya. Sementara di tahun 2016, anggaran infrastruktur menyentuh angka Rp313,5 triliun, naik 8 persen dari 2016.

Grafik: Defisit & Subsidi 2005-2016


sumber: kementerian keuangan

Besarnya beban infrastruktur ini ternyata tidak mampu diimbangi oleh penerimaan pajak yang melemah akibat pelemahan ekonomi dunia. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, penerimaan pajak dalam negeri sampai dengan bulan April 2016 baru sampai Rp320,6 triliun atau 20,7 persen dari target yang dicanangkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016 sebesar Rp1.506 triliun. Padahal pada tahun 2014 dan 2015, penerimaan pajak dalam negeri sampai bulan April masing-masing mencapai 27 persen dan 23 persen.

Inilah yang ditengarai menjadi salah satu faktor pendorong pemerintah untuk memperlebar pagu defisit anggaran di tahun 2016.

Bagaimana Impak ekonominya?

Terlepas dari bengkaknya anggaran subsidi atau infrastruktur, melebarnya defisit biasanya berdampak pada pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Hal ini disebabkan karena terjadinya peningkatan utang pemerintah untuk menutup defisit tersebut, maka akan membuat permintaan rupiah menurun.

Tetapi jika pemerintah Jokowi bisa membuktikan proyek infrastruktur Indonesia benar berjalan maka country risk Indonesia bisa berkurang yang membuat volatilitas pergerakan nilai tukar rupiah menjadi lebih stabil meskipun mengalami tren pelemahan.