Kinerja Positif Jokowi-JK Tanpa Dukungan DPR Akhirnya Menarik Minat Partai

Bareksa • 25 May 2016

an image
Presiden Joko Widodo (kiri) didampingi Wapres Jusuf Kalla (kanan) memimpin rapat terbatas bersama sejumlah Menteri Kabinet Kerja membahas persiapan jelang bulan puasa di Kantor Kepresidenan, Jakarta, Rabu (3/6). ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma

Setelah PAN dan PPP, partai Golkar akhirnya memutuskan merapat ke pemerintah

Bareksa.com - Pemerintahan Joko Widodo - Jusuf Kalla akhirnya mendapat tambahan dukungan 69 persen kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) setelah partai Golongan Karya (Golkar) ikut merapat ke pemerintah. Apa yang mendorong simpati partai mendukung pemerintah? Berikut penelusuran Bareksa terkait manuver positif pemerintah yang akhirnya menarik minat partai oposisi bergabung.

Saat awal dilantik, pemerintahan Joko Widodo - Jusuf Kalla mencatat sejarah sebagai pemimpin dengan dukungan DPR kurang dari 50 persen, yakni hanya 37 persen persen kursi di DPR. Perlahan ternyata peta politik berubah, sebelum partai Golkar, partai PAN dan PPP telah merapat ke pemerintah.

Perubahan peta politik ini, tentunya memberikan harapan baru. Dengan dukungan dari mayoritas anggota dewan, diharapkan pengajuan kebijakan strategis bisa berjalan lebih mulus tanpa terhambat proses negosiasi panjang dengan DPR.

Grafik: Partai Pendukung Pemerintah & Jumlah Kursi DPR 2001-2015


sumber: riset Bareksa.com

Merapatnya anggota Dewan tak lepas dari kinerja pemerintahan Jokowi-JK yang baik meskipun tidak didukung suara mayoritas Dewan. Beberapa kebijakan krusial berhasil dilepas oleh pemerintahan Jokowi-JK, salah satunya adalah pemangkasan subsidi bahan bakar minyak (BBM) di awal tahun 2015.

Dengan dukungan kurang dari 50 persen kursi, pemerintah berhasil meyakinkan mayoritas anggota DPR untuk merestui pemangkasan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM). Sebagaimana diketahui, subsidi BBM merupakan kebijakan sensitif karena menyangkut kebutuhan masyarakat banyak. Namun kebijakan ini dianggap kurang produktif dan tidak tepat sasaran. Sehingga, bukannya mendorong perekonomian, malah menjadi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Dana yang sebelumnya disalurkan untuk subsidi kemudian dialihkan untuk belanja produktif seperti pembangunan infrastruktur. Ini kemudian menjadi salah satu motor penggerak perekonomian Indonesia, menggantikan ekspor komoditas yang sedang dilanda tekanan dari sisi eksternal.

Apalagi, mitra dagang terbesar yakni China menghadapi perlambatan ekonomi yang menyebabkan arus dagang terhambat. Akibat terjadinya perubahan kondisi ekonomi global, di tahun 2015 total ekspor Indonesia merosot 15 persen menjadi $148 miliar dari sebelumnya $175 miliar.

Grafik: Ekspor Indonesia 2010-2015


sumber: Bank Indonesia

Fokus terhadap percepatan infrastruktur dalam postur belanja negara membuat Indonesia masih mampu mencetak pertumbuhan ekonomi 5,04 persen di Desember 2015. Pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi salah satu yang terbaik di antara negara-negara berkembang. Bandingkan saja dengan Brazil, Russia dan Afrika Selatan yang masing-masing tumbuh -4,5 persen, -3,8 persen, dan 0,6 persen di akhir tahun 2015.

Pengalihan subsidi BBM ke belanja produktif yang disepakati pemerintah-DPR di awal 2015 mendorong kenaikan realisasi anggaran belanja barang dan modal tahun lalu masing-masing 32 persen dan 51 persen dibanding periode sama tahun sebelumnya. Sementara itu, dana subsidi BBM turun tiga kali lipat dari Rp240 triliun menjadi hanya Rp60 triliun.

Grafik: Realisasi APBN 2016


sumber: Kementerian Keuangan  

Dana ini diprioritaskan pada proyek-proyek mangkrak seperti jalan tol, waduk, dan juga pelabuhan yang akhirnya kembali berjalan. Kepercayaan investor pun meningkat. Berdasar data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), dana investasi asing yang masuk tahun 2015 mencapai Rp365,9 triliun, naik 19 persen dari sebelumnya Rp307 triliun.

Grafik: Penanaman Modal Asing di Indonesia


sumber: BKPM

Membaiknya iklim ekonomi akhirnya juga mampu memulihkan keyakinan konsumen. Survei yang dilakukan Bank Indonesia (BI), menunjukan pemulihan keyakinan konsumen di triwulan akhir 2015, setelah sempat merosot drastis di bulan September akibat melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Indeks keyakinan konsumen kembali melesat ke level 112 di bulan Januari 2016. Hal ini menunjukan konsumen sudah kembali yakin untuk kembali melakukan aktivitas perdagangan, baik di sektor properti maupun barang konsumsi lain.

Grafik: Indeks Keyakinan Konsumen April 2015-Maret 2016


sumber: Bank Indonesia