Bareksa.com - Nama PT Reliance Securities Tbk (RELI) tersangkut kasus transaksi investasi Surat Utang Negara (SUN) yang merugikan beberapa orang dengan nilai mencapai Rp4 miliar. Nama Reliance disebut-sebut setelah salah seorang investor bernama Alwi Susanto mengaku membeli obligasi negara melalui perantaraan seseorang bernama Larasati yang mengaku sebagai Head of Wealth Management, Reliance. (Baca juga: Menyeret Nama Reliance, Nasabah Rugi Rp4 M; Hati-hati Janji Investasi Fixed Rate)
Lantas, bagaimana perkembangan bisnis Reliance selama ini?
Reliance didirikan di Jakarta pada 22 Februari 1993 dengan nama PT Istethmar Finas Securities, yang kemudian berubah menjadi PT Ludlow Securities pada 13 September 1999 dan berganti nama lagi menjadi PT Reliance Securities saat bergabung ke dalam Reliance Group pada 7 Maret 2003. Perusahaan ini kemudian melaksanakan penawaran umum saham perdana (initial public offering/IPO) pada 2005.
Berdasarkan data laporan keuangan perusahaan, Reliance meraih pendapatan dari tiga sumber, yakni kegiatan Perantara Pedagang Efek (PPE), Penjamin Emisi Efek (PEE), serta pendapatan dividen dan bunga. Pada 2015, pendapatan paling besar diraih dari kegiatan perantara pedagang efek, yakni sebesar Rp79 miliar. Sementara di luar bisnis tersebut, kontribusinya hanya 18 persen dari total pendapatan.
Dalam kegiatannya sebagai perantara pedagang efek, pada 2015 Reliance berhasil meraih pendapatan komisi (fee) transaksi jual beli saham yang cukup besar Rp56,5 miliar atau naik 76 persen dari tahun sebelumnya Rp32 miliar. Selain fee, perusahaan ini juga meraih pendapatan bunga pembiayaan transaksi marjin sebesar Rp23 miliar atau 23 persen dari total pendapatan perusahaan.
Sejak 2008, Reliance juga dipercaya oleh Kementerian Keuangan Republik Indonesia untuk menjadi agen penjual produk Obligasi Negara Ritel (ORI) dan Sukuk Negara Ritel (SUN). Namun, jumlah pendapatan dari segmen ini tidak terlalu besar. Pendapatan dari kegiatan agen penjual obligasi pada 2015 tercatat hanya sebesar Rp3,22 miliar atau 3 persen dari total pendapatan. Namun, nilainya meningkat dua kali lipat dari 2014 sebesar Rp1,5 miliar.
Pada 2015, Reliance terbilang sangat sukses meningkatkan kinerja keuangannya. Ini terjadi justru saat nilai transaksi di Bursa Efek Indonesia (BEI) menurun. Total transaksi jual beli saham yang dilakukan melalui jasa Reliance naik 13 persen. Padahal, total nilai transaksi yang tercatat di BEI saat itu turun lebih dari 3 persen.
Ini terjadi karena kepiawaian manajemen dalam mengatur strategi bisnis. Pada 2015, sebagian transaksi Reliance dilakukan di pasar negosiasi. Sebagaimana diketahui, perdagangan efek di pasar negosiasi dilakukan melalui proses tawar menawar secara individual (negosiasi secara langsung) antara anggota bursa (AB) atau nasabah. Walhasil harga transaksi saham di pasar negosiasi bisa lebih tinggi atau lebih rendah dibanding harga pasar.
Selain itu, perusahaan efek seperti Reliance juga bisa mendapat komisi yang lebih besar dari transaksi di pasar negosiasi ketimbang transaksi di pasar reguler.
Berdasarkan data BEI, nilai transaksi Reliance di luar pasar reguler meningkat signifikan menjadi Rp4,5 triliun atau nyaris enam kali lipat dari tahun sebelumnya Rp913 miliar. Ini cukup menutupi transaksi di pasar reguler yang turun drastis menjadi Rp9,9 triliun dari sebelumnya Rp11,9 triliun.
Grafik: Nilai Transaksi Saham Yang Dilakukan Melalui Jasa Reliance
Sumber: Bursa Efek Indonesia
Dengan perubahan tersebut, perseroan sukes meningkatkan performanya pada 2015, setelah sebelumnya mengalami penurunan. Pendapatan Reliance pada 2014 turun 34 persen dari tahun sebelumnya, seiring dengan penurunan nilai transaksi di bursa sebesar 23 persen. Kemudian pada 2015, pendapatan perusahaan meningkat 43 persen menjadi Rp98 miliar dari sebelumnya Rp68 miliar.
Grafik: Pertumbuhan Pendapatan & Laba Reliance
Sumber: Laporan keuangan