ANALISIS: Pasokan dan Pembentuk Harga Pangan

Bareksa • 11 Apr 2016

an image
Presiden Joko Widodo mendengar keluhan petani di Subang, Jawa Barat (20/5/2014).Presiden Joko Widodo mendengar keluhan petani di Subang, Jawa Barat (20/5/2014)

Ada tiga jenis pasar yang harganya dibentuk oleh faktor yang berbeda, sehingga solusinya harus berbeda.

Bareksa.com - Perdebatan korelasi antara produksi dan harga pangan dipastikan tidak ada titik temunya. Ini karena asumsi dasar yang digunakan sangat berbeda.

Pihak pertama beranggapan bahwa pasar pangan sempurna, tanpa ada penimbunan, dan pembentukan harga pangan hanya ditentukan pasokan. Fenomena pertama terjadi, ketika pasokan melimpah, sehingga menjadi determinant factor pembentuk harga. Fenomena ini berasal dari liputan (coverage) “berskala kecil” dengan durasi yang “sifatnya sesaat” (instantaneous).

Adapun pihak kedua menyatakan bahwa, sekalipun pasokan melimpah, tetapi jika dikuasai beberapa gelintir orang (kartel), maka harga pangan akan dideterminasi pemegang stok dominannya. Fenomena kedua inilah yang banyak terjadi, karena pemegang stok dominan pangan hanya dikuasai beberapa gelintir orang. Gula, beras, ayam ras, daging sapi harganya ditentukan pemegang stok dominannya. Ketika impor daging dibuka dengan maksud agar pasokan di pasar melimpah, ternyata harga daging tetap melambung, karena pasokan daging dikuasai kartel.

Pasokan beras

Justifikasi pasokan pangan cukup dibaca dari data produksi BPS. Validitasnya dapat dikonfirmasi dengan parameter seperti: stok, pemasukan beras harian ke pasar induk beras, konsumsi, serta harga eceran. BPS tanggal 1 Maret 2016 merilis Angka Sementara Produksi Padi 2015 sebesar 75,36 juta ton Gabah Kering Giling (GKG), naik 6,37% dibandingkan 2014. Artinya, pasokan berlebih.

Validitas data produksi dapat dikonfirmasi dari survei Sucofindo dan BPS bahwa: stok beras sebanyak 8-10 juta ton tersebar di Bulog dan masyarakat. Rinciannya: (1) stok di produsen 64-81%, (2) di pengilingan dan pedagang 9-24%, (3) di konsumen 9-11%. Stok tersebut berfluktuasi antar ruang dan waktu, terutama saat musim panen dan paceklik, serta antar wilayah sentra dan non sentra padi. Data stok beras di Bulog pada Februari 2016 sebanyak 1,4 juta ton. Panen dan stok yang melimpah itu terkonfirmasi dari data Sensus Pertanian BPS 2013 yang menyebutkan dari 14,3 juta Rumah Tangga Petani (RTP) padi, 37,6% tidak menjual gabah/beras hasil padinya, 54,9% menjual sebagian hasilnya, sisanya 7,6% menjual seluruh hasil usahanya.  

Pemasukan beras harian di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) tahun 2015 jauh lebih tinggi dari 2014. Stok beras PIBC Januari-Maret 2016 naik dua kali lipat dibandingkan periode yang sama pada tahun 2015. Stok beras di pasaran melimpah di saat paceklik Januari-Februari 2016 menunjukkan terjadinya surplus pada akhir tahun 2015 dan diindikasikan beras pada November 2015 s.d. awal Januari 2016 ditimbun di gudang-gudang. Fakta ini mengkonfirmasikan ada kartel yang menahan stok di saat paceklik, sehingga harga melambung tinggi Rp9.000-12.500/kg dan melepas ke pasar menjelang musim panen raya, sehingga harga beras jatuh menjadi Rp7.500-8.500/kg. Fenomena inilah yang semestinya diselesaikan.

Berbagai upaya terus dilakukan BPS dan Kementerian Pertanian untuk meningkatkan kualitas data pangan antara lain melalui survei penggilingan dan mengembangkan standing-crop dari citra Satelit-8 LAPAN. Kita seyogyanya mempercayai BPS sebagai satu lembaga resmi memiliki otoritas dan kompetensi di bidang perstatistikan, karena didukung dengan sumberdaya, dana, serta peralatan. Kalau ada pihak-pihak yang tidak mempunyai infrastruktur tetapi meragukan data BPS, membuat kita jadi meragukan obyektivitasnya. Data BPS seperti inflasi, ekspor-impor, kemiskinan, dan lain-lain telah diakui dunia internasional. Apalagi, data BPS dihimpun melalui metode yang mengikuti  pedoman dan SoP yang ketat serta diolah dengan metode teruji.

Operasi “Sergab”

Sukses peningkatan produksi padi 2015 harus diikuti sukses hilirisasi dan tata niaga agar nilai tambahnya diterima petani. Kejadian pahit terjadi waktu panen raya Maret-April 2015. Petani menjerit, harga gabah jatuh, BULOG tidak berdaya. Diperlukan gerakan masif dan terstruktur untuk melakukan operasi serap gabah (Sergab) petani secara langsung untuk mencegah anjloknya harga gabah sekaligus memperkuat cadangan beras nasional. Bulog harus bertransformasi, mengubah mindset dengan membeli gabah petani dan bukan membeli beras. Apabila target penyerapan gabah 8-10 juta ton GKP musim panen Maret-Juni 2016 tercapai, maka profit petani terjamin dan konsumen menikmati harga beras rastra murah dan berkualitas.

Pertanyaannya, lalu bagaimana pembentukan harga pangan agar menguntungkan para pihak?.

Ada tiga jenis pasar yang harganya dibentuk oleh faktor yang berbeda, sehingga solusinya harus berbeda. Pertama, pasar gabah di produsen, harganya dominan dibentuk dari faktor pasokan/penawaran, sejalan teori ekonomi klasik bahwa harga ditentukan besarnya pengorbanan untuk menghasilkan barang tersebut. Uji korelasi maupun regresi data bulanan Januari 2011-Desember 2015 menunjukkan ada hubungan signifikan antara harga gabah di produsen dengan produksi gabah. Artinya, harga gabah di produsen turun pada panen raya dan harga naik pada musim paceklik. Perlindungan petani terhadap fluktuasi harga dilakukan pemerintah melalui penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Instrumen HPP efektif di lapangan saat harga gabah anjlok di bawah HPP. Ketika harga gabah di atas HPP, BULOG diberi otoritas melalui instrumen beras komersial.

Kedua, pasar beras di tingkat eceran (konsumen). Harganya tidak dibentuk dari faktor pasokan (teori ekonomi klasik) maupun faktor permintaan (teori neo-klasik). Tokoh neoklasik menyatakan harga adalah cerminan kondisi permintaan atau di sisi konsumen berdasarkan marginal utility, mengkonsumsi barang satu unit barang terakhir. Uji korelasi maupun regresi menunjukkan tidak ada hubungan antara pasokan dengan harga eceran beras. Harga beras 2011-15 setiap bulan dan tahun cenderung naik walaupun pasokan bulanan berfluktuasi sesuai musim. Artinya, faktor pembentuk harga beras di konsumen ditentukan faktor distribusi, sistem logistik, struktur pasar, perilaku pasar (termasuk kartel), maupun ekspektasi pasar.  

Survei BPS menyebutkan terjadi ketimpangan lebar antara penurunan harga beras di tingkat penggilingan, pedagang grosir, dan eceran dengan penurunan harga gabah di petani. Pada Maret 2016, harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani sudah turun 9,76%dibandingkan Februari 2016. Namun, harga beras di tingkat penggilingan pada periode yang sama hanya turun 1,84%. Di pedagang grosir lebih rendah lagi, penurunan hanya 0,44% dan penurunan harga di tingkat pedagang eceran 0,56%. Fakta sehari-hari dapat kita lihat secara  kasat mata, kenaikan harga di konsumen tidak diikuti kenaikan harga produsen, karena penikmat keuntungan adalah pedagang yang dikendalikan oleh pelaku pasar dominan. Ironinya, penurunan sedikit harga di konsumen langsung menekan jatuh harga produsen. Sebaliknya, kenaikan sedikit harga di produsen direspons dengan kenaikan harga sangat tinggi di konsumen, dan anjloknya harga di produsen hanya sedikit berpengaruh pada harga di konsumen.

Anomali pasar pangan di konsumen menyebabkan produk petani tidak mengalir ke konsumen secara sempurna. Implikasinya, terjadinya disparitas tinggi antara harga di produsen dan konsumen. Kegagalan pasar pangan di konsumen dapat diatasi melalui: (1) perbaikan rantai distribusi pangan dan sistem logistik, (2) penguatan Cadangan Beras Pemerintah (CBP) minimal 10% (3) menindak tegas para pelaku yang mempermainkan stok dan harga pangan,  serta (4) pamungkasnya membuat kebijakan proteksi yang “strong and all out” pada pangan strategis (beras).

Ketiga, pasar beras Internasional yang pembentukan harga berasnya bukan ditentukan ekonomi supply-demand semata, melainkan aspek lebih yang luas, termasuk food security. Harga pangan dunia dipengaruhi: konsumsi dan produksi global, kondisi iklim, ekonomi global, harga energi, nilai tukar mata uang.  Perubahan harga beras internasional tidak serta merta berpengaruh pada harga domestik karena ada kebijakan HPP, kecilnya rasio impor dan kualitas beras yang berbeda. Fakta harga beras di pasar tradisional Cho Tanh Dinh, Kota Ho Chi Minh, Vietnam tidak jauh berbeda dengan Indonesia. Ironisnya Vietnam mengekspor beras dengan harga yang jauh lebih murah. Ada apa sebenarnya? Apa Pemerintah Vietnam melakukan dumping?

Pengamat yang meragukan data produksi BPS dan menyatakan harga beras Indonesia termahal di dunia perlu mengkaji  lebih cermat lagi . Kita harus bangga dengan produksi bangsa sendiri dan mendukung terwujudnya kedaulatan pangan.

*Kepala Pusat Data dan Sistem Informasi Kementerian Pertanian RI