Bareksa.com - Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) kini mewajibkan penyedia layanan aplikasi dan konten melalui internet (over the top, OTT) asing membentuk badan usaha tetap dan membayar pajak. Kebijakan itu tertuang dalam Surat Edaran Menteri Kominfo Rudiantara No. 3/2016 tentang Penyediaan Layanan Aplikasi dan/atau Konten Melalui Internet.
Dalam surat itu, perusahaan OTT didefinisikan sebagai penyedia layanan aplikasi melalui internet yang memungkinkan terjadinya layanan komunikasi dalam bentuk pesan singkat, panggilan suara, panggilan video, dan percakapan daring (chatting), transaksi finansial dan komersial, penyimpanan dan pengambilan data, jejaring dan media sosial, serta turunannya. Tidak hanya itu, definisi OTT juga meliputi layanan semua bentuk informasi digital yang terdiri dari tulisan, suara, gambar, animasi, musik, video, film, permainan (game) atau kombinasi dari sebagian dan/atau semuanya, termasuk dalam bentuk yang dialirkan (streaming) atau diunduh (download) dengan memanfaatkan jasa telekomunikasi melalui jaringan telekomunikasi berbasis protokol internet.
Kewajiban untuk mendirikan badan usaha tetap itu merupakan langkah strategis untuk "memaksa' perusahaan OTT asing membayar pajak ke negara, karena selama ini mereka berbisnis di atas pertumbuhan pengguna dan infrastruktur Internet di Indonesia. Soal ini telah lama didesakkan oleh pemain OTT nasional, agar ada kesetaraan dalam berbisnis (level playing field). Selama ini, banyak pemain OTT asing sebatas mendirikan kantor perwakilan pemasaran dan karenanya terhindar dari kewajiban membayar pajak, padahal mereka mendulang profit dan pertumbuhan dari besarnya populasi pengguna Internet di Indonesia. Sementara itu, startup lokal sejak hari pertama mendirikan perusahaan sudah langsung diburu pajak.
Besarnya netizen Indonesia menjadi magnet bagi perusahaan-perusahaan OTT asing, termasuk yang bergerak di bidang layanan transaksi perdagangan elektronik atau e-commerce. Laporan Kementerian Keuangan RI tanggal 16 Febuari 2016 menunjukkan transaksi e-commerce sepanjang tahun 2014 mencapai US$12 miliar atau melesat 50 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Tahun 2015, angka ini diprediksi melesat ke level US$24,6 miliar.
Menurut laporan riset Ernst & Young, potensi ekonomi digital yang mencakupi transaksi e-commerce dan pendapatan media sosial di Indonesia saat ini telah mencapai US$13 miliar. Angka ini diproyeksi akan terus bertumbuh hingga US$130 miliar pada tahun 2020.
Peran pasar Indonesia semakin signifikan. Saat ini, masih menurut laporan Ernst & Young tersebut, sebesar 22 persen pendapatan Facebook Asia Pasifik berasal dari Indonesia. Pada tahun 2015, Facebook di Asia Pasifik mendulang pendapatan hingga US$846 juta. Artinya, Facebook Indonesia berkontribusi US$193 juta atau setara dengan Rp2,51 triliun.
Data statista.com menunjukkan pengguna Facebook di Indonesia pada tahun 2015 mencapai 70,6 juta, naik 17 persen dari tahun sebelumnya yang 60,3 juta pengguna. Jumlah pengguna Facebook di Indonesia, setara dengan 23 persen pengguna di kawasan Asia Pasifik.
Grafik: Pengguna Internet & Pengguna Facebook di Indonesia
Sumber: eMarketer, Statista.com; diolah Bareksa
Potensi ini masih terus akan bertumbuh ke level yang lebih menggiurkan. Data eMarketer menunjukkan pengguna Internet Indonesia pada tahun 2018 diproyeksi mencapai 123 juta orang dan akan menempati posisi ke-6 di dunia dengan pertumbuhan rata-rata 9 persen per tahun. Hal ini akan menjadi booster bagi pertumbuhan pengguna media sosial dan ecommerce. Dan buat pemerintah, semakin besarnya perputaran uang di bisnis digital ini merupakan potensi penerimaan pajak yang menarik.
Ketua Asosiasi Ecommerce Indonesia (IDEA) Daniel Tumiwa kepada Bareksa mengatakan, "Kebijakan itu kami dukung sepenuhnya dan selama ini kami selalu meminta level playing field antara pemain lokal dan asing. Kami akan terus kawal dan menagihnya, karena memang seharusnya begitu."
Status Facebook Indonesia
Menurut informasi yang dihimpun analis Bareksa, hingga akhir tahun lalu, Facebook di Indonesia belum berbentuk badan hukum Indonesia. Berdasarkan salinan dokumen yang diperoleh Bareksa, yang terdaftar di Badan Koordinasi Penanaman Modal RI adalah Facebook Singapore Pte. Ltd. sebagai Kantor Perwakilan Perusahaan Asing (KPPA) dengan izin nomor 187/1/KPPA/2013. Adapun kegiatan usahanya adalah "sales and marketing support services".
Yang menarik, Facebook Singapore Pte. Ltd. juga sudah terdaftar sebagai wajib pajak di Ditjen Pajak RI tertanggal 10 Februari 2014. Akan tetapi, dalam Klasifikasi Lapangan Usaha hanya tertera "penelitian pasar dan jajak pendapat", bukan sebagai media sosial dan tidak menyinggung iklan yang selama ini merupakan sumber pendapatan utama Facebook.
Saat bertemu pendiri sekaligus CEO Facebook, Mark Zuckerberg, di sela-sela kunjungan ke Silicon Valley, AS, 17 Februari 2016 lalu, Presiden Jokowi meminta dukungan Facebook bagi pembangunan ekonomi digital Indonesia. “Saya harap Facebook dapat bekerja sama membantu Indonesia mencapai visi ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara yang mencapai US$130 miliar pada 2020,” demikian dinyatakan Presiden. Dalam kesempatan itu, Presiden Jokowi memberikan cindera mata kepada Zuckerberg, sebuah bingkai berisi tulisan: "Bersama Kita Wujudkan Impian Indonesia dan Impian Dunia". (np, kd)