Pemerintah Akan Moratorium Lagi Pembukaan Lahan Sawit, Ini Dampaknya
Lahan sawit yang ada saat ini dinilai sudah cukup luas
Lahan sawit yang ada saat ini dinilai sudah cukup luas
Bareksa.com – Industri kelapa sawit nasional saat ini sedang resah, setelah Presiden Joko Widodo mengeluarkan pernyataan akan menerapkan moratorium (penghentian sementara) penerbitan izin baru untuk pembukaan lahan kelapa sawit dan juga tambang. Kelestarian lingkungan menjadi alasan utama Presiden, selain juga karena lahan sawit yang ada saat ini sudah cukup luas. "Siapkan moratorium kelapa sawit, siapkan moratorium wilayah-wilayah pertambangan," katanya seperti dilansir media.
Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Tofan Mahdi mengatakan asosiasi sudah bertemu dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya dan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman. Namun, mereka belum bisa memberi penjelasan rinci mengenai moratorium lahan sawit apakah terkait dengan kebijakan moratorium lama yang akan habis masa berlakunya pada 2017 atau moratorium baru.
“Kami berencana bertemu dengan Presiden Jokowi untuk menanyakan langsung seperti apa moratorium tersebut,” katanya kepada Bareksa di Jakarta.
Promo Terbaru di Bareksa
Yang pasti, kata Tofan, sejak ada moratorium pembukaan lahan di hutan primer dan gambut, ekspansi pembukaan lahan baru oleh perusahaan kelapa sawit sangat minim. “Untuk investasi membuka lahan baru baru hampir tidak ada. Jika ada pun itu berasal dari akuisisi terhadap perusahaan sawit lain.”
Sejak masa SBY
Moratorium untuk lahan sawit berlaku ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Instruksi Presiden No. 10/2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut pada 19 Mei 2011.
Setelah itu, Presiden Jokowi menerbitkan Inpres No. 8/2015 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut pada 13 Mei 2015.
“Kedua regulasi itu membuat ekspansi lahan sawit baru berkurang sekitar 200 ribu hektare per tahun,” Direktur Eksekutif GAPKI Fadil Hasan menambahkan. Sebelum moratorium, ekspansi lahan sawit bisa mencapai 500-600 ribu hektare per tahun.
Data Direktorat Jenderal Perkebunan menunjukkan sebelum adanya Inpres yang melarang pembukaan lahan di hutan primer dan gambu--khususnya untuk sawit--total luas lahan sawit secara nasional bertumbuh 6,7 persen per tahun pada periode 2000-10. Sedangkan pertumbuhan produksi tandan buah sawitnya sebesar 11,3 persen.
Namun, setelah Presiden SBY dan juga Presiden Jokowi mengeluarkan kebijakan moratorium, pertumbuhan lahan kebun sawit secara nasional melambat. Luasan lahan sawit hanya bertumbuh 6,2 persen per tahun pada periode 2011-15, sedangkan pertumbuhan produksi menurun menjadi 7,1 persen per tahun. (Lihat grafik di bawah)
Grafik: Perkembangan Luas Lahan Sawit Nasional Sebelum Ada Moratorium Hutan Primer dan Gambut, 2000-10
Sumber: Ditjen Perkebunan, diolah
Grafik: Perkembangan Luas Lahan Sawit Nasional Setelah Ada Moratorium Hutan Primer dan Gambut, 2011-15
Sumber: Ditjen Perkebunan, diolah
Dampak terhadap harga
Peneliti Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Hasril Hasan Siregar seperti dikutip dalam siaran pers GAPKI menyebutkan moratorium konsesi lahan untuk pengembangan kelapa sawit akan berdampak besar kepada pasokan dan harga produk sawit ke pasar dunia.
Hal ini disebabkan beberapa hal. Pertama, Keseimbangan pasokan dan produk sawit di Indonesia selama ini terjadi dengan mekanisme berkurangnya produksi akibat peremajaan kelapa sawit yang mencapai 5 persen dari jumlah area tanaman menghasilkan dapat dikompensasi dengan penambahan luas areal kelapa sawit baru
Kedua, kata Hasril, pasokan yang berkurang akan berakibat pada naiknya harga minyak kelapa sawit dan membuat produk sawit Indonesia tidak kompetitif. Padahal, selama ini harga minyak sawit lebih kompetitif dibanding harga minyak nabati lainnya dan telah memberi banyak manfaat bagi masyarakat dunia (utamanya di negara-negara berpendapatan rendah).
Grafik: Perkembangan Harga CPO di pasar global
Sumber: Bareksa
Dalam tiga bulan terakhir, harga CPO di pasar dunia, khususnya di Bursa Malaysia cenderung meningkat. Pada Januari 2016, harga CPO mencapai RM2.309,73 per metrik ton (MT), dan pada Maret meningkat menjadi RM2.584,21 per MT. Kenaikan harga ini dipengaruhi efek El Nino yang membuat pasokan CPO dari Malaysia dan Indonesia berkurang. Harga CPO sebelumnya sempat terpuruk akibat lesunya perekonomian global. Pada periode MaretSeptember 2015 terjungkal ke harga terendah RM2.080 per metrik ton dari sebelumnya RM 2.236,69. (kd)
Pilihan Investasi di Bareksa
Klik produk untuk lihat lebih detail.
Produk Eksklusif | Harga/Unit | 1 Bulan | 6 Bulan | YTD | 1 Tahun | 3 Tahun | 5 Tahun |
---|---|---|---|---|---|---|---|
Trimegah Dana Tetap Syariah Kelas A | 1.384,88 | 0,21% | 4,05% | 7,72% | 8,08% | 19,46% | 38,34% |
Trimegah Dana Obligasi Nusantara | 1.095,38 | 0,14% | 4,09% | 7,18% | 7,47% | 3,23% | - |
STAR Stable Amanah Sukuk autodebet | 1.084,98 | 0,55% | 4,00% | 7,61% | 7,79% | - | - |
Capital Fixed Income Fund autodebet | 1.853,59 | 0,53% | 3,86% | 7,19% | 7,36% | 17,82% | 41,07% |
Insight Renewable Energy Fund | 2.287,69 | 0,82% | 4,11% | 7,35% | 7,53% | 19,98% | 35,83% |
Produk Belum Tersedia
Ayo daftar Bareksa SBN sekarang untuk bertransaksi ketika periode pembelian dibuka.
Produk Belum Tersedia
Ayo daftar Bareksa SBN sekarang untuk bertransaksi ketika periode pembelian dibuka.