Bareksa.com - Indonesia memiliki jumlah pemeluk agama Islam sekitar 205 juta orang, yang menjadikannya negara populasi umat Muslim terbesar dunia. Dengan banyaknya jumlah penduduk Muslim, potensi industri keuangan syariah tentunya sangat besar. Akan tetapi, bila dibandingkan dengan negara berpopulasi Muslim lainnya, perkembangan Indonesia masih tertinggal.
Dalam kenyataannya, ekonomi berdasarkan prinsip-prinsip Islam masih belum terlalu berkembang di Indonesia yang 88 persen warganya adalah Muslim (berdasarkan data Pew Research Center 2010). Kondisi ini berbeda dengan negara tetangga yaitu Malaysia, yang sudah menjadi pembanding untuk perkembangan pasar modal syariah global. Padahal populasi Muslim Malaysia hanya 17 juta orang dengan persentase 61 persen dari total penduduk.
Berdasarkan data terakhir (September 2015), jumlah saham syariah di Bursa Efek Indonesia sebanyak 318 saham, atau 62 persen dari total saham tercatat. Persentasi itu masih lebih rendah dibanding di Malaysia yang mencapai 74 persen. Demikian juga untuk reksa dana syariah dan sukuk korporasi, di Indonesia porsinya masing-masing hanya 8 persen dan 10 persen. Padahal, di Malaysia porsi reksa dana syariah sudah mencapai 31 persen dan sukuk korporasi sudah 68 persen.
Grafik Porsi Efek Syariah Terhadap Total Produk di Indonesia & Malaysia
Sumber: Bursa Efek Indonesia (September 2015), Securities Commission Malaysia (Juni 2015)
Demikian juga untuk kontribusi efek syariah terhadap total nilai efek nasional. Di Indonesia, kapitalisasi pasar (market cap) saham syariah sebesar 56 persen dari total, sedangkan di Malaysia sudah mencapai 62 persen. Nilai dana kelolaan reksa dana (AUM) syariah di Indonesia juga kontribusinya hanya 4 persen, dibandingkan di Malaysia yang sudah 18 persen. Adapun porsi outstanding sukuk korporasi Indonesia hanya 3 persen sedangkan di Malaysia sudah mencapai 68 persen.
Grafik Kontribusi Nilai Efek Syariah Terhadap Total Efek di Indonesia & Malaysia
Sumber: Bursa Efek Indonesia (September 2015), Securities Commission Malaysia (Juni 2015)
Manuel M. Maleaki, Head of Investment & Research PT Mega Asset Management, menyayangkan kondisi tersebut karena pelaksanaan sistem syariah masih terkesan setengah hati. Menurut dia, para pelaku ekonomi syariah cenderung menggunakan pendekatan akomodatif terhadap sistem konvensional maupun hukum positif yang berlaku.
"Pelaksanaan konsepsi syariah dijalankan sebatas pada judul dan istilah bahasa Arab semata. Prinsip operasionalnya tidak berbeda dengan sistem konvensional," ujarnya dalam riset yang disampaikan kepada Bareksa.com.
Dia mencontohkan, ketetapan untuk melakukan bagi hasil, disiasati dengan melaksanakan akad sesuai syariah, yaitu bagi hasil, tetapi besarnya angka bagi hasil sudah ditetapkan diawal oleh pihak pemodal, dan nasabah hanya bisa menyetujui. Bahkan, dengan besaran persentase yang sangat mendekati tingkat bunga yang berlaku pada bank konvensional.
Menurut dia, praktik seperti ini sangat menguntungkan pihak pemodal. Apalagi dengan adanya jaminan benda yang bisa disita oleh pemodal, yang sebenarnya tidak direkomendasikan dalam sistem syariah. Nasabah seolah dituntut untuk menjamin bahwa usahanya sukses dan tidak mungkin ada kegagalan. "Padahal menjamin yang demikian itu tidak bisa dilakukan oleh siapa pun," katanya.
Untuk mendorong pertumbuhan industri keuangan syariah, faktor-faktor yang perlu diperbaiki adalah sumber daya manusia dan edukasi konsumen. Menurut Manuel, kompetensi adalah pekerjaan rumah besar khususnya bagi sumber daya manusia yang nantinya akan mendampingi dan memonitor pengelolaan uang nasabah berdasarkan prinsip syariah.
"Dari sisi keilmuan sistem ekonomi syariah sendiri, misalnya harus diakui seringkali masih belum mencukupi. Realitas setengah hati ini ini menegaskan para pengelola lembaga ekonomi syariah kurang bersungguh?sungguh melaksanakan konsepsi ekonomi syariah itu sendiri," kata Manuel.
Grafik Pertumbuhan Produk Syariah di Indonesia
Sumber: Bursa Efek Indonesia
Memang selama lima tahun terakhir efek syariah di Indonesia mengalami pertumbuhan. Jumlah saham syariah per September 2015 sebanyak 318 produk, tumbuh 34,1 persen dari jumlah pada 2011. Jumlah produk reksa dana syariah per September 2015 mencapai 85 produk, tumbuh 70 persen dari angka di 2011.
Berkaitan dengan pertumbuhan itu, Manuel menjelaskan bahwa pertumbuhan syariah saat ini hanya didorong oleh mayoritas penduduk Indonesia yaitu golongan muslim yang mengharamkan sistem bunga, bukan karena keunggulan produk dari lembaga ekonomi syariah. Padahal jika bisa disosialisasikan lebih luas keluar dari basis tradisional ekonomi syariah atau umat muslim, maka niscaya ekonomi syariah akan hadir sebagai pilihan investasi bagi umat lainnya.
"Di Kuala Lumpur, misalnya, masyarakat Tionghoa yang sebagian besar merupakan umat Buddhis juga menggunakan syariah. Di London, umat Kristiani juga menggunakan ekonomi syariah karena dianggap tangguh menghadapi krisis moneter karena ayat kitab suci mereka juga melarang pengenaan bunga, bahkan di Tel Aviv pun sejumlah pelaku pasar di sana tidak menerapkan sistem berbasis interest rate," ungkapnya.
Tahun Pasar Modal Syariah
Dalam mendukung perkembangan industri keuangan berbasis syariah, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menetapkan 2015 sebagai Tahun Pasal Modal Syariah. Tidak hanya kampanye, OJK juga tengah menggodok 6 aturan terkait pasar modal syariah untuk menyempurnakan peraturan yang sudah ada sebelumnya.
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK Nurhaida mengatakan peraturan yang tengah digodok tersebut adalah Peraturan Penerapan Prinsip Syariah di Pasar Modal, Peraturan Penerbitan Saham Syariah, Peraturan Penerbitan Sukuk, Peraturan Penerbitan Reksa Dana Syariah, Peraturan EBA Syariah, Peraturan Ahli Syariah Pasar Modal. "Target kami pada 2015 bisa diterbitkan," katanya belum lama ini.
Selain itu, otoritas juga mengkaji pemberian insentif dalam bentuk penyesuaian tarif pungutan bagi produk syariah menjadi lebih kecil. OJK saat ini sedang membahas kebijakan itu dengan Direktorat Jenderal Pajak dan Badan Kebijakan Fiskal untuk merevisi ketentuan pungutan yang ada di dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 tahun 2014 tentang Pungutan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Manuel berkomentar bahwa regulator dan ulama, dalam hal ini OJK dan Dewan Syariah Nasional (DSN), dituntut untuk berani dan konsekuen menjalankan ekonomi syariah. Mereka harus dapat menyelesaikan perbedaan di antara mereka dan memimpin masyarakat untuk menjalankan sistem ekonomi syariah.
"Dari segi kebijakan terlihat baru penyempurnaan aturan yang ada sebelumnya, kecuali aturan mengenai ahli pasar modal syariah, sehingga diharapkan makin banyak terbitnya sukuk korporasi, reksa dana syariah, dan peningkatan jumlah investor dengan adanya lisensi sebagai ahli pasar modal syariah," kata Manuel.
Selain itu, DSN perlu mensosialisasikan lebih jauh pada ulama di berbagai daerah mengenai standar AAOIFI (Accounting and Auditing Organization of Islamic Financial Institution) No. 21 (pasal 2/1) yang menegaskan instrumen saham itu tidak bertentangan dengan syariah dengan akadnya syirkah al?musahamah, bahkan mensosialisasikan lebih jauh fatwa DSN?MUI No. 40 tahun 2003 (pasal 4 ayat 3). Lalu kalau perdagangan saham itu sendiri tidak bertentangan dengan syariah sebagaimana bagian lainnya pada standar AAOIFI No. 21 (pasal 3/2 dan 3/7).
Bila hal tersebut dapat dilakukan, Manuel optimis ekonomi syariah akan lebih diterima masyarakat Indonesia karena keunggulan, persepsi dan fundamental yang melayakkannya sebagai platform ekonomi alternatif bagi semua kalangan, baik basis tradisionalnya umat muslim maupun kalangan lebih luas masyarakat Indonesia yang juga memiliki kekuatan ekonomi untuk menopang pertumbuhan ekonomi negara ini. "Mari mengulang success story Malaysia, dan menjadikan Indonesia hebat!"