Bareksa.com - Ekonom mempertanyakan ketegasan pemerintah menentukan harga bahan bakar minyak (BBM) setelah beberapa kali mengubah skema untuk mengikuti harga keekonomian.
Kemarin (Kamis, 1 Oktober 2015), Presiden Joko Widodo mengatakan ada kemungkinan harga BBM akan diturunkan untuk mendorong daya beli masyarakat.
"Sekarang yang sedang ditunggu kejelasan sistem perhitungan yang dipakai. Jangan bilang tiga bulan di-review, tapi nanti diubah lagi. Kalau memang ingin sesuai harga keekonomian, dilakukan saja seperti itu," ujar Anton Gunawan, Kepala Ekonom Bank Danamon Indonesia ketika dihubungi oleh Bareksa (2/10).
Dia pun mengatakan rencana penurunan harga BBM tersebut seharusnya tidak dianggap sebagai satu bagian dari paket kebijakan ekonomi. Alasannya aturan mengenai harga BBM yang disesuaikan dengan harga keekonomian ini sudah dikeluarkan sejak akhir 2014, awal Presiden Jokowi menjabat.
Per 1 September, harga BBM dengan oktan (RON) 88 atau dikenal dengan merek Premium di Wilayah Penugasan Luar Jawa-Madura-Bali tetap Rp 7.300 per liter dan Solar bersubsidi tetap Rp 6.900 per liter. Harga minyak tanah juga sama dengan sebelumnya, yakni Rp. 2.500 per liter (termasuk PPN).
Pertama kali pemerintah mencabut subsidi untuk BBM pada akhir 2014, harga bensin di masyarakat turun menjadi Rp7.600 per liter dari sebelumnya Rp8.500 per liter karena memang harga minyak mentah global sedang menurun. Semenjak itu, pemerintah mengatakan akan mengkaji harga BBM setiap dua minggu sekali.
Namun, ketika harga minyak global balik merangkak naik sejak April 2015, pemerintah enggan menyesuaikan harga BBM eceran. Akibatnya, PT Pertamina sebagai distributor BBM harus menanggung rugi dari selisih harga jual dan harga keekonomian.
Grafik Pergerakan Harga Minyak WTI
Sumber: Bloomberg
Kemudian harga minyak mentah sejak akhir Juni terus merosot, dari sekitar US$60 per barel menjadi sekitar US$48 per barel per akhir Juli hingga sempat menyentuh US$40 pada Agustus. Pemerintah lagi-lagi tidak menyesuaikan harga BBM dalam negeri dengan alasan ingin memberi kompensasi kepada Pertamina yang menanggung rugi. (Baca juga: Minyak Anjlok di Bawah $40/Barel, Kenapa Harga BBM Tidak Turun? Ini Hitungannya)
Direktur Eksekutif Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto menilai seharusnya harga BBM jenis Premium turun seiring dengan perkembangan harga minyak global. Namun, dia melihat tindakan menahan harga ini menunjukkan pemerintah tidak konsisten dalam menyesuaikan harga BBM.
"Menurut perhitungan saya, harga bensin Premium seharusnya sekitar Rp5.900 per liter. Perhitungan itu didasarkan harga minyak US$40 per barel, dan kurs Rp14.000 per dolar. Perhitungan harga jual itu sudah termasuk pajak 15 persen dan biaya distribusi," ujarnya.