Bareksa.com – Akan dimasukkannya Renminbi, mata uang China, menjadi salah satu mata uang global masih menimbulkan pro-kontra di sejumlah kalangan. Bagi eksportir atau pun importir yang berdagang dengan mitranya dari Negeri Tirai Bambu, jelas kondisi ini menjadi angin segar. Pasalnya, nilai ekspor atau pun impor dari China tergolong besar.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor Indonesia ke China per Juli 2015 nilainya mencapai $1,2 miliar atau setara dengan 10,61 persen dari keseluruhan nilai ekspor Indonesia. Porsi ekspor ke China ini pun nilainya terus naik cukup signifikan dalam empat bulan terakhir.
Grafik Ekspor Indonesia ke China
Tidak hanya ekspor, perdagangan impor Indonesia pun nilainya sangat besar. Pada akhir Juli, nilai impor Indonesia dari China mencapai $1,82 miliar atau 19,02 persen dari keseluruhan impor. Seperti halnya ekspor Indonesia, nilai impor dari China pun nilainya terus meningkat. Terlebih, impor dari sektor non-migas seperti baja, mesin, dan peralatan mekanik dan listrik.
Grafik Impor Indonesia dari China 2015
Bila Renminbi—satuan mata uangnya adalah Yuan—dimasukan ke dalam Special Drawing Right (SDR), baik eksportir atau pun importir nantinya tidak perlu repot-repot mengganti mata uang perdagangannya dengan dolar AS. Kondisi ini pun dipercaya akan mendorong peningkatan transaksi menggunakan mata uang Yuan. Imbasnya, kebutuhan atas dolar AS diperkirakan akan berkurang. Nilai tukar Rupiah pun berpotensi lebih stabil.
Sebagai informasi, penggunaan dolar AS selama ini sangat besar dibandingkan dengan mata uang lainnya. Per Juli, porsinya mencapai 53,91 persen dari seluruh nilai impor Indonesia. Sementara, penggunaan mata uang Yuan baru sekitar 0,10 persen dari keseluruhan transaksi impor.
Pie Chart Impor Indonesia Berdasarkan Valuta Asing, per Juli 2015
Sumber: BPS, diolah Bareksa.com
Nilai tukar Renminbi yang selama dinilai lebih stabil pun menjadi salah satu kelebihan bertransaksi dengan Yuan dibanding jika menggunakan dolar AS.
Namun, kondisi ini bagi sejumlah kalangan lain tidak serta merta menguntungkan Indonesia karena kestabilan Renminbi diperkirakan tidak akan lama. Rangga Cipta, Ekonom Samuel Sekuritas, mengungkapkan bahwa kestabilan Renminbi selama ini terjadi karena kuatnya kontrol bank sentral China (PBoC) atas mata uang tersebut.
“Kontrol ini harus pelan-pelan dikurangi jika PBoC menginginkan agar Yuan menjadi mata uang global,” ungkap Rangga kepada Bareksa.