Bareksa.com - China menjadi sorotan pelaku pasar keuangan dunia pasca pertemuan Presiden Xi Jinping dan Presiden Barack Obama, 25 September kemarin. Pertemuan kedua kepala negara itu mengarah kepada dukungan Amerika Serikat memasukkan yuan sebagai salah satu mata uang dunia.
Sampai dengan saat ini, belum ada analis yang bisa menjelaskan seberapa signifikan pengaruh yuan setelah masuk dalam daftar Special Drawing Rights (SDR), terhadap kondisi keuangan global. Yang jelas, saat ini negara yang menyumbang 11 persen dari total ekspor dunia ini selalu amat berpengaruh terhadap arah pasar keuangan global.
Salah satu contoh paling nyata adalah ambrolnya sejumlah mata uang dunia saat Tiongkok mendevaluasi yuan. Pemangkasan nilai mata uang yang dilaksanakan pada pertengahan Agustus 2015 kemarin itu, langsung menghantam 6 dari 10 mata uang negara G-10, hingga ambrol. Yang terhantam paling keras adalah dolar Australia, anjlok 1,48 persen terhadap dolar AS.
Yang terempas lebih parah lagi adalah mata uang negara-negara berkembang. Rubel Rusia amblas 2,01 persen begitu China mengumumkan devaluasi pertama pada 11 Agustus 2015. Ringgit Malaysia dan rupiah tersungkur masing-masing 1,64 persen dan 1,44 persen.
Grafik: Penurunan Mata Uang Dunia Pasca Devaluasi China 11 Agustus 2015
Sumber: Bareksa
Pengaruh Sang Naga tidak cuma dari devaluasi yuan. Sebelumnya, bursa saham dunia juga sempat rontok saat sejumlah lembaga keuangan dunia memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi China. Citigroup, HSBC dan juga World Bank memproyeksikan PDB China di tahun 2013 hanya akan bertumbuh 7,4-7,5 persen, turun dari proyeksi sebelumnya di kisaran 8,2-8,3 persen.
Grafik: Pelemahan Indeks Saham Global 17 Mei - 21 Juni 2013
Sumber: Bareksa
Impaknya dahsyat. Pada periode Mei-Juni 2013, sejumlah indeks saham global anjlok berbarengan. Yang paling parah adalah Nikkei Jepang yang rontok 12,6 persen, diikuti Hang Seng dengan minus 12,21 persen. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga terkapar, minus 11 persen. Bahkan, impaknya mengibas sampai ke luar Asia. Dow Jones Industrial Average (DJIA) anjlok 3,61 persen dan FTSE ambrol 6,5 persen.
Pada akhirnya, China merealisasikan pertumbuhan ekonomi di angka 7,7 persen pada tahun 2013, turun dari 2012 yang 7,8 persen. (kd)