Bareksa.com - Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menilai bahwa industri perbankan nasional masih kuat, meski nilai tukar rupiah terus melemah terhadap dolar AS. Di sisi lain, tetap ada kekhawatiran kualitas kredit akan semakin memburuk jika volatilitas nilai tukar kian panjang sehingga mengganggu kinerja bank.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), kredit macet (non-performing loan/NPL) industri bank berada di level 2,69 persen pada Juli 2015, naik dibandingkan 2,53 persen pada Juni 2015 dan 2,23 persen pada Juli tahun lalu. Nilai NPL periode Juli sebesar Rp103 triliun, naik dari bulan sebelumnya Rp97 triliun. (Baca juga: Saham Sektor Keuangan Tertekan Kenaikan NPL)
Grafik Peningkatan NPL dan Kredit Bank
Sumber: Bareksa.com
Plt. Kepala Eksekutif LPS Fauzi Ichsan mengakui bahwa dengan adanya perlambatan ekonomi pada semester pertama tahun ini, ada kenaikan NPL. Namun, rasio NPL tersebut masih lebih rendah dibandingkan dengan rasio NPL 3,5 persen di saat krisis finansial tahun 2008.
Selain itu, dia menjelaskan bahwa salah satu indikator yang dapat dipakai untuk mengukur kesehatan bank adalah tingkat kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR). CAR merupakan perbandingan antara modal bank terhadap risiko tertimbang aset.
"Tentunya dengan perlambatan ekonomi dan anjloknya harga komoditas, NPL naik. NPL masih 2,6 persen, di bawah 3,5 persen waktu krisis finansial global 2008. Tingkat permodalan bank sekarang masih kuat menahan kenaikan NPL," ujarnya di sela-sela perayaan HUT 10 tahun LPS di Jakarta (22/9).
Grafik Kecukupan Modal Minimum Bank Umum Konvensional
Sumber: Otoritas Jasa Keuangan
Menanggapi depresiasi rupiah dengan nilai tukar mencapai 14.400 per dolar AS, Fauzi menilai perbankan nasional masih kuat selama belum menyentuh level 16.000 per dolar AS. Dia memaparkan bahwa depresiasi rupiah dipicu oleh penguatan dolar AS terhadap mata uang Asia. (Baca juga: Hasil Stress Test OJK, Perbankan Masih Kuat Jika Rupiah Rp16.000 Per Dolar)
“Bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan. Ini bersifat temporer. Kami lihat keadaan sekarang mata uang emerging market tertekan namun akhir tahun akan ada ruang untuk menguat hingga tahun depan,” ujarnya.
Selain itu, ada faktor lain seperti devaluasi yuan, perlambatan ekonomi China dan perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia, serta kemungkinan suku bunga AS naik. Faktor-faktor tersebut memukul mata uang negara berkembang terutama Brazil, Rusia, dan Indonesia.
Namun, katanya, kenaikan suku bunga AS ditangguhkan hingga Desember bahkan hingga tahun depan. Sehingga investor yang saat ini memarkir dananya di pasar uang dolar AS hanya memperoleh bunga yang sangat rendah, yakni dengan LIBOR hanya sekitar 0,5 persen dan bunga Treasury hanya 2,2 persen.
“Dengan kondisi itu, dalam keadaan normal investor mencari aset finansial dengan bunga tinggi. Sedangkan Indonesia adalah negara yang menawarkan aset murah dengan imbal tinggi. Investor pasti akan kembali lagi ke Indonesia,” imbuhnya.
Sementara itu, dia menilai nilai wajar (fair value) rupiah ada di kisaran Rp12.000 per dolar AS, sehingga level saat ini di pasar Rp14.500 per dolar AS jauh dari nilai wajar. Dengan demikian, saat kondisi sudah normal kembali, rupiah bisa kembali menguat mendekati harga wajarnya.
“Ada ruang rupiah akan rebound jika keadaan global kembali normal. Sekarang hanya ada kepanikan pasar. Setelah penaikan suku bunga AS, kepercayaan investor akan pulih ke emerging market dan akan mengembalikan dana mereka dari cash market ke emerging market.”
Krisis atau Turbulensi?
Melihat kondisi ekonomi dan finansial saat ini, Fauzi yakin belum terjadi krisis, melainkan sekedar turbulensi. Hal itu terlihat dari tingkat risiko atau credit default swap (CDS) yang masih terbilang rendah di kisaran 2,5 persen. “Keadaan normal CDS ada di 1,5 persen tetapi waktu krisis 1998 levelnya 12 persen. Memang CDS negara berkembang sedang naik tetapi tidak setinggi level waktu krisis finansial global pada 2008,” katanya.
Dia menilai pertumbuhan Indonesia yang berada di 4,67 persen pada semester pertama tahun ini masih bagus, karena lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi global yang hanya sekitar 3 persen. “Argumentasinya, ekonomi melambat tetapi impor juga turun sehingga defisit menciut. Tahun 2014 defisit US$27 miliar, sekarang hanya US$8 miliar. Pertumbuhan 4,67 persen lebih baik daripada kondisi global.”
Dia juga optimis pertumbuhan ekonomi tahun depan akan lebih baik dengan realisasi infrastruktur. Dia memperkirakan tahun ini pun pertumbuhan ekonomi berada di kisaran 4,8 persen hingga 5 persen dengan asumsi proyek infrastruktur dimulai sehingga realisasi pembangunan juga terjadi. (np)