Bareksa.com - Berikut sejumlah berita korporasi dan pasar modal yang dirangkum dari surat kabar nasional:
PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk (HMSP)
HMSP dalam keterbukaan informasinya mengumumkan rencana penerimaan dan pemberian pinjaman dengan pihak terafiliasi, yaitu Philip Morris Finance (PM Finance). Dalam perjanjian pertama, HMSP akan menerima fasilitas pinjaman dengan nilai Rp13,5 triliun atau US$1,08 miliar. Nilai pinjaman itu dapat mencapai 50 - 100 persen ekuitas perseroan berdasarkan laporan audit terakhir.
Dalam perjanjian pinjaman kedua, HMSP memberi fasilitas pinjaman ke PM Finance melalui satu atau lebih penarikan dalam jangka waktu tertentu. Nilai pinjaman tidak boleh melebihi 100 persen laba bersih perseroan, yaitu Rp10,18 triliun berdasarkan laporan tahunan 2014 yang telah diaudit atau US$818 juta berdasarkan kurs per akhir 2014.
PT Holcim Indonesia Tbk (SMCB)
Meski penjualan hanya turun tipis, SMCB mengalami kerugian bersih sepanjang semester I-2015. Berdasarkan laporan keuangan perseroan yang dipublikasikan, Selasa (15/9), produsen semen ini mengalami rugi periode berjalan yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk senilai Rp138,05 miliar. Padahal, pada periode yang sama tahun lalu, perseroan masih mencicipi laba senilai Rp452,93 miliar.
Adapun, penjualan semen perseroan sepanjang semester I-2015 tercatat Rp4,859 triliun atau turun tipis 1,40 persen dari periode sebelumnya Rp4,928 triliun. Terlihat, beban usaha dan beban keuangan perseoan mengalami peningkatan. Beban keuangan perseroan naik menjadi Rp269,19 miliar dari periode sebelumnya sekitar Rp54,20 miliar.Kemudian, beban distribusi juga meningkat dari Rp350,19 miliar menjadi Rp410,68 miliar. Beban umum dan administrasi naik menjadi Rp365,72 miliar dari sebelumnya Rp238,85 miliar.
PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) atau Antam
Peringkat perusahaan tambang milik negara, Antam dipangkas menjadi A- dari peringkat sebelumnya A karena tekanan margin sebagai akibat dari jatuhnya harga nikel. Dalam keterangan tertulisnya, analis PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) Yogie Perdana dan Niken Indriarsih menyatakan tekanan margin tersebut terjadi di tengah utilisasi utang perusahaan yang tinggi untuk proyek ekspansi kapasitas pabrik feronikel di Pomalaa, Sulawesi Tenggara.
Penurunan peringkat juga mencerminkan ekspektasi Pefindo bahwa harga nikel akan tetap berada di bawah US$5,5/lbs selama 12 - 18 bulan ke depan sehingga profil keuangan perusahaan, terutama leverage dan proteksi arus kas, tetap akan tertekan selama periode tersebut. Pefindo juga mempertahankan outlook emiten berkode saham ANTM itu pada negatif.
PT Summarecon Agung Tbk (SMRA)
SMRA sudah menyerap belanja modal sebesar Rp2,2 triliun atau 55 persen dari total anggaran sepanjang 2015 senilai Rp4 triliun. Direktur Utama Summarecon Agung (SMRA) Adrianto P. Adhi mengatakan dana tersebut digunakan untuk untuk akuisisi lahan di proyek eksisting dan pembangunan infrastruktur. Dana belanja modal diambil dari kas internal perusahaan, pinjaman bank, serta hasil obligasi. Pada awal 2015, perseroan telah merilis surat utang dengan jumlah Rp300 miliar.
Proyek eksisting SMRA antara lain apartemen Kensington dan apartemen Spring Lake. Emiten properti itu juga memiliki proyek residensial dan komersial lainnya di Kelapa Gading, Bekasi, dan Serpong. Saat ini, ketiga daerah tersebut masih menjadi fokus utama perseroan.
PT Wijaya Karya Beton Tbk (WTON)
WTON berencana merevisi target kontrak baru tahun ini menjadi Rp 3,2 triliun. Proyeksi itu menyusut 20 persen dari target semula Rp 4 triliun. Alasan WTON merevisi target lantaran kapasitas terpasang pabrik pada tahun ini belum mampu memenuhi permintaan yang lebih besar. Sampai akhir tahun, kapasitas terpasang WTON baru 70 persen dari total kapasitas produksi pabrik,
Saat ini, WTON telah memiliki 10 pabrik dengan kapasitas produksi 2,35 juta ton per tahun. Namun, hingga akhir tahun nanti kapasitas terpasang pabrik itu baru 70 persen, sehingga tak mampu memenuhi permintaan yang lebih tinggi. Sebenarnya WTON optimistis meraup banyak kontrak baru pada kuartal empat tahun ini. Sebab, pada kuartal keempat, proyek infrastruktur pemerintah diprediksi mulai bergulir dan bisa menyumbang perolehan kontrak baru WTON. Namun, belum optimalnya kapasitas terpasang pabrik menyebabkan WTON tak leluasa menangkap peluang tersebut.