Bareksa.com - Presiden Joko Widodo akan mengumumkan paket kebijakan ekonomi sore ini, untuk mendorong pertumbuhan, daya beli masyarakat hingga menarik investasi. Kebijakan ini bukan hanya mengenai deregulasi, tetapi juga akan mencakup sejumlah insentif.
Kebijakan deregulasi yang sangat dinanti-nanti adalah soal pemangkasan perizinan yang selama ini dinilai memperlambat investasi. Direktur Eksekutif Reforminer Institute Pri Agung mengatakan sektor energi membutuhkan langkah riil untuk mendorong investasi dan peningkatan produksi. Salah satu isu penting adalah soal perizinan.
"Memang respons pemerintah selama 10 bulan ini sudah baik dengan menyatukan perizinan ke BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal). Akan tetapi, perizinan itu masih terlalu umum dan bukan yang langsung memangkas birokrasi dalam investasi migas," ujarnya ketika dihubungi Bareksa.com.
Dia pun memberi usulan, kalau perusahaan migas ingin mendapat izin pengeboran, seharusnya cukup dari SKK Migas saja. Sedangkan institusi lain hanya perlu tembusan sehingga perizinan jadi lebih cepat.
Saat ini, izin pengeboran harus disampaikan kepada SKK Migas, lalu harus dikirimkan juga kepada Kementerian ESDM. Izin ke BKPM tidak langsung berdampak pada percepatan operasional karena tetap menunggu untuk harus disampaikan kepada instansi terkait juga.
Perizinan di sektor migas diperlukan terkait eksplorasi dan pengeboran, yang tentunya berdampak pada volume produksi migas nasional. Saat ini target produksi (lifting) migas nasional dalam APBNP 2015 sebesar 825.000 barel per hari (bph). Akan tetapi, berdasarkan perkiraan SKK Migas, lifting hanya mencapai 812.000 bph alias tidak mencapai target tahun ini. "Target lifting agak percuma. Buat apa ditetapkan kalau tidak tercapai," katanya.
Selain itu, kebijakan deregulasi yang ditunggu-tunggu investor di pasar modal adalah yang terkait dengan larangan ekspor mineral mentah. Pasalnya sejak implementasi larangan ekspor dalam UU No. 4 Tahun 2009, mulai 2012 nilai ekspor non-migas menyusut. Kontribusi Pertambangan terhadap nilai ekspor non-migas juga ikut menciut seiring dengan penerapan larangan tersebut.
Pada 2010 - 2013, pertambangan selalu memberi kontribusi sekitar 20 - 21 persen terhadap total ekspor non-migas. Namun, semenjak aturan larangan ekspor mineral mentah diberlakukan, kontribusinya tinggal sekitar 15 persen. (Baca juga Baik & Buruk Pembatalan Relaksasi Ekspor Mineral.)
Grafik Ekspor Non-Migas dan Kontribusi Pertambangan
Sumber: Badan Pusat Statistik, Kementerian Perdagangan
Kebijakan larangan ekspor ini selalu menjadi kontroversi. Pasalnya, di dalam UU Minerba 2009 tersebut, tidak ada ketentuan larangan ekspor, hanya saja diperlukan upaya pengolahan untuk memberi nilai tambah terhadap hasil pertambangan nasional.
Bahkan, pengusaha bauksit nasional juga masih menuntut agar keran ekspor untuk bijih bauksit dibuka dengan kuota 40 juta ton per tahun. Ketua Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (APB2I) Erry Sofyan mengatakan usulan itu mempertimbangkan potensi pemasukan devisa dan setoran pajak yang dapat diperoleh dari ekspor bauksit.
"Setahun devisa bisa US$1,6 miliar dengan tambahan pajak Rp4,7 triliun. Itu dengan asumsi harga US$40 per ton," ujarnya seperti dikutip Bisnis Indonesia.
Sebelumnya, Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri menilai bahwa larangan ekspor minerba, khususnya bijih nikel dan bauksit seharusnya tidak perlu dilakukan. Pasalnya, industri dalam negeri masih belum mampu melakukan pengolahan karena belum ada satupun smelter yang berdiri.
Oleh sebab itu, dia menyarankan pemerintah membuat kebijakan seperti produk minyak kelapa sawit (CPO), yaitu pungutan bea keluar. Menurut dia, seharusnya supply dan demand diatur oleh pemerintah dengan menerapkan pajak ekspor, tetapi tidak melarangnya sehingga pemasukan kepada negara masih ada dan penambang pun masih bisa memperoleh untung. (Baca juga Faisal Basri: Tidak Perlu Melarang Ekspor Bauksit, Kenakan Saja Bea Keluar)
Intervensi Harga
Sebelumnya, juga ramai diberitakan pemerintah akan memangkas harga gas industri untuk mendukung kondisi perekonomian. Intervensi pemerintah tersebut lantas menjadi sebuah sentimen negatif bagi perusahaan distribusi gas, PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) yang sahamnya anjlok 11 persen saat pengumuman tersebut. Bahkan, marjin PGAS diproyeksikan turun hingga hanya 4,86 persen jika harga gas diturunkan.
Manajemen PGAS dalam pernyataannya kepada investor mengatakan belum menerima instruksi resmi dari Kementerian ESDM terkait penurunan harga tersebut. Selama ini, harga jual gas dari PGAS kepada pelanggan komersial dan industri sesuai dengan biaya distribusi dari pemasok hulu. "Perubahan pada harga pasokan hulu akan diteruskan kepada pelanggan dan kami akan menyesuaikan harga jual kami kepada pelanggan," tulis manajemen PGAS dalam pernyataannya Selasa (8/9).
PGAS juga berharap pemerintah melalui Kementerian ESDM dapat mengatur ulang rantai bisnis gas alam sebagai kesatuan yang termasuk hulu, penengah, dan hilir. Selain itu, pemerintah juga diharap dapat memangkas jumlah perantara yang membuat biaya distribusi naik, mendorong pengembangan infrastruktur dan memperbaiki bisnis hulu gas.
Pri Agung menilai bila harga gas dari hulu tidak dapat diturunkan begitu saja karena berkaitan dengan harga minyak global dan biaya produksi. Akan tetapi, dia setuju bila pengaturan kembali distribusi gas dilakukan sehingga dapat menurunkan biaya yang harus ditanggung sampai kepada pelanggan.
"Harga gas yang harus dipangkas adalah antara hulu ke hilir. Banyak trader menambah biaya distribusi gas sehingga harga menjadi mahal di hilir. Permasalahannya di transportasi, tidak ada data yang sesuai antara pasokan dan pelanggan," tuturnya.