Baik & Buruk Pembatalan Relaksasi Ekspor Mineral. Simak Data Berikut

Bareksa • 08 Sep 2015

an image
Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral Sudirman Said (kiri), Direktur Utama PT Antam Tato Mirasa (tengah) dan General Manager Unit Bisnis Pertambangan Nikel Sultra Tatang Hendra (kanan) di ruang kontrol Smelter PT Aneka Tambang, Pomalaa, Kolaka, Sulawesi Tenggara, Kamis (5/3). (ANTARA FOTO/Sahrul manda Tikupadang)

Seberapa baik atau buruk pembatalan relaksasi ekspor mineral bagi Indonesia?

Bareksa.com - Pemerintah sebelumnya berencana melakukan relaksasi ekspor mineral mentah kepada perusahaan yang sedang membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral (smelter). Tapi, akhirnya menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memastikan pembatalan relaksasi tersebut.  

Sebelumnya, pemerintah mencetuskan rencana relaksasi ekspor mineral mentah lantaran kondisi perlambatan ekonomi yang dialami Indonesia. Ekspor mineral mentah yang berpotensi memberi kontribusi besar terhadap perekonomian diharapkan dapat menjadi stimulus di tengah perlambatan.

Larangan ekspor mineral mentah mulai berlaku pada awal 2014 melalui Undang-Undang Mineral dan Batubara (Minerba). Berlakunya larangan tersebut langsung berdampak  pada kemerosotan nilai ekspor barang tambang sebesar 26 persen pada 2014 menjadi $22,8 miliar dari sebelumnya $30,9 miliar.

Tapi menariknya larangan ekspor mineral mentah ternyata tidak secara signifikan berpengaruh terhadap total ekspor Indonesia. Berdasarkan data ekspor BI, total ekspor non-migas hanya turun 1 persen menjadi $146 miliar dari sebelumnya $148 miliar pasca larangan diberlakukan pada 2014.

Grafik: Ekspor Non Migas & Ekspor Barang Tambang


Sumber: Bank Indonesia, diolah Bareksa   

Selain pengaruhnya yang kecil terhadap ekspor, rencana relaksasi juga ditentang berbagai kalangan. Terutama investor yang sudah melakukan investasi smelter di Indonesia. Pasalnya, jika relaksasi diberlakukan maka perusahaan tambang akan menjual langsung mineral mentah ke luar negeri daripada mengolahnya di dalam negeri.

Padahal sejumlah perusahaan smelter sudah mulai beroperasi. Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang dipublikasikan pada Maret 2015 menunjukan 25 perusahaan smelter  sudah mencapai tahapan produksi.

Tabel: Progres Pembangunan Smelter


Sumber: Kementerian ESDM

Bahkan, dalam Rencana Strategis Kementerian ESDM periode 2015-2019 disebutkan bahwa sudah ada 66 rencana pembangunan smelter dari berbagai komoditas mineral dengan total investasi $17,4 miliar. Adapun realisasi investasi smelter sampai dengan Maret 2015 mencapai $6 miliar.

Jika relaksasi dilakukan, investasi yang sudah direalisasikan untuk membangun smelter tentunya akan sia-sia.

Grafik: Rencana Pembangunan Smelter 2015-2019 


Sumber: Kementerian ESDM, diolah Bareksa

Selain itu, jika relaksasi ekspor dilakukan malah bisa memicu semakin melemahnya harga komoditas. Sebab posisi Indonesia sebagai salah satu negara dengan cadangan mineral terbesar di dunia. Relaksasi ekspor Indonesia berpotensi menambah pasokan mineral dunia dan memicu pelemahan harga.

Grafik: Cadangan Mineral Indonesia & Beberapa Negara Dunia

Sumber: US Geological Survey 2015, diolah Bareksa

Sebagai informasi, produksi bauksit Indonesia pada 2013 (sebelum larangan ekspor diberlakukan) mencapai 55,7 juta ton setara 19 persen dari produksi bauksit di seluruh dunia. Produksi nickel pada 2013 mencapai 440 juta ton setara 16 persen produksi seluruh dunia. Selain itu, produksi timah Indonesia pada 2013 sebesar 95,2 juta ton setara 32 persen produksi timah dunia.

Grafik: Kontribusi Produksi Mineral Mentah Indonesia di Dunia


sumber: US Geological Survey 2015, diolah Bareksa