Bareksa.com - Dalam dua tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi Indonesia dipengaruhi oleh kebijakan moneter di Amerika Serikat dan pertumbuhan ekonomi China. Indonesia mendapatkan keuntungan karena ekspor komoditas ke dua negara tersebut sangat besar.
Namun, akibat krisis ekonomi global harga-harga komoditas andalan Indonesia itu terus terpuruk dan belum menunjukkan tanda-tanda kenaikan signifikan.
Lembaga pemeringkat global, Fitch, pada Agustus lalu menerbitkan laporan mengenai tekanan melambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia dan melemahnya daya beli masyarakat yang berdampak pada sektor-sektor batu bara, properti dan perbankan.
Dalam laporan tersebut, Director Financial Institutions PT Fitch Ratings Indonesia, Iwan Wisaksana, menyebutkan kombinasi harga batu bara yang lemah secara berkelanjutan dan tingkat produksi yang melebihi permintaan akan terus memperburuk profil kredit dari sektor pertambangan batu bara. Risiko paling besar malahan berasal dari dari perusahaan batu bara berukuran kecil.
Penurunan harga komoditas tersebut, menurut Iwan, akan berdampak pada kualitas aset bank-bank di Indonesia, terutama yang mempunyai eksposur tinggi terhadap sektor terkait pertambangan.
Hingga akhir 2014, perusahaan batu bara berusaha mengimbangi penurunan margin dengan meningkatkan produksi, sehingga memperburuk kecenderungan harga. Namun, pada 2015 total produksi batu bara Indonesia turun 20 persen akibat perusahaan batu bara menengah kecil mengurangi produksi atau berhenti beroperasi.
Adapun enam perusahaan batu bara terbesar yang berkontribusi terhadap 60 persen total produksi nasional masih mempertahankan tingkat produksinya.
Melemahnya sektor pertambangan dan terkait pertambangan berakibat pada memburuknya tingkat kredit bermasalah di perbankan Indonesia. Rasio kredit bermasalah (NPL) untuk sektor pertambangan telah meningkat menjadi 3,4 persen dan sektor konstruksi yang banyak terkait sektor pertambangan naik menjadi 5,5 persen dibanding rata-rata rasio NPL sektor perbankan secara keseluruhan sekitar 2,6 persen.
Namun, hubungan langsung antara bank di Indonesia terhadap sektor pertambangan relatif terbatas. Dua bank besar dengan eksposur terbesar adalah PT Bank Negara Indonesia Tbk. (BBNI) dan PT Bank Mandiri Tbk. (BMRI) dan pertambangan hanya berkontribusi lebih dari 6 persen dari total kredit pada akhir 2014.
Tabel: NPL BNI Berdasarkan Segmen
Sumber: perusahaan
Dari tabel terlihat jika kenaikan NPL BBNI lebih banyak berasal dari segmen menengah dan juga konsumen. NPL segmen menengah pada semester I sebesar 5,4 persen, naik dari sebelumnya 2,7 persen. Sementara segmen konsumsi naik menjadi 2 persen dari sebelumnya 1,5 persen. (baca juga: Banyak Kredit Bermasalah Sebabkan Anjloknya Laba BNI 50%)
Perbandingan NPL di Lima Perbankan Nasional
Sumber: Bareksa
Eksposur langsung dari bank besar lainnya lebih rendah sekitar 3 persen atau kurang. Namun, bank-bank ini juga masih memiliki eksposur lainnya terkait pertambangan melalui kredit konstruksi untuk proyek-proyek pertambangan.
Dalam jangka pendek, kualitas aset bisa saja melemah bukan saja dari sektor pertambangan dan terkait pertambangan, tapi juga dari sektor-sektor lainnya. Hanya saja, bank-bank besar masih mempunyai buffer yang cukup dengan dengan rasio kecukupan Tier 1 sektor agregat berada pada level yang kuat sekitar 18 persen.
Sektor Properti
Dalam laporan Indonesia Property Watch – kuartal II-2015, Fitch mengatakan bahwa pre-sales agregat dari tujuh pengembang besar di Indonesia masih meningkat 10,4 persen (year on year/YoY) pada kuartal II-2015 menjadi Rp9,3 triliun dengan adanya penawaran syarat pembayaran yang lebih mudah untuk menarik pembeli. Penawaran ini dan depresiasi rupiah menyebabkan leverage di tujuh perusahaan ini naik 33 persen pada akhir Juni, jauh lebih tinggi daripada tingkat leverage -3 persen pada akhir 2012.
Laporan ini yang pertama dalam seri laporan pasar properti perumahan di Indonesia, dan menyoroti tren penjualan pemasaran, perubahan kebijakan, perubahan harga, tren di akuisisi lahan serta berbagai metrik kredit.