Rizal Ramli Anggap Proyek 35.000 MW Tak Realistis, Ngawurkah? Ini Datanya

Bareksa • 20 Aug 2015

an image
Rizal Ramli. (AntaraFoto/Fanny Octavianus)

Dalam periode 2006-2014, pemerintah hanya berhasil membangun pembangkit listrik 7.721 MW.

Bareksa.com - Menteri Koordinator Kemaritiman Rizal Ramli menganggap rencana pemerintahan Jokowi-JK membangun pembangkit listrik berkapasitas 35.000 Megawatt (MW) terlalu ambisius, bahkan tidak realistis. Ngawurkah kritik dari pemerintah untuk pemerintah itu? Berikut data-datanya.

Capaian pemerintahan sebelumnya dalam membangun infrastruktur ketenagalistrikan tergolong payah. Dua periode menjabat sebagai presiden, SBY juga mengusung produk andalan di bidang listrik. Pertama, Pembangkit Tahap I 10.000 MW atau juga dikenal dengan Fast Track Program (FTP) atau Proyek Percepatan 10.000 MW (Pembangkit Tahap I). Proyek ini skalanya jauh lebih kecil dibandingkan program kabinet Jokowi yang menargetkan membangun pembangkit 35.000 MW dalam waktu lima tahun.

Proyek kedua SBY adalah Pembangkit Tahap II 17.458 MW, yang terdiri atas Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU batu bara) 10.520 MW, Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) 4.855 MW, Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) 280 MW dan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) 1.803 MW. Proyek ini diluncurkan pada 2010 lampau.

Bagaimana realisasinya?

Proyek 10.000 MW didasari oleh Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2006 yang kemudian beberapa kali direvisi, di antaranya melalui Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2009, Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2011, dan Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2014. Selama dua periode masa pemerintahan SBY proyek ini tidak kunjung selesai.

Data PT PLN (persero) yang tercantum dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2015-2024 menjelaskan beberapa pembangkit yang sudah beroperasi secara komersial sampai dengan November 2014. Daftarnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel: Proyek FTP 10.000 MW yang Sudah Beroperasi Komersial


Sumber: Bareksa, diolah dari RUPTL PLN 2015-2024

Jumlah kapasitas pembangkit listrik yang berhasil dibangun dalam kurun waktu hampir 10 tahun ternyata hanya 7.721 MW, masih meleset jauh di bawah target 10.000 MW. Dari total 39 pembangkit listrik yang direncanakan, hanya 21 pembangkit yang sudah beroperasi secara komersial. Adapun proyek Pembangkit Tahap II juga molor, dari seharusnya rampung pada 2014 menjadi paling cepat pada 2018 mendatang.

Urgen

 

Permasalahannya, tak bisa dipungkiri bahwa Indonesia membutuhkan tambahan pembangkit listrik karena permintaan setrum terus meningkat, dan tidak bisa dipenuhi PLN. Indonesia Energy Outlook yang diterbitkan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) mengungkapkan bahwa laju pertumbuhan pemanfaatan listrik di Indonesia bisa tumbuh 9 persen per tahun. Maka dengan kapasitas terpasang saat ini sebesar 51.620 MW, diperkirakan kebutuhan kapasitas total pembangkit pada 2020 sebesar 86.572 MW. Artinya masih kurang 34.952 MW dari kapasitas terpasang saat ini.

Grafik: Perkembangan Kapasitas Pembangkit


Sumber: Bareksa, diolah dari BPPT & PLN

Selain itu, Data IEA World Energy Outlook yang dikutip dalam materi presentasi PLN menunjukkan bahwa rasio elektrifikasi Indonesia sebesar 84 persen sudah kalah dibandingkan Vietnam yang mencapai 96 persen dan Thailand 99 persen.

Rasio elektrifikasi menunjukkan tingkat perbandingan jumlah penduduk yang sudah menikmati listrik dengan total jumlah penduduk di suatu negara. Dalam RUPTL, tercatat bahwa PLN menargetkan tingkat elektrifikasi mencapai 99,4 persen pada 2024.

Grafik: Perbandingan Rasio Elektrifikasi


Sumber: Presentasi PLN, IEA World Energy Outlook 2014

Walhasil, rencana pembangunan proyek pembangkit listrik 35.000 MW Jokowi, mau tidak mau memang harus dikebut. Untuk itu perlu dipikirkan berbagai langkah terobosan agar pembangunannya tidak terus menerus. (kd)