Jaga Inflasi, Perlukah Keran Impor Pangan Dibuka?

Bareksa • 18 Aug 2015

an image
Indonesia's new Minister of Trade Thomas Lembong assist his mother to the receiving line after taking the oath at the presidential palace in Jakarta, Indonesia August 12, 2015. REUTERS/Darren Whiteside

Kenaikan harga makanan selalu berkontribusi besar secara konstan pada inflasi

Bareksa.com - Kenaikan harga bahan pangan memberi ancaman signifikan terhadap tingkat inflasi secara umum. Pemerintah perlu mengambil kebijakan untuk menjaga harga pangan yang akhirnya dapat mengendalikan tingkat inflasi.

Presiden Joko Widodo ketika menyampaikan Nota Keuangan 2016 kepada DPR mengatakan tingkat inflasi 2016 diasumsikan hanya 4,7 persen, lebih rendah dibanding proyeksi 5 persen tahun ini dalam APBN-P 2015.

Namun, dalam realisasinya, angka perkiraan tersebut sangat jauh dibanding tingkat inflasi Juli yang mencapai 7,26 persen. Apalagi bila dibandingkan dengan realisasi inflasi dua tahun terakhir sebesar 8,36 persen pada 2014 dan 8,38 persen pada 2013.

Salah satu faktor yang mendorong kenaikan tingkat inflasi selama ini adalah harga makanan. Makanan, termasuk makanan jadi dan bahan pangan, secara konstan terus menjadi kontributor besar bagi kenaikan tingkat inflasi. Oleh sebab itu, ketahanan pangan diperlukan untuk menjaga harga makanan.

Menteri Perdagangan Thomas Lembong, yang baru dilantik pekan lalu, menilai bahwa swasembada tidak dapat dilakukan secara instan, faktanya masih diperlukan impor bahan pangan termasuk daging sapi, dan kedelai.

Menurut dia, impor pangan tidak luar biasa besar berkontribusi dari total impor. Akan tetapi, makanan memiliki kontribusi besar dalam perhitungan itungan inflasi. "Maka, kalau buka keran impor neraca impor tidak terpengaruh banyak, tapi dampak inflasi turun mungkin besar," katanya di depan wartawan pekan lalu.

Sejak 2010, impor makanan dan minuman yang sudah diolah ataupun belum diolah untuk rumah tangga dan industri  berkontribusi sekitar 6 - 7 persen dari total impor nasional. Angka tersebut sangat kecil dibandingkan dengan impor migas nasional.

Grafik Perbandingan Impor Makanan Terhadap Total Impor (US$ juta)

Sumber: BPS, Kemendag

Pada 2014, impor makanan mencapai US$12,5 miliar, hanya 7 persen dari total impor keseluruhan sebesar US$178 miliar. Sementara itu, impor migas mencapai US$43,5 miliar atau 24 persen total impor pada 2014. Bila impor makanan dinaikkan menjadi dua kali lipatnya sehingga kontribusinya bisa 13 persen dari total impor, angka tersebut pun belum mengalahkan impor migas.

Oleh sebab itu, Tom Lembong berpendapat bahwa swasembada pangan butuh waktu proses. Pasalnya, di satu sisi swasembada pangan bisa terjadi, tetapi di sisi lain inflasi naik kalau ternyata produksi dalam negeri belum bisa seimbang dengan permintaan domestik.

"Jadi saya menyadari harus mengimbangi upaya swasembada pangan agar tidak terlalu drastis. Buka keran impor diperlukan untuk mengendalikan inflasi," ujarnya.

Pada Juli, terdapat kenaikan harga pangan sebesar 2,53 persen dibandingkan pada bulan sama tahun lalu (y-o-y). Inflasi pangan Juli 2015 lebih besar dibanding pada bulan sebelumnya 2,15 persen. Hal ini pun mendorong inflasi secara umum pada bulan Juli mencapai 0,93 persen, naik dibandingkan 0,54 persen pada Juni.

Seperti terlihat dalam grafik, harga makanan selalu (ditunjukkan warna hijau) memberi kontribusi  besar terhadap tingkat inflasi. Hanya saja untuk beberapa waktu tertentu kelompok transportasi komunikasi dan jasa keuangan memberikan kontribusi yang drastis karena adanya kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).

Grafik Kontribusi Kenaikan Harga Pangan Terhadap Inflasi Umum

Sumber: BPS, diolah Bareksa.com

Kenaikan harga BBM langsung berakibat pada kenaikan biaya transportasi (ditunjukkan dalam warna oranye). Kenaikan itu hanya berkontribusi besar sewaktu ada penyesuaian yang ditentukan pemerintah, dan secara drastis menaikkan inflasi keseluruhan. Contohnya pada pertengahan 2013 dan Oktober 2014 pemerintah menaikkan harga BBM dan langsung berimbas pada inflasi secara keseluruhan.

Akan tetapi, kenaikan pada harga BBM tidak secara konstan memberikan kontribusi besar pada inflasi, tidak seperti harga pangan. Oleh sebab itu, harga pangan selalu menjadi penentu kenaikan tingkat inflasi. Baca juga : Pemerintah Asumsikan Inflasi 2016 4,7%. Ada Risiko dari Kenaikan Harga Pangan

Seperti yang selalu digaungkan oleh Pemerintahan Jokowi, Indonesia butuh yang kemandirian dalam memproduksi pangan, atau biasa disebut sebagai swasembada pangan. Dalam nota keuangan dan RAPBN 2016, pemerintah mencanangkan produksi padi 76,23 juta ton, naik dibanding proyeksi tahun ini 75 juta ton.

Selain itu, produksi jagung 2016 ditargetkan mencapai 21,35 juta ton dan produksi kedelai mencapai 2,03 juta ton. Produksi daging sapi atau kerbau diprediksi mencapai 588.560 ton, produksi telur 3,39 juta ton dan produksi susu 850.770 ton.