Bareksa.com - Dalam beberapa hari terakhir, pasar keuangan dunia dihebohkan dengan langkah China yang memangkas nilai tukar mata uangnya terhadap dolar Amerika Serikat (AS) atau biasa disebut dengan devaluasi. Devaluasi merupakan salah satu tanda yang menegaskan bahwa perekonomian China tidak dalam kondisi baik.
Pemerintah China melalui otoritas moneternya sampai harus memangkas nilai tukar yuan terhadap dolar untuk menjaga harga barang tetap kompetitif di pasar global, sehingga mampu mendorong ekspor.
Pertanyaannya, sampai kapan China akan melakukan devaluasi?
Data yang diolah Bareksa menunjukan bahwa perekonomian China sudah mulai melambat sejak 2010. Penyebab utamanya nilai tukar yuan terhadap dolar AS yang semakin hari semakin kuat. Pada 2005, yuan masih berada di level 8,2 per dolar AS. Kemudian penguatan terjadi sampai 2008, di mana yuan mencapai level 6,8 per dolar AS. Dari periode 2008 – 2010, yuan sempat bertahan di level 6,82 per dolar. Tapi, sejak 2010 sampai dengan saat ini, yuan kembali menguat sampai ke kisaran 6,2 per dolar AS.
Grafik: Penguatan Mata Uang China
sumber: Bareksa.com
Bukannya berdampak positif, naiknya yuan justru menyebabkan harga barang produksi China menjadi mahal dan kurang diminati di pasar global (ekspor). Inilah yang menyebabkan ekspor negara tersebut turun sampai 8,3 persen pada Juni 2015.
Grafik : Penurunan Ekspor China Sejak 2010
sumber: Bareksa.com
Padahal, ekspor merupakan salah satu tumpuan pertumbuhan ekonomi Negeri Tirai Bambu. Sampai dengan 2014, ekspor tercatat menyumbang 22 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) China. Berbagai produk seperti alat-alat elekronik, otomotif, sampai dengan garmen diproduksi di negara tersebut untuk diekspor ke pasar global. Bisa dibayangkan, jutaan tenaga kerja dibayar untuk memproduksi barang-barang tersebut. Dari situlah perekonomian China tumbuh dan berjalan.
Grafik: Produksi Industri China
sumber: Investing.com
Penurunan ekspor sangat berdampak pada pertumbuhan ekonomi China. Penurunan ekspor sejak 2010 terpaksa membuat industri negara tersebut mengurangi produksinya. Hal inilah yang sangat dikhawatirkan oleh pemerintah China dapat memperburuk perlambatan ekonomi. Pada 2014, pendapatan per kapita China tercatat sebesar $10.803 bertumbuh 6,8 persen dari 2013. Tapi pertumbuhan tersebut lebih rendah dari tahun sebelumnya sebesar 7,2 persen. Artinya, perlambatan ekspor juga merembet kepada turunnya tingkat pertumbuhan penghasilan rata-rata penduduk Negeri Tembok Besar itu.
Grafik: Pertumbuhan PDB Per Kapita China yoy
sumber: Worldbank.org
Jika menggenjot ekspor merupakan satu-satunya cara untuk memulihkan pertumbuhan ekonomi China, maka kemungkinan devaluasi sepertinya akan menjadi langganan pemerintah China dalam beberapa waktu ke depan. Setidaknya, devaluasi mungkin akan dilakukan sampai data ekspor dan PDB menunjukan perkembangan ke arah yang positif.