Bareksa.com - Bank Sentral China (PBOC) memutuskan untuk mendevaluasi hampir 2 persen mata uangnya terhadap dolar Amerika Serikat (AS) untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Data Bloomberg menunjukan Yuan, mata uang negeri tirai bambu mengalami pelemahan ke kisaran 6,32 per dolar Amerika dari sebelumnya 6,2 per dolar.
Apa itu Devaluasi?
Devaluasi merupakan penurunan nilai mata uang suatu negara terhadap mata uang negara lainnya yang dilakukan secara sengaja. Berbeda dengan depresiasi yang disebabkan karena proses jual-beli di pasar, devaluasi merupakan kebijakan moneter yang sengaja diambil oleh suatu negara.
Hal ini biasanya dilakukan untuk membantu seimbangkan neraca perdagangan. Dalam hal ini, devaluasi akan menyebabkan harga produk ekspor China menjadi semakin murah di pasar global. Sementara di saat yang sama, harga barang Impor di China akan menjadi semakin mahal. Sehingga diharapkan masyarakat China tidak membeli produk impor, sementara produk ekspor dari China semakin laris di pasar global.
Stimulus moneter ini dilakukan setelah China melaporkan ambruknya ekspor 8,3 persen di bulan Juli 2015. Dikutip dari Reuters, penurunan ekspor di bulan Juli merupakan yang terendah dalam empat bulan terakhir. Selain itu, buruknya ekspor negeri Tirai Bambu ini juga lebih rendah dari perkiraan para ekonom yang hanya memprediksi penurunan ekspor sebesar 1 persen di bulan Juli.
Walaupun bisa memperkuat neraca perdagangan, tapi di sisi lain devaluasi juga memberi dampak negatif terhadap investasi asing di negara tersebut. Investor asing lebih memilih untuk mengeluarkan dananya dari China karena turunnya nilai mata uang, dan mengalihkan ke aset berbasis dolar AS. Hal ini berakibat pada menguatnya nilai tukar dolar terhadap sejumlah mata uang dunia termasuk Rupiah.
Grafik: Peningkatan Dolar Index
sumber: Bloomberg
Di Indonesia, devaluasi pernah beberapa kali dilakukan, Seperti yang terjadi pada zaman Orde Baru. September 1986 pemerintah pimpinan Soeharto melalui menteri keuangan Radius Prawiro pernah mendepresiasi rupiah dari Rp1.134 per dolar AS menjadi Rp1.664 per dolar AS.
Hal ini dilakukan untuk menggenjot ekspor komoditas Indonesia yang kala itu masih tergantung pada sektor minyak dan gas (migas). Kebijakan ini ternyata sangat efektif menggenjot ekspor Indonesia yang sebelumnya mengalami penurunan. (np)
Grafik: Ekspor Indonesia 1980-1995
sumber: Tradingeconomics