Reshuffle Kabinet dari Waktu ke Waktu - Pasar Positif Terhadap Perubahan

Bareksa • 07 Aug 2015

an image
Presiden Joko Widodo (tengah) didampingi Wapres Jusuf Kalla dan jajaran menteri Kabinet Kerja memberikan keterangan pers di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Minggu (22/3). (ANTARA FOTO/Andika Wahyu)

Kapal harus berlayar. Yang tidak ada gunanya, kita ganti... Ini fair, adil. Ini etika pemerintahan: SBY (5 Des 2005)

Bareksa.com - Sejumlah kalangan dari mulai analis, ekonom, sampai pelaku pasar telah ramai “menebak” siapa nama calon menteri yang layak masuk dan siapa menteri yang harus pergi dari kabinet kerja pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi-JK). Mereka berharap agar presiden segera mengganti menteri yang dinilai kinerjanya kurang memuaskan.

Lana Soelistianingsih, Kepala Riset Samuel Asset Manajemen, mengungkapkan reshuffle ini akan memberikan harapan bahwa tim yang baru akan berkeja lebih baik. Imbasnya, hal ini akan memberikan tambahan sentimen positif kepada pasar.

“Biasanya pasar akan responsif ketika ada nama yang dimunculkan. Apakah calon tersebut cocok menduduki posisi itu? dan bagaimana trackrecord-nya? Biasanya, market akan memberi waktu sekitar 3-6 bulan ke depan untuk menilai kinerja,” ungkap Lana kepada Bareksa.

Kondisi ini tampak pada reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu jilid I pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono- Jusuf Kalla (SBY-JK) di tahun 2004-2009. Saat itu, pasar sepertinya menyambut positif reshuffle yang dilakukan pada tanggal 5 Desember 2005.

SBY memulai reshuffle kabinetnya pada 5 Desember, menanggapai kritik beberapa pihak yang menilai lambatnya kinerja kabinet yang dia pimpin. Saat itu, presiden mencopot dan menukar 5 pos kementerian yaitu pos Menko Perekonomian, Menko Kesejahteraan Rakyat (Kesra), Menteri Perindustrian, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (menakertrans), dan Kepala Bappenas.  

“Kapal harus berlayar. Yang tidak ada gunanya, kita ganti dengan awak yang lain, Ini fair, adil. Ini etika pemerintahan,” jelas SBY kala itu.

Namun, aksi itu bukan berarti tanpa kritik. Buktinya, pengamat politik Fachri Ali menilai reshuffle tersebut hanya menjadi ajang bagi-bagi jatah partai politik pendukung pemerintahan.

“Jadi, menurut saya, tidak perlu ada reshuffle dalam Kabinet Indonesia Bersatu,” ungkapnya seperti dikutip detik.com.

Pos yang jadi sorotan Fachri waktu itu adalah menteri yang berasal dari Partai Golkar. Saat itu, SBY hanya menggeser posisi Aburizal Bakrie menjadi Menko Kesra dari sebelumnya menjabat Menko Perekonomian. Padahal, kinerja Ical (sapaan akrab Aburizal) dinilai tidak layak selama menjabat Menko Perekonomian.

Namun, masuknya Boediono menjadi Menko Perekonomian menjadikan integrasi antara Menko Perekonomian dengan Menteri Keuangan yang saat itu ditempati oleh Sri Mulyani jadi lebih baik. Keduanya berhasil menstabilkan ekonomi makro, mempertahankan kebijakan fiskal, menurunkan biaya pinjaman dan mengelola utang serta memberi kepercayaan pada investor.

Membaiknya kondisi saat itu pun langsung direspon pasar dengan penguatan nilai tukar rupiah yang bergerak ke level Rp8.703 dari sebelumnya Rp9.960 saat pengumuman reshuffle diumumkan.

Grafik Nilai Tukar Rupiah periode 1 Juni 2005 sampai 13 September 2006

Sumber: Bareksa.com

Meski demikian, sejarah mencatat tidak semua reshuffle dapat berjalan lancar dan mendongkrak kerja pemerintahan. Salah satu contohnya, kondisi berbeda yang terjadi pada reshuffle yang kedua kalinya pada 7 Mei 2007. Saat itu, Presiden SBY mengganti tujuh posisi kementerian. Dari ketujuh pos tersebut, ada dua yang pindah jabatan. Sementara lima lainnya terpaksa diberhentikan.

Pada awalnya, kabar mengenai reshuffle ini direspon positif yang diperlihatkan oleh penguatan nilai tukar rupiah. Bahkan, penguatan terjadi beberapa hari sebelum pengumuman resmi reshuffle disampaikan.

Namun, penguatan tersebut ternyata hanya sementara setelah kinerja menteri baru ditunjuk ternyata tidak banyak memberikan perubahan berarti.

Grafik Nilai Tukar Rupiah periode 25 April 2007 sampai 11 April 2008

Sumber: Bareksa.com

Reshuffle di era pemerintah Abdurrahman Wahid juga dapat menjadi pelajaran. Meski masa pemerintahannya terbilang pendek, Gus Dur (sapaan akrab presiden Abdurrahman Wahid) termasuk sering melakukan ‘bongkar-pasang’ menteri di kabinetnya.

Ketegangan hubungan antara Presiden dengan Parlemen kala itu menjadi salah satu penyebab Gus Dur sering melakukan reshuffle. Sifat keras Gus Dur yang tidak mau kompromi, apalagi ‘disetir’ oleh para elit di parlemen kala itu, ditengarai menjadi asal-muasal ketegangan.

Imbasnya, banyak menteri yang menipis loyalitasnya kepada Presiden dan memilih untuk mundur meski posisi yang diembannya baru seumur jagung. Pengunduran diri sejumlah menterinya kala itu ditengarai didasari alasan politik, dimana mereka melihat posisi Presiden yang saat itu melemah dan berpotensi untuk dilengserkan.

Secara total, Gus Dur tercatat empat kali melakukan reshuffle besar pada kabinetnya.

Terlalu seringnya Gus Dur melakukan reshuffle dan konfliknya dengan parlemen menyebabkan ketidakstabilan politik dan sosial kala itu. Hal ini pun meningkatkan country risk Indonesia. Awal mula ketegangan antara lain ditandai dengan ucapan Gus Dur yang menyebut parlemen layaknya kumpuluan murid taman kanak-kanak.

Meningkatnya ketegangan hubungan antara pemerintah dan parlemen menyebabkan nilai tukar rupiah, yang menjadi salah satu indikator ekonomi maupun politik, melemah hingga ke level Rp12.000 pada tanggal 26 April 2001.

Grafik Nilai Tukar Rupiah periode 15 Oktober 2000 sampai 28 Desember 2001

Sumber: Bareksa.com

Hubungan buruk antara pemerintah dengan IMF menambah merah penilaian pelaku bisnis dan investor asing. Buntutnya, mereka pun mengurungkan niat untuk berinvestasi di Indonesia. Negeri ini sampai terancam dinyatakan bangkrut oleh Paris Club karena kondisi perekonomian yang semakin buruk dan defisit keuangan yang terus membengkak. (Baca juga: Pergolakan Rupiah dari Rezim Soeharto hingga SBY) (qs)