Bareksa.com - Impak El Nino sudah mulai terasa dari gagalnya panen di sejumlah negara regional khususnya Australia dengan naiknya suhu di Samudera Pasifik. Tetapi harga komoditas khususnya minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO) belum beranjak naik.
El Nino, yang berasal dari bahasa Spanyol untuk bocah laki-laki, merupakan pola cuaca yang membawa kondisi kering bagi daerah Asia Tenggara, India dan Australia. Sebaliknya, fenomena ini membawa cuaca lembap ke Amerika dan Asia Utara.
Deputi Bidang Meteorologi BMKG Yunus Swarinoto dalam paparannya memperkirakan El Nino akan berlangsung sampai November 2015 dan berpeluang untuk menguat. Menurutnya, hasil Monitoring perkembangan El Nino sampai dengan awal Juni 2015 menunjukan kondisi El Nino Moderat.
"Daerah yang berpotensi terkena dampak El Nino meliputi Sumsel, Lampung, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulsel, dan Sultra. Akibat adanya El Nino diperkirakan awal musim hujan 2015 di beberapa wilayah mengalami kemunduran," katanya seperti dikutip dari laman BMKG.
Suhu udara juga mulai naik di Riau, salah satu provinsi yang terletak di Pulau Sumatera dengan banyak perkebunan sawit. Selama 4 hari terakhir tercatat suhu udara mencapai level 34 derajat Celsius, dibanding rentang normal yang berkisar antara 32 sampai 33 derajat Celsius, menurut Yesi Christy, staff analisa cuaca BMKG Pekanbaru, Riau, kepada Bareksa.com.
Pada minggu-minggu kedepan, suhu udara diperkirakan akan naik menjadi 34 sampai 35 derajat Celsius, tambah Christy. Suhu rekor tertinggi di wilayah Riau tercatat di level 37 derajat Celsius yang terjadi pada Juni 2013.
Provinsi Riau merupakan lokasi lahan perkebunan kelapa sawit bagi banyak perusahaan perkebunan, termasuk Grup Sinar Mas milik keluarga konglomerat Eka Tjipta Widjaja dan Raja Garuda Mas milik Sukanto Tanoto. Dua grup perusahaan ini juga memiliki banyak lahan Hutan Tanaman Industri (HTI) di Riau yang menghasilkan bahan baku bubur kertas.
"Kalau El Nino lemah, pengaruhnya tidak besar untuk wilayah Sumatera Utara dan Riau. Kalau moderat atau kuat, baru akan terasa pengurangan pembentukan awan yang menyebabkan berkurangnya hujan yang signifikan," ujar Yesi.
Riau baru saja memasuki musim kemarau dan beberapa minggu kedepan sampai Juli-Agustus curah hujan diprediksi minim, atau kurang dari 40 milimeter setiap sepuluh hari. Curah hujan adalah volume air yang jatuh di permukaan tanah datar selama suatu periode yang biasa diukur dengan satuan tinggi milimeter, dengan asumsi tidak terjadi evaporasi, runoff (air mengalir ke tempat lain). Jumlah curah hujan yang diukur adalah tebalnya atau tingginya permukaan air hujan yang tertampung atau yang menutupi suatu daerah luasan di permukaan tanah datar.
Cuaca kering akibat El Nino tersebut biasanya dibarengi dengan kesulitan panen pertanian dan seringkali mendorong harga komoditas naik. Kejadian ini bukan pertama kali, El Nino pernah menderu pada akhir 2009 hingga mendongkrak CPO 21 persen dalam setahun. (Baca juga: Apakah Topan El Nino Selalu Membuat Harga CPO Terbang? Ini Datanya)
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) juga menilai bahwa El Nino dapat berpengaruh terhadap pasokan CPO dan akhirnya mendorong harga. Namun, hingga saat ini harga juga belum naik.
"Yang jelas sudah mulai kemarau dan produksi supply mulai turun. Mestinya harga naik, tetapi sejauh ini harga belum terangkat," ujar Juru Bicara Gapki Tofan Mahdi saat dihubungi Bareksa.
Seperti terlihat dalam grafik, harga kontrak minyak sawit terlihat stabil sepanjang tahun ini di Bursa Malaysia Derivatives. Harga kontrak CPO malah turun 2,03 persen menjadi 2.220 ringgit per ton pada 22 Juni, dibandingkan 2.266 ringgit per akhir Desember 2014.
Grafik Pergerakan Harga Kontrak CPO di Bursa Malaysia
Sumber: Bareksa.com
Hal serupa juga terjadi dengan kontrak CPO di Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia (ICDX). Harga kontrak dengan kode CPOTR mencapai Rp8.100 per kilogram pada 22 Juni 2015, tidak jauh berbeda dari Rp8.045 per kilogram pada akhir tahun lalu.
Emiten CPO
Lantas, bagaimana dengan kondisi harga saham para emiten di Indonesia? Bareksa membandingkan pergerakan sejumlah produsen besar CPO di Bursa Efek Indonesia termasuk PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI), PT Eagle High Plantations Tbk (BWPT), PT London Sumatra Tbk (LSIP), PT Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk (SMAR), dan PT Sawit Sumbermas Sarana Tbk (SSMS).
Sejak awal tahun, harga saham empat dari lima emiten sawit berkapitalisasi terbesar di bursa ini turun padahal Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) naik 2,42 persen. Hanya SSMS yang dapat membukukan kenaikan 8,41 persen hingga 22 Juni.
SMAR yang terafiliasi Grup Sinar Mas mencatatkan penurunan terbesar dengan return minus 44,14 persen sejak awal tahun. Kinerja saham negatif itu diikuti dengan LSIP yang turun 16,67 persen dan AALI 9,07 persen.
Grafik Pergerakan Harga Emiten CPO YTD 22 Juni 2015
Sumber: Bareksa.com
"El Nino dapat memberi sentimen positif terhadap kenaikan harga tetapi negatif untuk volume produksi," seperti dikatakan oleh Wayne Gordon Executive Director Commodities & Rates FX UBS Wealth Management.
Walaupun dampak dari El Nino terhadap sawit tidak akan terlihat dalam waktu dekat, tetapi dalam jangka pendek harga saham emiten perkebunan Indonesia bisa mengalami rally sehingga bisa dimanfaatkan investor untuk melakukan aksi "profit taking". Karena dalam jangka panjang penurunan volume produksi akibat gagal panen justru lebih berpengaruh negatif.
Emiten agribisnis terbesar di Australia, GrainCorp sudah mulai ditinggalkan investor karena pola cuaca ini diperkirakan mengancam pendapatan perseroan. Harga saham GrainCorp sudah turun 13,7 persen sejak awal Mei menjadi $8,73 karena perseroan mengatakan kekeringan yang melanda tanamannya membuat laba interim turun 40 persen menjadi $30,2 juta.
"Paling tidak butuh 12 bulan untuk melihat intensitas dari dampaknya. El Nino pun tidak terjadi selama setahun penuh karena akan ada hujan yang mendorong produksi perkebunan. Kita perlu tunggu dan melihatnya lebih serius di kuartal ketiga tahun ini," ujarnya dalam siaran Bloomberg Business.
Dia juga menjelaskan bahwa dampak El Nino akan terlihat jelas pada produksi kelapa sawit. Dampak tersebut tidak hanya kepada industri kelapa sawit tetapi juga pada harga pangan secara umum. "Harga minyak sayur dapat naik signifikan, tapi kita akan tunggu hingga kuartal ketiga untuk melihat dampaknya," tuturnya. (np)