UU BUMN Akan Direvisi, Porsi Pemerintah Minimal 60 Persen; Ada Manfaatnya?

Bareksa • 01 Jun 2015

an image
Mantan Sekertaris Kementrian BUMN Said Didu (ANTARA/Yusran Uccang)

Dibanding buyback saham, pemerintah sebaiknya menggunakan dana tersebut untuk mengerjakan proyek Infrastruktur

Bareksa.com– Sejumlah kalangan mendukung rencana Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menaikkan batas minimal saham pemerintah di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menjadi 60 – 70 persen dari sebelumnya minimal 51 persen. Untuk mewujudkan rencana tersebut Komisi VI DPR akan merevisi Undang-Undang BUMN.

Mantan Sekretaris Kementerian BUMN Said Didu salah satu yang mendukung usulan Komisi VI DPR tersebut. “Itu ide bagus. Seharusnya, memang kepemilikan saham pemerintah di BUMN dari dulu setidaknya mencapai 60-65 persen,” ujar Said kepada Bareksa.

Dengan kepemilikan lebih dari 60 persen ini, Said menilai setidaknya ada dua keuntungan yang didapat oleh pemerintah sebagai pemegang saham pengendali.

Pertama, dengan penguasaan pemerintah minimal 60 persen, akan membuat Indonesia tahan “guncangan” ekonomi. “Dengan kepemilikan 51 persen saat ini, harga saham BUMN akan sangat rawan (terkoreksi sahamnya) jika terjadi guncangan ekonomi,” katanya.

Kedua, pemerintah akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar jika BUMN tersebut mencetak laba. “Jika porsi pemerintah bertambah, keuntungan yang diperoleh pemerintah akan lebih besar. Apalagi kalau harga sahamnya naik tinggi.”

Dukungan juga diungkapkan oleh Kepala Riset Samuel Asset Manajemen Lana Soelistianingsih. Menurut Lana, penguasaan minimal 60 persen akan bagus bagi ketahanan di pasar modal nasional karena selama ini investor asing masih menguasai Bursa Efek Indonesia.

“Jadi, tekanan akan berkurang jika pemerintah meningkatkan kepemilikannya,” ujar Lana.”Apalagi, jika ada isu-isu ekternal (yang menyebabkan outflow) karena kepemilikan asing juga berkurang.”

Pengaruh porsi kepemilikan saham pemerintah terhadap ketahanan suatu saham ini dapat dilihat pada pada pergerakan saham PT Waskita Karya Tbk (WSKT) atau pun PT Wijaya Karya (WIKA) dibanding penurunan harga saham PT Adhi Karya Tbk (ADHI) pada periode koreksi 3 Februari hingga 28 Mei 2015.

Ketiga saham BUMN infrastruktur itu mengalami koreksi pada periode yang sama. Tapi dampak lebih besar dialami oleh saham ADHI–porsi kepemilikan pemerintah hanya 51 persen– dibanding WIKA dan WSKT yang
porsi kepemilikan saham pemerintahnya lebih besar.

Grafik Perbandingan Saham Adhi Karya, Wijaya Karya, dan Waskita Karya

Sumber: Bareksa

Pendapat berbeda diungkapkan oleh Head of Research Syailendra Capital Lanang Trihardian. Menurut dia, opsi peningkatan kepemilikan saham pemerintah ini tidak terlalu besar manfaatnya bagi pemerintah. “Saya tidak melihat urgensinya,” kata dia,

Lanang mencontohkan, jika pemerintah menaikan porsi kepemilikan saham Telkom dari saat ini 52 persen menjadi 60 persen keuntungannya tidak terlalu besar. Dengan kepemilikan 51 persen pun, pemerintah masih memegang kendali, katanya.

Dibanding melakukan buyback saham, pemerintah sebaiknya menggunakan dana tersebut untuk investasi dan mengerjakan proyek pembangunan infrastruktur.

Lanang dan Lana meragukan pemerintah akan menambah kepemilikan saham di emiten-emiten BUMN pada tahun ini. “Mekanismenya dari mana dan apakah pemerintah sudah ada uangnya. Apalagi tidak dialokasikan di APBN 2015. Lagipula ini juga masih tahapan di DPR.”