Bareksa.com - Kenaikan pajak ataupun cukai rokok lebih mempengaruhi kinerja perusahaan rokok dibandingkan pembatasan iklan menurut analis Bareksa. Bahkan larangan rokok mendorong efisiensi perusahaan rokok.
Pemerintah dan DPR sedang memfinalisasi Rancangan Undang-Undang (RUU) penyiaran terbaru yang didalamnya termasuk pembahasan terkait larangan penyiaran iklan rokok di media televisi dan radio. Persoalan larangan iklan rokok bukan hal yang baru bagi perusahaan rokok. Sejak tahun 2012, jam tayang iklan rokok dibatasi pada jam 21.30 sampai 05.00.
(Baca juga: Rokok Tak Boleh Diiklankan; Perusahaan TV Bisa Kehilangan Rp4 T/Tahun)
Tetapi sejak tahun 2012 nilai penjualan rokok justru tidak mengalami penurunan melihat pada penjualan rokok PT Gudang Garam Tbk (GGRM), PT H.M. Sampoerna Tbk (HMSP) dan PT Wismilak Inti Makmur Tbk (WIIM). Pada tahun 2012, penjualan ketiga perusahaan tersebut justru meningkat 22 persen dan dalam tiga tahun terakhir rata-rata penjualan tumbuh 15,5 persen.
Perlu diketahui, biaya iklan dan promosi merupakan salah satu beban terbesar yang ditanggung perusahaan rokok. Bahkan perusahaan yang gencar beriklan seperti Gudang Garam dan Sampoerna membayar iklan lebih besar ketimbang membayar upah pekerja.
Sehingga pembatasan iklan justru berdampak positif untuk mendorong efisiensi perusahaan karena meminimalisir biaya iklan. Karena selain melalui promosi televisi dan radio, perusahaan rokok masih bisa beriklan dengan event maupun media online yang nilainya dapat lebih murah yang tercermin dari merosotnya biaya iklan sejak tahun 2012.
Grafik: Volume Penjualan Perusahaan Rokok & Penjualan Rokok
sumber: perusahaan, bareksa.com
Ancaman pada perusahaan rokok terbesar justru terletak pada penerapan pajak rokok serta cukai yang bisa mendorong kenaikan harga jual sehingga membuat konsumen membatasi konsumsi rokok.
Per 1 Januari 2014, Pemerintah memberlakukan Undang-Undang No. 28 tahun 2009 yang mengenakan pajak rokok tambahan sebesar 10 persen dari nilai cukai yang ditanggung perusahaan. Sehingga, di tahun 2014 pembayaran pita cukai rata rata naik di atas 14 persen.
Walaupun total penjualan ketiga perusahaan rokok masih meningkat 11,8 persen pada tahun 2014 dibanding periode yang sama tahun sebelumnya, namun pertumbuhan volume penjualan merosot. Volume penjualan tiga perusahaan rokok terbesar tersebut hanya meningkat 4 persen dari sebelumnya 6,5 persen. Peningkatan hanya terjadi pada Gudang Garam 4,7 persen, sementara Sampoerna turun 1,4 persen.
Grafik: Pembayaran Pita Cukai
sumber: perusahaan, bareksa.com
Meningkatnya pajak rokok yang ditanggung perusahaan menggerus marjin laba bersih Sampoerna di tahun 2014 menjadi 25,4 persen dari tahun sebelumnya 26,75 persen. Margin Wismilak juga turun tipis 29,12 persen dari sebelumnya 29,57 persen.
Bahkan, PT Bentoel International Tbk (RMBA) sampai harus menderita rugi bersih Rp2,27 triliun.
Dari empat perusahaan rokok yang tercatat, hanya Gudang Garam yang marjinnya meningkat menjadi 20,53 persen dari sebelumnya 19,61 persen. Peningkatan volume penjualan yang menjadi penopang kenaikan marjin.
Grafik: Marjin Laba Bersih Perusahaan Rokok
sumber: perusahaan, bareksa.com
Tarif cukai masuk ke dalam beban pokok produksi yang ditanggung produsen. Sehingga untuk menghindari kerugian, produsen mau tidak mau harus meningkatkan harga jual. Sementara itu, naiknya harga jual menekan daya beli konsumen dan menyebabkan turunnya volume penjualan perusahaan.
Grafik: Rata-Rata Harga Jual Rokok (Rupiah Per Batang)
sumber: perusahaan, bareksa.com
Berdasarkan APBN-P 2015, target penerimaan cukai meningkat menjadi Rp145,7 triliun naik 24 persen dari realisasi penerimaan cukai tahun lalu Rp118,1 triliun. Sehingga dengan target yang cukup tinggi tersebut, tarif cukai rokok diperkirakan akan kembali mengalami peningkatan dan pada akhirnya dapat memicu peningkatan harga jual rokok. (np)