Bareksa.com - Pemerintah berencana mengizinkan warga negara asing memiliki properti di Indonesia. Namun, hak milik untuk orang asing itu hanya untuk apartemen, bukan rumah tapak (landed house). “Hak milik untuk orang asing ini sebenarnya tinggal aturan hukumnya,” kata Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro kepada wartawan di Jakarta, 13 Mei 2015.
Sejauh ini, warga negara asing (perorangan) hanya punya hak pakai dan hak sewa atas properti Tanah Air—Hak Guna Usaha (HGU) bagi perseroan terbatas. Hak pakai untuk investor asing pun dibatasi 25 tahun, dapat diperpanjang 25 tahun dan bisa diperpanjang lagi selama 20 tahun.
Hak untuk orang asing itu diatur di antaranya dalam Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria, UU No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman dan UU No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, dan Peraturan Pemerintah (PP) No.41 Tahun 1996 tentang Hak Pakai Properti oleh Warga Negara Asing.
Fenomena pembeli asing dalam industri properti Indonesia sebenarnya bukan hal baru. Di sejumlah daerah, seperti Bali, Batam, dan beberapa daerah di Jawa, banyak orang asing “mengakali” pembelian properti—tanah, rumah, dan apartemen.”Caranya dengan meminjam nama orang lain (nominee),” kata Associate Director for Research Colliers International Ferry Salanto kepada Bareksa. Maksudnya, properti yang dibeli itu seolah-olah merupakan hak milik orang Indonesia, tapi sebenarnya milik orang asing.
Fenomena itu terjadi karena sistem hak pakai dan hak sewa kurang menarik bagi investor asing. Bandingkan dengan di negara tetangga tetangga. Di Thailand, orang asing mengantongi izin kepemilikan langsung hingga 70 tahun. Bahkan Singapura memperbolehkan hingga 99 tahun. Sementara di Indonesia, sistem perpanjangan hingga dua kali justru memberi ketidaknyamanan bagi investor.
Perbedaan tersebut akan melemahkan daya tarik Indonesia sebagai ladang investasi. Padahal kepemilikan aset properti oleh orang asing di Indonesia dapat menambah masuknya devisa sektor properti yang selama ini banyak ‘terbang’ ke luar negeri.
Permasalahannya, tak mudah bagi orang asing memiliki properti di Indonesia. Para pengusaha properti sudah lama menyadari masalah ini. Bahkan asosiasi Real Estate Indonesia (REI) sudah lebih dari 15 tahun mengupayakan agar investor asing punya hak milik atas properti. REI berkali-kali berjuang ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merevisi sejumlah regulasi. Selama UU Agraria belum direvisi, orang asing tak akan bisa memiliki properti di Indonesia. (Baca Juga: Orang Asing Boleh Punya Hak Milik Properti? Ini Kendalanya)
***
Pemberian izin kepada warga negara asing memiliki properti di Tanah air ibarat pedang bermata dua. Satu sisi ada potensi dampak buruknya, di sisi lain manfaatnya juga tidak sedikit.
Potensi dampak negatif
Para penentang beralasan pemberian hak milik kepada orang asing justru akan merugikan masyarakat Indonesia,terutama masyarakat berpendapat rendah. Spekulasi akan merebak, sehingga harga tanah akan naik. Buntutnya pengembang kesulitan membangun rumah-rumah sederhana dan rumah sangat sederhana (RS/RSS).
Para pengembang dikhawatirkan akan lebih senang membangun apartemen ketimbang membangun rumah sederhana. Padahal, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2014 kekurangan pasokan (back log) RS/RSS telah mencapai 15 juta unit. Buntutnya masyarakat berpendapatan rendah tidak bisa memiliki rumah.
Fuad Zakaria, Ketua Dewan Pertimbangan DPP Asosiasi Pengembang dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) dalam “Buku Merah Permasalahan Perumahan di Indonesia” menyebutkan back log versi Apersi lebih gawat lagi mencapai 48,96 juta unit. Kekurangan back log per tahun sekitar 800 ribu unit. Membolehkan hak milik kepada asing dinilai bisa mengancam program pemerintah menyediakan 1 juta RS/RSS.
Potensi Manfaat
Harus diakui warga negara asing merupakan salah satu pasar potensial para pengembang properti, khususnya yang bermain di segmen penjualan apartemen dan kondominium.
Data survei Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) menyebutkan pada 2010 ada sebanyak 83.452 warga asing sudah bermukim di Indonesia. Sebesar 31% dari warga asing tersebut tertarik untuk membeli properti di dalam negeri.
Temuan LPEM UI sejalan dengan data milik para konsultan properti Jones Lang LaSalle Research (JLL). Berdasarkan data JLL, penjualan kondominium di Jakarta sejak 2009 terus naik cukup signifikan. Puncaknya pada 2014 penjualan kondominium mencapai hampir 17 ribu unit. Untuk kuartal I-2015, penjualannya telah mencapai 4.600 unit, lebih tinggi dari total serapan hunian kondominium kuartal I-2014 sebesar 3.900 unit. (lihat gafik)
Grafik Penjualan Kondominimiun 2004 Hingga Kuartal I-2014
Sumber : Jones Lang LaSalle
Begitu pula dengan apartemen. Sampai dengan akhir 2013, tingkat penjualan apartemen siap huni sebesar 94 persen dari total 91.330 unit, dan apartemen yang masih dalam tahap pembangunan sebesar 72 persen dari total 47.240 unit.
Menurut Ketua asosiasi pengembang Real Estate Indonesia, Eddy Hussy pemberian izin kepada asing untuk memiliki properti akan berdampak positif bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pemerintah akan mendapatkan pajak lebih besar. Pasalnya orang asing akan membayar pajak lebih mahal dibanding para pembeli lokal. Setelah itu, para orang asing yang sudah memiliki properti pasti akan merawat propertinya dan juga tinggal di sana. “Kedatangan mereka dan juga akan mendatangkan devisa tambahan,” katanya kepada Bareksa, 15 Mei 2015.
Suharso Manoarfa, Menteri Perumahan Rakyat zaman pemerintahan Susilo Bambang Yudhono pernah juga menyebutkan akan ada investasi masuk senilai US$ 3 – 6 miliar per tahun bila orang asing bisa mendapatkan hak milik atas properti.
Ketua Umum DPP REI 2007-2010 Teguh Satria menyajikan data lebih detail. Kepemilikan warga negara asing atas properti Indonesia berpotensi menambah pendapatan pajak sebesar Rp 24 triliun.
Nilai pendapatan pajak ini diperoleh dari hasil pengalian harga properti minimum untuk warga negara asing sebesar 500.000 dollar AS dan properti yang terjual sebanyak 10.000 unit per tahun, dengan pajak properti 40 persen.
Penjualan properti kepada warga negara asing asing itu dikenai pajak yang terdiri atas komponen Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10 persen, Pajak penghasilan (PPh) 5 persen, Bea dan Pungutan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) 5 persen, dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) 20 persen.
"Jumlah pendapatan pajak sebesar itu bisa digunakan membangun rumah subsidi dan rumah rakyat sekaligus mengatasi back log,” katanya suatu ketika.
* Tambahan Laporan dari Alfin Tofler dan Evi Rahmayanti