Bareksa.com – Banyak investor kini bertanya-tanya ihwal kebangkitan harga saham PT Bumi Resources Tbk (BUMI) milik keluarga Bakrie. Bagaimana sebenarnya proses restrukturisasi utang perusahaan tambang batubara raksasa yang nilainya mencapai Rp45 triliun per akhir September 2014 itu? Apakah dalam proses restrukturisasi ini, Grup Sinarmas akan turut masuk? Analis Bareksa mencoba menelusurinya.
Pada penutupan perdagangan Senin 11 Mei 2015, harga saham BUMI tercatat naik 2 persen, serta mencatat rekor volume dan nilai transaksi terbesar sejak 14 Januari 2015. Bahkan, per jam 13.30 WIB, harga BUMI sempat melonjak 7,92 persen. Padahal, pada akhir pekan lalu, 8 Mei, harga saham BUMI sudah tiba-tiba melesat 27,85 persen ke harga Rp101 per saham.
Ada apa gerangan?
Sehari sebelumnya, 7 Mei, di bursa saham London, Asia Resources Mineral Plc (ARMS) – induk PT Berau Coal Energy Tbk (BRAU) – mengumumkan sedang menelaah lebih lanjut penawaran pembelian saham oleh Asia Coal Energy Ventures Ltd (ACE) dan Argyle Street Management Limited, perusahaan investasi yang terafiliasi dengan Grup Sinarmas.
ARMS, yang dulunya bernama Bumi Plc, merupakan wadah investasi Nathaniel Rothschild saat menggandeng Grup Bakrie pada akhir Juni 2011 lalu.
Lalu kemudian terjadi konflik hebat antara dua kelompok taikun ini, yang mengakibatkan Grup Bakrie menarik saham BUMI dari ARMS melalui bantuan Samin Tan, pemilik tambang batubara PT Borneo Lumbung Energy & Metal Tbk (BORN). Semenjak itu, aset tambang batubara milik ARMS hanya tersisa BRAU.
Samin Tan menggantikan posisi Bakrie dengan menguasai 47,6 persen saham ARMS.
BRAU sendiri sedang dililit utang obligasi senilai $450 juta yang akan jatuh tempo pada tahun 2015 dan $500 juta lainnya pada 2017. Untuk itu, ARMS selaku pemegang saham berencana menerbitkan saham baru guna menyelamatkan BRAU dari potensi ancaman gagal bayar (default).
Dalam kondisi terdesak ini, Rothschild berusaha mengambil alih ARMS dengan mengajukan penawaran untuk membeli saham baru yang akan dikeluarkan. Samin Tan sendiri dalam keadaan tidak berdaya karena sudah dijepit tumpukan utang akibat aksinya membeli ARMS dari Bakrie.
Nah, tiba-tiba muncullah "sang juru selamat": Grup Sinarmas, yang melalui ACE dan Argyle menyorongkan penawaran tandingan dengan harga yang lebih tinggi dari yang diajukan Rothschild, untuk menyerap saham baru ARMS.
Bagaimana BUMI?
Setali tiga uang dengan BRAU, BUMI juga sedang dicekik utang raksasa. Berdasarkan laporan keuangan BUMI per September 2014, saldo pinjaman jangka panjang mencapai $3,5 miliar dolar atau Rp45 triliun (asumsi kurs Rp13.000 per dolar AS).
Lebih parah lagi, di bagian penjelasan disebutkan bahwa mayoritas utang tersebut sudah masuk dalam kategori macet (default). Bahkan, posisi ekuitas BUMI juga sudah negatif $320 juta atau Rp4,1 triliun.
Seluruh utang dalam kategori default sesuai ketentuan cross default dalam perjanjian akibat BUMI gagal bayar dengan kelompok usaha atas pembayaran pokok dan atau bunga pinjaman lainnya saat jatuh tempo.
Tabel: Daftar Utang Default BUMI Per Akhir September 2014
Sebelumnya diberitakan bahwa BUMI akan melakukan private placement untuk merestrukturisasi utang tersebut.
Tetapi jika aksi tersebut hanya mengkonversi utang ke saham, maka BUMI sama sekali tidak memperoleh uang tunai. Artinya, tidak ada tambahan nilai bagi pemegang saham lama. Ini seperti yang terjadi pada bulan Juli tahun lalu, di mana pemegang saham minoritas justru terdilusi 60,7 persen akibat penerbitan 32,19 miliar saham baru BUMI. (Baca juga: Analis Pertanyakan Right Issue Bumi Resources)
Dalam proses tersebut BUMI mengkonversi utang milik China Investment Corporation (CIC). Pada September 2009, CIC memberikan pinjaman kepada BUMI melalui anak usaha yakni Country Forest Ltd (CFL) senilai $1,9 miliar dengan bunga 12 persen per tahun. Lalu pada November 2011, BUMI melakukan pelunasan awal $600 juta atas utang ini, sehingga utang terhadap CFL berkurang menjadi hanya $1,3 miliar.
Baru pada Oktober 2013, BUMI dan CFL sama-sama membuat kesepakatan untuk membayar sisa hutang dan bunga yang jatuh tempo. Salah satu dari isi perjanjian menyebut ketika BUMI melakukan penerbitan saham baru (right issue), maka utang CFL $150 juta akan ditukar dengan 6,2 miliar saham baru atau setara dengan 18,9 persen kepemilikan.
Namun saat aksi right issue ini dilakukan pada Juni 2014, bukan CFL yang menyerap saham baru BUMI melainkan pemegang saham utama BUMI, Long Haul Ltd melalui agen fasilitas PT Karsa Daya Rekatama. Dalam penjelasan di materi persentasi November 2014 hanya disebutkan BUMI telah melunasi utang CIC senilai $150 juta. Dengan pelunasan tersebut dan pemenuhan syarat lain sesuai perjanjian, utang BUMI terhadap CFL pun berkurang menjadi hanya sekitar $1 miliar.
Selain CIC, dalam aksi right issue BUMI juga melakukan konversi utang Castleford Investment Holdings yang seluruhnya bernilai $150 juta dengan 6,2 miliar saham baru atau setara dengan 18,9 persen kepemilikan. Castleford menunjuk PT Damar Reka Energi sebagai agen fasilitas penyerapan saham baru tersebut.
Yang menarik kepemilikan saham atas nama dua agen fasilitas ini terus berkurang. Berdasarkan laporan pemegang saham per April 2015, kepemilikan atas nama Karsa Daya Rekatama turun menjadi di bawah 5 persen sedangkan atas nama Damar Reka Energi hanya bersisa 6,28 persen.
Ini menunjukkan konversi hutang hanya mengubah peta kepemilikan BUMI. Berbeda halnya jika ada investor baru yang memberikan dana segar sehingga bisa memperbaiki struktur modal BUMI.
Head of Research Syailendra Capital Lanang Trihardian mengungkapkan bahwa kenaikan harga saham BUMI saat ini lebih didorong oleh unsur spekulasi pelaku pasar atas restrukturisasi utang-utang BUMI.
“Karena restrukturisasi utang BUMI kan masih berlangsung dan rencananya seluruh utangnya akan dikonversi ke saham melalui debt-to-equity swap. Market melihat proses ini berjalan lancar, sehingga banyak yang mulai masuk ke saham BUMI. Sentimen serupa juga tampak pada kenaikan harga obligasi BUMI.”
Pandangan serupa diutarakan Head of Research NH Korindo Securities Reza Priambada. Menurutnya, kenaikan harga saham BUMI lebih didorong oleh sentimen dari proses restrukturisasi utang BUMI.
“Dari isu yang beredar di market, ada yang bilang bahwa rencana restrukturisasi utang BUMI akan selesai di kuartal II-2015. Dan banyak yang berasumsi bahwa prosesnya berjalan lancar karena hingga saat ini tidak ada berita negatif mengenai proses ini.”
Reza menambahkan kenaikan harga saham BUMI tidak ada hubungannya dengan tawaran Sinarmas atas ARMS. “Karena ARMS sekarang kan punya Rothschild dan Samin Tan. Selain itu, Sinarmas sudah punya Dian Swastatika Sentosa (DSSA).”
Untuk dicatat, Grup Sinarmas -- yang luas dikenal memiliki sejarah panjang hubungan baik dengan keluarga Bakrie -- sebelumnya pernah membeli 3 hektar lahan di Superblok Rasuna Epicentrum Jakarta milik PT Bakrieland Development Tbk (ELTY) pada tahun 2013 melalui PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE).
Apakah Grup Sinarmas bakal kembali turun tangan "menolong" Bakrie dalam private placement BUMI?. (kd)
*Tambahan laporan dari Adam Rizky Nugroho