Bareksa.com - Bahan bakar minyak (BBM) jenis Premium yang memiliki bilangan oktan (RON) 88 tak lama lagi akan segera tinggal sejarah. PT Pertamina (Persero) memutuskan akan menghapus Premium dan menggantinya dengan Pertalite, bensin RON 90.
Penghapusan bensin Ron 88 merupakan rekomendasi Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas. Tim ini sebenarnya merekomendasikan kepada pemerintah—juga Pertamina—agar menghapuskan bensin RON 88 dengan bensin RON 92. Menteri ESDM Sudirman Said kepada wartawan di Jakarta menyebutkan pemerintah menargetkan penghapusan Premium secara bertahap bisa direalisasikan paling lama dua tahun.
Anehnya, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno belakangan justru menyatakan tidak setuju Pertalite menggantikan Premium saat ini. Rini menilai sekarang Premium merupakan bahan bakar yang paling terjangkau harganya oleh masyarakat.
“Saya sudah bicara dengan Pak Sudirman Said (Menteri ESDM), dan kami sepakat mengutamakan Premium karena itu yang paling terjangkau oleh masyarakat. Kecuali Pertalite harganya bisa lebih murah dibanding Premium,” ujar Rini kepada wartawan di sela-sela acara World Economic Forum on East Asia 2015 di Hotel Shangri-La, Jakarta, Senin 20 April 2015. Namun, Rini masih memberi keleluasaan kepada Pertamina untuk memproduksi Pertalite dan menjualnya kepada masyarakat. “Bisa diproduksi dan dipasarkan kepada masyarakat. Tapi sebagai pilihan, bukan sebagai pengganti Premium.”
Sebaliknya, Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) Ahmad Sjafrudin menyetujui kebijakan penghapusan Premium. Dia malahan menyesalkan keputusan Pertamina yang hanya mengganti Premium dengan RON 90. Seharusnya, kata dia, Pertamina minimal mengganti RON 88 dengan RON 91.
“Tinggal naikkan 1 oktan lagi,” ujarnya kepada Bareksa di Jakarta, Senin 20 April 2015. Menaikkan satu oktan lagi, menurut dia, tak sulit karena Pertamina bisa mengimpornya. “Dari dulu juga Pertamina mengimpor BBM beroktan tinggi. Jadi tidak ada alasan belum RON 91 atau 92.”
Bila bensin RON 91 ada di pasar sekarang ini, maka harganya tak akan terpaut jauh dengan Premium. Dengan harga minyak dunia saat ini sekitar $60-70 per barel, harga bensin RON 91 tidak akan lebih dari Rp7.500 per liter. “Harga relatif murah, tapi kualitasnya setara Pertamax.”
Bensin RON 88 layak dihapus, kenapa?
Bahan bakar beroktan rendah, di bawah RON 90 sudah sangat langka di pasar minyak dunia. Banyak negara beralih ke bahan bakar dengan oktan lebih tinggi atau mengikuti standar emisi EURO 3 dengan minimum oktan 92 menyusul kuatnya isu lingkungan dan kesehatan. Bensin berkadar oktan tinggi juga terbukti lebih efisien (irit) dan membuat kinerja mesin lebih baik.
Indonesia sebenarnya sudah mengadopsi EURO 3 sejak 2013. Namun, faktanya bensin RON 88 paling banyak digunakan ketimbang RON 92—seperti Pertamax produk Pertamina. (Lihat Grafik: Konsumsi RON 88 Vs RON 92)
Indonesia tercatat sebagai satu-satunya negara yang masih menggunakan RON 88. Ironisnya, pengadaan RON 88 sebagian besar dilakukan dengan cara mengimpor karena kemampuan kilang-kilang tua Pertamina sangat terbatas. Kilang Pertamina hanya mampu memproduksi BBM sekitar 800 ribu barel per hari. Padahal, kebutuhannya 1,5 juta barel per hari.
Jelas, Indonesia sangat tertinggal dibanding negeri tetangga dan negara lainnya. Lihat saja Filipina. Negeri ini telah menghentikan penjualan BBM RON 81 dan RON 88 sejak Mei 2013 dan menggantikannya dengan oktan minimum 91. Vietnam menghentikan penjualan RON di bawah RON 90 mulai 1 Januari 2014. Mesir masih menjual RON 80. Namun, distribusinya terbatas dan hanya dipakai mobil-mobil tua. Begitu pula dengan Rusia. Negara Beruang Merah ini telah membatasi produksi bahan bakar beroktan rendah (RON 80). Kini Rusia telah mengadopsi standar EURO 4 (RON 95).
Siaran pers Tim Reformasi Migas yang di-post ketuanya, Faisal Basri, di blog pribadinya (faisalbasri01.wordpress.com) mengungkapkan bahwa rumus penghitungan harga BBM RON 88 rumit karena menggunakan harga patokan BBM jenis lain. BBM RON 88 saat ini tidak mempunyai harga patokan di bursa dunia, seperti Singapura. Padahal, penghitungan harga BBM bersubsidi selama ini bergantung pada volume penggunaan BBM bersubsidi dan selisih antara harga patokan dengan harga jual sebelum pajak.
Berdasarkan kajian Komite, formula penentuan harga patokan dihitung berdasarkan rata-rata harga indeks pasar BBM pada periode satu bulan sebelumnya, ditambah ongkos distribusi dan marjin. Harga indeks pasarnya mengacu pada harga transaksi di bursa Singapura atau Mean of Platts Singapore (MOPS). Permasalahannya, di bursa Singapura tidak ada kutipan harga untuk BBM jenis RON 88--maupun minyak solar 0,35% sulfur. Ketiadaan faktor harga itu karena tidak ada negara yang membeli RON 88 selain Indonesia. “Indonesia pembeli tunggal RON 88,” ungkap Tim Reformasi Migas.
Harga indeks pasar kedua jenis BBM bersubsidi itu dihitung berdasarkan harga MOPS untuk jenis BBM yang spesifikasinya paling mendekati. Sesuai aturan pemerintah, harga indeks pasar untuk BBM premium dan minyak solar masing-masing 0,9842 x MOPS Mogas 92 dan 0,9967 x MOPS Gasoil 0,25% sulfur. Komite menganggap faktor pengali 0,9842 untuk BBM Premium bermasalah karena dihitung berdasarkan harga BBM RON 88 pada 2007.
Formula penentu faktor pengali itu juga ditentukan berdasarkan harga rerata MOPS Mogas 92 dan MOPS Naptha selama kurun waktu Januari 2004-Desember 2006, yang masing-masing sebesar US$59,86 dan US$51,16.
Walhasil, formula harga RON 88 (Premium) ini sangat rumit, ketinggalan zaman, dan mengakibatkan harganya menjadi tidak transparan.
Atas dasar itulah, Komite merekomendasikan agar Pertamina menghentikan impor RON 88 dan Gasoil 0,35% sulfur dan menggantikannya masing-masing dengan impor Mogas 92 (RON 92) dan Gasoil 0,25% sulfur.
Grafik: Perbandingan Konsumsi BBM RON 88 dengan RON 92
Sumber: Kementrian ESDM, diolah Bareksa
Manfaat ekonomi
Sejauh ini Pertamina dan Tim Reformasi Tata Kelola Migas memang belum memiliki perhitungan rinci soal tingkat efisiensi dari penghapusan RON 88 ke bensin beroktan di atasnya. Namun, Tim Reformasi Tata Kelola Migas menyebutkan selama ini untuk mendapatkan RON 88 negara perlu mengeluarkan anggaran yang lebih besar. Penyebabnya, bensin jenis itu sudah tak beredar lagi di pasar sehingga untuk memperoleh RON 88 perlu proses pencampuran (blending) Naptha — sejenis hidrokarbon cair sebagai bahan baku untuk memproduksi bensin -- dengan persentase tertentu pada bensin beroktan lebih tinggi, misalnya RON 92.
Hasilnya, menurut Tim Reformasi, selain bisa menghemat anggaran, penghentian impor RON 88 juga bisa menjadi solusi untuk mencegah munculnya potensi kartel. Manfaat lainnya adalah dampak terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Tim Reformasi Tata Kelola Migas merekomendasikan bensin baru diberi subsidi tetap. Bila ini dilakukan, maka postur APBN tidak berubah-ubah setiap tahunnya, sehingga tercipta stabilitas perekonomian.
KPBB punya hitung-hitungan yang lebih rinci. Berdasarkan kajian lembaga tersebut, dengan asumsi penghapusan Premium dilakukan pada 2015-2030, maka peralihan konsumsi Premium ke bensin beroktan lebih tinggi, khususnya RON 92 akan membawa beberapa manfaat antara lain penghematan konsumsi BBM
Data menunjukkan penggunaan bensin RON 92 pada mesin berteknologi standar Euro 2 mampu menghemat BBM sampai 20 persen dibanding memakai RON 88 (Premium). Bensin RON 88 termasuk kategori dirty fuel atau bahan bakar kotor. Kuota BBM bersubsidi pada 2014 mencapai 45,36 juta kilo liter (KL). Rinciannya Premium 29,29 juta KL, solar 15,17 juta KL dan minyak tanah 0,90 juta KL. Artinya dengan efisiensi 20 persen, bisa ada penghematan konsumsi bensin RON 88 hampir 6 juta KL setahun. Ini sama artinya dengan penghematan konsumsi BBM senilai Rp290 triliun selama 15 tahun.
Manfaat lainnya, menurut Ahmad Sjafrudin dari KPBB, adanya penghematan biaya pengobatan penyakit yang disebabkan pencemaran udara dari pembakaran bensin bertimbal. Jika peralihan konsumsi Premium ke RON 92 dimulai pada 2015 hingga 2030, berdasarkan kajian akan ada manfaat ekonomi berupa penghematan dana berobat yang dikeluarkan masyarakat sebesar Rp1.600 triliun dan peningkatan produktivitas masyarakat Rp50 triliun. Secara keseluruhan manfaat ekonomi dari penghapusan RON 88 dan menggunakan bensin minimal RON 91 sekitar Rp1.970 triliun.
Indonesia, kata Ahmad, bisa mendapat manfaat ekonomi lebih besar lagi bila mempercepat standar Euro 4 pada semua jenis kendaraan. Penghematan atau manfaat ekonomi yang bisa diperoleh Negara bisa mencapai Rp3.900 triliun. Dengan mengadopsi Euro 4, maka konsumsi BBM bisa ditekan lagi 20 persen, sehingga biaya impor BBM juga akan semakin turun. Pada gilirannya dolar yang dikeluarkan Pertamina untuk mengimpor BBM akan semakin berkurang dan ujung-ujungnya mengurangi tekanan dolar terhadap nilai tukar rupiah. (kd)