Bareksa.com - Telah menjadi anggapan umum bahwa pasang-surut bisnis Kelompok Usaha Bakrie bergerak mengikuti pasang-surut posisi politik patron grup bisnis ini, Aburizal Bakrie (68). Apalagi, banyak sektor bisnis yang dimasuki -- atau pernah dimasuki -- Bakrie Group berkaitan langsung dengan kebijakan dan ijin pemerintah, seperti: tambang, televisi, telekomunikasi, jalan tol, dan properti.
Karena itulah, goyahnya posisi Aburizal sebagai Ketua Umum Partai Golkar belakangan ini -- menyusul kekalahannya pada Pemilu Presiden 2014 lalu saat mengusung Prabowo-Hatta -- kembali memumbulkan tanda tanya tentang kelangsungan nasib bisnis kelompok ini--yang sudah beberapa tahun belakangan ini memang sedang terus dihimpit gunungan utang.
Penelusuran analis Bareksa mendapati fakta menarik. Setelah Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengesahkan Agung Laksono cs sebagai kepengurusan Golkar yang sah, saham-saham Grup Bakrie kembali berguguran. Agung mendaftarkan pengurus Golkar versi Munas Ancol-Jakarta ke Kementerian Hukum dan HAM pada 23 Maret lalu.
Walaupun pada Rabu malam, 1 April 2015, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) secara mengejutkan mengabulkan gugatan Aburizal terhadap keputusan Menteri Hukum dan HAM, yang artinya kubu Aburizal tetap sebagai pengurus sah Partai Golkar.
Dan pada kurun waktu 23-30 Maret 2015, harga saham PT Bumi Resources Tbk (BUMI) ambrol 9,78 persen menjadi Rp83 per saham dan saham PT Energi Mega Persada Tbk (ENRG) anjlok 5,37 persen menjadi Rp86. Dua saham media Bakrie berhasil bertahan. Saham PT Visi Media Asia Tbk (VIVA) hanya terkoreksi 0,93 persen menjadi Rp530 dan saham PT Intermedia Capital Tbk (MDIA) tidak mengalami perubahan sama sekali.
Tabel: Perdagangan Saham BUMI
Sumber: Bareksa.com
Yang lainnya, masih mati suri di level Rp50 per saham, yakni: PT Bakrie & Brothers Tbk (BNBR), PT Bakrie Development Tbk (ELTY), PT Bakrie Telecom Tbk (BTEL) dan PT Bakrie Sumatra Plantation Tbk (UNSP).
Grafik harga historis BUMI menunjukkan pada 18 Desember 2014, saham tambang batu bara ini pernah kolaps hingga ke titik Rp53 per saham. Itu adalah masa di mana konflik Golkar sedang meruncing. Pada 4 Desember 2014 digelar Musyawarah Nasional di Bali yang secara aklamasi memutuskan Aburizal Bakrie sebagai ketua umum. Empat hari setelah itu, 8 Desember, digelar Musyawarah Nasional di Ancol, Jakarta, yang melalui pemungutan suara memilih Agung Laksono sebagai ketua umum.
BUMI sempat kembali menguat hingga Rp114 per saham pada 13 Januari 2015, setelah kubu Aburizal melayangkan gugatan terhadap kubu Agung Laksono ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat.
Sumber: Bareksa.com
***
Jika ditarik ke belakang 10 tahun yang lalu, pola itu semakin jelas.
Sebelum masuk pemerintahan dan memimpin Golkar, Aburizal Bakrie lama berkiprah di Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia. Dia tercatat dua kali menjabat sebagai Ketua Umum Kadin Indonesia dari tahun 1994 hingga 2004.
Di tahun 2004, Aburizal masuk kabinet SBY sebagai Menteri Koordinator Perekonomian, sebelum kemudian berpindah posisi menjadi Menko Kesra pada tahun 2005 hingga 2009. Pada periode ini pula, 2004-2009, dia menjabat sebagai anggota Dewan Penasehat DPP Partai Golkar setelah kalah bertarung di Konvensi Nasional Calon Presiden Partai Golkar. Dan pada 8 Oktober 2009, ia berhasil terpilih sebagai Ketua Umum Partai Golkar di Munas VIII Partai Golkar di Pekanbaru, Riau.
Penelusuran analis Bareksa pada laporan keuangan masing-masing perusahaan Bakrie tersebut memperlihatkan kelompok usaha ini mulai menderu kencang sejak 2003-2004. Puncaknya adalah setelah BUMI berhasil mengakuisisi Kaltim Prima Coal (KPC) pada Oktober 2003, menyusul langkah mereka mengambil oper Arutmin pada November 2001. Kedua perusahaan tersebut tercatat merupakan salah satu cadangan batubara terbesar di dunia.
Grup Bakrie membeli 100 persen saham KPC dari Rio Tinto dan British Proteleum (BP). Padahal, kala itu KPC sedang digugat pemerintah daerah terkait kewajiban divestasi saham sesuai dengan kontrak pertambangan PKP2B (Perjanjian Karya Perusahaan Pertambangan Batubara).
Sebagaimana dipublikasikan situs Hukum Online, tertera dalam PKP2B bahwa KPC setuju menawarkan saham mereka kepada investor dalam negeri, yakni pemerintah Indonesia, Warga Negara Indonesia, ataupun perusahaan Indonesia yang dikelola WNI.
KPC menerangkan proses divestasi itu sudah dimulai pada tahun 1998 berupa penawaran 23 persen saham. Pada 1999, KPC menawarkan 30 persen dan pada 2000 37 persen. Namun, saat itu tidak ada penawaran yang masuk, sehingga belum ada saham KPC yang terjual.
Pada tahun 2000 pemerintah mengubah posisi akibat terus tertundanya divestasi KPC tersebut. Pada tahun 2001, proses divestasi kembali digelar dengan jumlah saham yang ditawarkan kali ini adalah sebesar 51 persen. Tapi, lagi-lagi mentok, karena muncul pertentangan soal harga. Menurut KPC, valuasi 100 persen saham adalah sebesar $889 juta, sementara pemerintah cuma di kisaran $583-625 juta.
Rapat kabinet terbatas pada 31 Juli 2002 menetapkan pembagian saham KPC: 20 persen akan diambil pemerintah pusat melalui PT Bukit Asam Tbk (PTBA) dan 31 persen oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur dengan rincian 12 persen melalui Perusda Melati Bhakti Satya (MBS) dan 18,6 persen jatah Pemprov Kutai Timur.
Tiba-tiba, pada Oktober 2003, Grup Bakrie mengambil oper KPC dengan transaksi senilai $500 juta melalui pembelian 100 persen saham Sangata Holdings Ltd (SHL) dan Kalimantan Coal Ltd (KCL), dari Rio Tinto dan BP.
KPC sendiri pada waktu itu kian berat dililit konflik, sehingga membuat Rio Tinto dan BP kewalahan. Seperti dijelaskan dalam buku "The Best CEO Indonesia" karangan Harmanto Edy Djatmiko (2004), sejak Era Reformasi, KPC dihadapkan pada dua masalah besar. Pertama, demonstrasi karyawan yang menuntut kenaikan gaji dan tunjangan. Kedua, berlarut-larutnya persoalan divestasi yang kemudian juga memancing demonstrasi dari warga setempat, mahasiswa dan LSM yang menuntut agar tambang KPC tidak lagi dikuasai asing.
Masalahnya, ketika itu pemerintah sendiri kesulitan melakukan pembelian, karena masih dalam fase pemulihan setelah dihantam krisis moneter 1997-1998. Jangankan untuk membeli tambang, membangun infrastruktur saja sulit mengingat hutang yang menumpuk.
Selain itu, tambang batubara juga tidak dianggap menarik karena harga minyak dunia masih berada di level $20 per barel. Demonstrasi yang merongrong KPC juga dipandang sangat politis dan pemerintah ketika itu masih bergulat di tahap transisi demokrasi.
Alhasil, yang punya kekuatan dana maupun politik hanyalah Bakrie. Soal mahal murahnya harga pembelian KPC oleh Bakrie terbilang relatif, karena harga batubara ketika itu masih tergolong murah, sekitar $30 per metrik ton. Dan pada harga itu pun pemerintah Indonesia tidak sanggup untuk membelinya.
Grafik: Harga Minyak Mentah WTI, 2000-2003 ($ Per Barel)
Sumber: Nasdaq.com
Mengikuti persyaratan kontrak PKP2B, Bakrie melakukan divestasi tambang KPC. Pada tahun 2004, BUMI menjual 18,6 persen saham kepada Pemerintah Kutai Timur, melalui PT Kutai Timur Enery (KTE). Yang menarik, setelah menyatakan tidak bisa membayar maka pada 23 Februari 2005, KTE mengalihkan hak membeli saham 13,6 persen kepada BUMI -- yang juga dimiliki Bakrie Group.
Di tahun yang sama, BUMI juga lalu menawarkan 32,4 persen saham KPC kepada pemerintah pusat dan ke sejumlah perusahaan Indonesia. Diberitakan berbagai media, yang menyatakan minat hanya tiga perusahaan, yakni PT Mitratama Perkasa, PT Henan Putihrai, dan PT Sitrade Nusa Globus (SNG).
Dari hasil tender, SNG dinyatakan sebagai pemenang dengan penawaran harga $399,98 juta. Yang lagi-lagi menarik, untuk membeli saham KPC tersebut SNG mendirikan PT Sitrade Coal pada 22 Agustus 2005, dan akhirnya dibeli BUMI senilai Rp7 miliar.
Pada laporan tahunan 2005 disebutkan bahwa struktur kepemilikan KPC adalah sebagai berikut: Masing-masing 24,5 persen saham dimiliki oleh SHL dan KCL yang keduanya merupakan anak usaha BUMI; 13,6 persen dimiliki oleh BUMI secara langsung; 32,4 persen dimiliki oleh PT Sitrade Coal dan sisanya oleh KTE--keduanya juga merupakan unit usaha BUMI. Artinya, Bakrie Group secara penuh telah menguasai KPC.
***
Tak cuma BUMI, pada periode 2003-2004 ini juga tercatat berbagai langkah besar perusahaan-perusahaan Bakrie Group lainnya.
Di kurun waktu itu, ENRG, perusahaan di bidang minyak dan gas, berhasil menguasai tiga Kontrak Kerja Sama (KKS), yakni KKS Selat Malaka, KKS Brantas (Lapindo), dan KKS Kangean.
Juga di tahun 2003, BTEL memasuki bisnis telekomunikasi berbasis jaringan CDMA dengan brand Esia.
Pada 2004 Grup Bakrie memasukkan PT Bakrie Swasakti Utama (BSU) ke dalam ELTY, yang menjadi langkah awal ekspansi mereka di sektor bisnis properti. BSU lahir pada tahun 1984, jauh sebelum ELTY yang baru berdiri di tahun 1990. BSU mengawali bisnis properti keluarga Bakrie dengan membangun Wisma Bakrie, gedung Graha Kapital dan Apartemen Taman Rasuna di Jakarta.
Untuk membiayai pengembangan bisnisnya, aksi-aksi korporasi perusahaan-perusahaan Grup Bakrie juga banyak digelar di periode 2004-2005. ENRG melangsungkan penjualan saham perdana (Initial Public Offering, IPO) pada Juni 2004. Lalu, di tahun 2004 itu juga, UNSP melakukan penambahan saham baru melalui rights issue. Langkah serupa diambil ELTY pada November 2005.
Jika 2003-2005 adalah periode di mana posisi politik dan bisnis Bakrie mengalami pasang naik, akankah 2014-2015 ini akan menjadi pasang surut kelompok usaha ini? Waktu akan menjawabnya. (kd)