Bareksa.com – Dampak kenaikan harga beras belakangan ini diperkirakan akan terlihat di angka inflasi bulan Maret, dan kontribusi komponen pangan selama ini terbilang cukup besar sumbangannya kepada inflasi.
Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (GAPMMI) Adhi Siswaja Lukman mengatakan komponen pangan diperkirakan memberi kontribusi sebesar 40 persen, dimana 25 persen berasal dari pangan segar atau mentah seperti beras dan cabai, sedangkan 15 persen sisanya dari pangan olahan seperti mi instan dan baso.
“Kalau kita lihat, gejolak harga yang terjadi saat ini ada di pangan segar. Terutama di beras dan beberapa komoditi pangan lainnya. Ini karena daya tahan pangan segar itu hanya seminggu. Jadi, kalau terjadi gejolak (harga), maka produsen-produsen, petani, dan pedagang langsung menaikan harga," ungkap Adhi melalui sambungan telepon kepada Bareksa 2 Maret 2015.
Hal ini berbeda dengan pangan olahan, dimana produsen umumnya memiliki stok bahan baku minimal 1 bulan, sementara distributor dan toko retail juga memiliki stok yang cukup, sehingga dapat memenuhi kebutuhan untuk beberapa waktu.
Sementara itu Badan Pusat Statistik (BPS) hari ini mengumumkan angka inflasi Februari yang sebesar 6,29 persen year-on-year, dibanding 6,96 persen year-on-year, sementara secara month-on-month terjadi deflasi 0,36 persen.
Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Sasmito Hadi Wibowo mengatakan deflasi disebabkan oleh penurunan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), yang diumumkan oleh pemerintah pada 19 Januari 2015, dimana harga BBM premium turun menjadi Rp6.600 per liter, dari sebelumnya Rp7.600 per liter. Pemerintah kembali mengumumkan kenaikan harga BBM Premium sekitar 3 persen yang berlaku 1 Maret, dalam rangka menyesuaikan kenaikan harga minyak mentah dunia yang merangkak naik kembali.
Selama beberapa minggu terakhir, kenaikan harga beras terjadi bersamaan dengan kenaikan harga gas elpiji, yang ikut menyebabkan biaya-biaya pada industri makanan seperti catering, rumah makan, dan restoran siap saji menjadi tinggi. Dampaknya, pelaku pasar membebankan harga jual yang lebih tinggi kepada konsumen.
Berdasarkan pantauan Bareksa, gas elpiji 3 kg harganya telah naik menjadi Rp20.000 per tabung dari sebelumnya Rp18.000. Selain itu, pemerintah juga kembali menaikan harga gas elpiji 12 kg dan BBM jenis Premium per 1 maret.
Tetapi tekanan inflasi ini akan diimbangi dengan dimulainya panen raya beras di banyak wilayah di Pulau Jawa yang pada umumnya mulai akan berlangsung di akhir Maret.
Terkait kebijakan kenaikan harga elpiji dan BBM ini, Adhi menilai pemerintah seharusnya mempunyai kebijakan yang jelas dan transparan, terutama permasalahan pengumuman kenaikan harga yang mendadak.
“Kalau sekarang ini, kelihatannya pemerintah masih perlu melakukan koordinasi terlebih dahulu. Contohnya kalau pemerintah sejak awal menetapkan harga BBM akan menguikuti harga internasional. Jadi tidak perlu ada pengumuman lagi tentang naik-turun (harga), tinggal di pom bensin dicantumkan saja harganya yang setiap hari berubah. Maka kita (pelaku usaha) akan tahu kemana arah dari pemerintah ini,“ ujar Adhi.
Menurutnya, kebijakan yang selama ini dilakukan pemerintah terkait pengumuman kenaikan harga BBM telah memberikan dampak psikologis bagi masyarakat yang pada gilirannya mendorong kenaikan pada harga-harga barang lainnya yang lebih besar.
“Pengumuman kenaikan/penurunan sendiri menyebabkan pasar terdistorsi. Jadi masyarakat kecil panik. Terkadang kenaikan BBM Rp200 per liter, tetapi dampak kenaikannnya terdistorsi lebih dari itu.” (qs)