Bareksa.com - Industri air kemasan menilai langkah Mahkamah Konstitutusi membatalkan Undang-Undang No.7/2004 tentang Sumber Daya Air akan menimbulkan ketidakpastian. Pasalnya, beleid yang baru saja dibatalkan itu sudah mencakup poin yang lebih rinci mengenai pengelolaan air di Indonesia.
Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan Indonesia (Aspadin) Hendro Baroeno menjelaskan dengan adanya pencabutan UU No.7/2014, masalah pengelolaan air akan kembali ke peraturan lama yaitu UU 11/1974 tentang Pengairan. Padahal, peraturan lama tersebut dianggap sudah tidak sesuai dengan keadaan saat ini.
"Industri butuh kepastian hukum. Kami harap pemerintah segera mengambil sikap dengan membuat UU baru. UU tahun 1974 itu belum mencakup era ekonomi," ujarnya ketika dihubungi Bareksa pada Senin 23 Februari 2015.
Padahal, tambahnya, UU yang dibatalkan oleh MK pada pekan lalu tersebut sudah lebih rinci menjelaskan tentang hak dan kewajiban industri yang menggunakan air. Bahkan, UU no.7/2004 sudah mengatur tentang konservasi air, hal yang belum tercantum dalam peraturan sebelumnya.
Selain itu, menurutnya, UU no. 7/2004 lebih memberikan manfaat kepada masyarakat karena mengatur bahwa pemilik Hak Guna Usaha Air harus memberikan sedikitnya 10 persen debit airnya kepada masyarakat sekitar. Di sisi lain, UU tahun 1974 menyebutkan debit air untuk masyarakat sebanyak-banyaknya (maksimal) 10 persen.
"Selama ini kita tidak pernah privatisasi air. Di UU itu ada tanggung jawab, pemegang surat izin sedikitnya harus memberikan 10 persen kepada masyarakat."
Dia pun mengatakan bahwa dampak pencabutan UU tersebut tidak hanya dirasakan oleh industri air minum dalam kemasan (AMDK) melainkan industri lain yang juga menggunakan air dalam proses produksinya seperti karet, tekstil, bahkan perhotelan.
Hendro pun mengkhawatirkan akan terjadi kemandekan dalam industri nasional karena peran air sangat penting tidak saja sebagai produk utama seperti air dalam kemasan, tetapi juga sebagai pendukung atau yang biasa disebut dengan air maya.
"Kami khawatirkan soal perpanjangan izin pengusahaan air atau proses investor baru yang memerlukan ijin itu tersendat karena kepala daerah tidak bisa mengambil keputusan. Mereka bingung karena tidak ada UU."
Menurut data Aspadin, kebutuhan air dalam kemasan secara nasional terus meningkat setiap tahunnya. Hal ini seiring dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Asosiasi yang beranggotakan 193 perusahaan ini mengatakan tahun lalu kebutuhan air minum kemasan Indonesia mencapai 23,9 miliar liter. Sedangkan tahun ini ditargetkan konsumsi meningkat 11 persen menjadi 26,5 miliar liter.
Grafik Kebutuhan Air Minum Dalam Kemasan di Indonesia
*proyeksi; sumber: Aspadin
Tingginya permintaan air kemasan juga tercermin dari pertumbuhan penjualan perusahaan air minum kemasan. Ada dua perusahaan air minum kemasan yang mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia, yakni PT Akasha Wira International Tbk (ADES) dan PT Tri Banyan Tirta Tbk (ALTO). Dari kedua perusahaan tersebut rata-rata penjualan per tahun tumbuh hingga 41 persen berdasar pada data Bareksa.
Grafik Penjualan ADES dan ALTO Periode 2010 - 2013 dan Sept 2014
Sumber: Bareksa.com
Seperti diberitakan, Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan seluruh isi UU No.7/2004 tentang Sumber Daya Air. MK menilai bahwa UU SDA tidak memenuhi enam prinsip dasar pembatasan pengelolaan sumber daya air sebagaimana diatur dalam UUD 1945. Perkara ini diajukan oleh PP Muhammadiyah, Perkumpulan Vanaprastha, dan beberapa pemohon perseorangan.
Peraturan pendukung UU No.7/2004 adalah terbitnya PP No.16/2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (PP SPAM), yang dinilai menegaskan kuatnya peran swasta dalam pengelolaan air. Hak Guna Pakai Air menurut UU SDA hanya dinikmati oleh pengelola yang mengambil dari sumber air, bukan para konsumen yang menikmati air siap pakai yang sudah didistribusikan. (np)