Bareksa.com - Penjualan mobil dalam negeri yang terus bertumbuh rata-rata 9,5 persen per tahun dalam 10 tahun terakhir, menggiurkan banyak pihak untuk ikut mencicipi keuntungan. Berdasarkan data Bareksa, penjualan mobil meningkat 2,26 kali lipat menjadi 1,2 juta unit di tahun 2014 dari sebelumnya yang hanya 533 ribu unit di tahun 2005.
Penjualan mobil terus melaju seiring meningkatnya daya beli masyarakat yang tercermin dari pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Sepanjang periode itu, pertumbuhan rata-rata PDB Indonesia berkisar 4,8-6 persen per tahun.
Grafik: Penjualan Mobil Tahunan 2005-2014
Sumber: Bareksa
Selain itu, sebagaimana dapat dilihat pada grafik di bawah, ketergantungan Indonesia pada mobil impor memang tinggi. Berdasarkan data Bank Indonesia, nilai impor barang kendaraan roda empat dan lebih mencapai puncaknya pada tahun 2012 sebesar $7,58 miliar.
Angka itu mulai menurun di tahun 2013, sejak Bank Indonesia mengetatkan kebijakan moneter dan mendorong mobil low cost green car (LCGC). Dalam konsep LCGC, produsen mobil harus memenuhi kewajiban memenuhi kandungan lokal 80 persen agar bisa memperoleh potongan pajak penjualan atas barang mewah (PpnBM).
Grafik: Nilai Impor Kendaraan Roda 4 dan Lebih (US$ Juta)
Sumber: BI, diolah Bareksa.com
Maka itu, tidaklah mengherankan jika mantan Kepala Badan Intelijen Negara Jenderal TNI (purn) AM Hendropriyono berniat masuk ke industri ini. Seperti telah luas diberitakan, perusahaan milik Hendro, PT Adiperkasa Citra Lestari, menggandeng produsen mobil asal Malaysia Proton Holdings Berhad untuk mengembangkan apa yang disebut-sebut sebagai cikal bakal "mobil nasional" di Indonesia.
Kedua perusahaan tersebut akan melakukan uji kelayakan selama enam bulan. Jika hasilnya buruk, proyek tersebut bisa dibatalkan karena kesepakatan yang dibuat tidak bersifat mengikat.
Yang hebat, penandatanganan memorandum kesepahaman antara BUMN Malaysia itu dengan PT Adiperkasa -- yang notabene baru berdiri pada tahun 2012 -- langsung disaksikan oleh Presiden Jokowi, di sela-sela kunjungan kenegaraannya ke Negeri Jiran, pada 6 Januari kemarin di Proton Centre of Excellence di Subang Jaya. Tak cuma Jokowi, ikut menyaksikan seremoni yang diberi tajuk "Penandatanganan MoU Pengembangan & Manufaktur Mobil Nasional Indonesia" itu adalah Perdana Menteri Malaysia Tun Abdul Razak, mantan PM Malaysia dan Chairman Proton Mahathir Mohamad, Duta Besar Malaysia untuk RI Seri Zahrain Mohamed Hashim, dan Duta Besar RI untuk Malaysia Herman Prayitno. Dari pihak Proton, yang meneken MoU adalah CEO Abdul Harith Abdullah.
Yang menarik, setelah ramai dikritik di Tanah Air, Hendropriyono lantas meluruskan istilah "mobil nasional" itu. Sebagaimana dikutip sejumlah media, Hendro menerangkan bahwa pabrik mobil nasional yang dicita-citakannya itu bukanlah program mobil negara. "Ini mobil nasional (nation = bangsa)," dia menerangkan melalui SMS kepada sejumlah media. "Kalau pabrik yang akan kami bangun dia sebut mobil nasional (milik negara, red) itu salah kaprah istilah. Sebaiknya ybs belajar dulu istilah-istilah akademik dengan benar,"
Sebagaimana dikutip Kompas, Presiden Jokowi sendiri sudah mengklarifikasi di tengah lawatannya ke Filipina, 9 Februari. "Itu kan business to business. Itu pun saya kira masih dalam sebuah MoU yang sangat awal sekali. Uji kelayakannya juga belum. Kemarin itu, saya datang (ke acara penandatanganan) karena diundang Dr. Mahathir Mohamad dan Pak Perdana Menteri Najib Razak."
Presiden menambahkan pemerintah Indonesia belum bisa memastikan apakah Proton akan menjadi mobil nasional. "Belum sampai ke sana lah," katanya.Mobil nasional ini juga diharapkan dapat mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap impor mobil.
Mobil Nasional
Konsep mobil nasional (mobnas) bukan kali ini saja bergulir. Sebelumnya, Jokowi sempat berniat mendorong Esemka sebagai mobil nasional. Mobil yang dirakit para siswa Sekolah Menengah Kejuruan ini berada di bawah naungan PT Solo Manufaktur Kreasi dan sempat dijadikan mobil dinas Jokowi ketika menjabat Walikota Solo. Belakangan, Esemka meredup.
Bahkan, pada masa pemerintahan Presiden Soeharto di antara 1997-1998 Indonesia sudah berhasil memproduksi dan menjual mobil nasional dengan merek Timor (Teknologi Industri Mobil Rakyat). Namun, kandungan lokalnya baru 20 persen, dan 80 persen sisanya masih menggunakan komponen impor. Saat itu, mengusung produk sedan berkapasitas 1.500 cc, PT Timor Distributor Nasional (TDN) milik Tommy Soeharto menggandeng KIA Motor, produsen mobil asal Korea Selatan. Hendropriyono pernah menjabat sebagai Presiden Komisaris KIA Mobil Indonesia pada 1999-2001.
Ketika itu, Timor dijual dengan harga miring, dibanderol cuma Rp30-40 juta per unit. Ini jauh lebih murah dari produk sejenis -- yang umumnya mematok harga Rp60 juta per unit -- karena mendapat fasilitas pembebasan pajak serta bea masuk komponen impor dari pemerintah.
Kebijakan pemerintahan Soeharto yang menganakemaskan Timor keras diprotes dan lalu digugat Agen-agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM) ke World Trade Organization (WTO). Buntutnya, sejumlah bank dari Jepang dari Eropa menunda penguncuran pinjaman ke Timor. Mereka khawatir jika pemerintah Indonesia kalah di WTO, Timor akan dihentikan. Di WTO pemerintah Indonesia kalah dan Timor akhirnya ditutup termasuk karena dihantam krisis ekonomi 1998.
Juga perlu dicatat, menyaingi Timor, mobil nasional yang lain dengan merek Cakra juga diproduksi oleh PT Bimantara Cakra Nusa milik kakak Tommy, Bambang Trihatmodjo. Cakra menggandeng Hyundai, produsen mobil yang sama-sama berasal dari Negeri Ginseng. Akan tetapi, nasib Cakra juga tak lebih baik dari Timor: tamat juga. (kd)