BeritaArrow iconBerita Ekonomi TerkiniArrow iconArtikel

WAWANCARA Menteri ESDM: Dulu Mandek Karena Pimpinan Puncak Butuh Ongkos Politik

Bareksa15 Januari 2015
Tags:
WAWANCARA Menteri ESDM: Dulu Mandek Karena Pimpinan Puncak Butuh Ongkos Politik
Menteri ESDM Sudirman Said berbicara dalam wawancara eksklusif dengan Bareksa.com.

Menteri Sudirman Said bicara soal kebijakan terbaru BBM, tarif listrik, dan sejauh mana komitmen Presiden Jokowi.

Bareksa.com - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said terus merilis berbagai gebrakan di sektor energi. Yang terbaru adalah merilis kebijakan baru BBM.

Dinyatakan, mulai tanggal 1 Januari harga bensin Premium dan solar akan bergerak sesuai harga keekonomian di pasar. Tapi, di sisi lain dinyatakan bahwa keputusan penentuan harga tetap ada di tangan pemerintah. Sementara sejumlah kalangan menuduh kebijakan ini hanya retorika agar tak bertabrakan dengan keputusan MK yang menggariskan bahwa penetapan harga BBM harus dilakukan pemerintah.

Bagaimana penjelasan Menteri Sudirman mengenai hal ini? Jika harga minyak dunia kembali naik di atas US$100 per barel, akankah subsidi diterapkan kembali?

Promo Terbaru di Bareksa

Soal menarik lain adalah kaitan antara minyak dan politik. Di banyak negara, termasuk Indonesia, minyak merupakan pelumas politik. Bagaimana dengan Presiden Jokowi? Bukankah ia pun harus bergantung pada "uang minyak" sebagai salah satu sumber utama dana politiknya?

Menteri Sudirman Said mengaku telah menanyakan hal ini langsung ke Presiden. Apa jawabannya? Silakan tonton video wawancara eksklusif Bareksa pada 6 Januari lalu ini.

Mengenai kebijakan baru BBM, dinyatakan bahwa penentuan harga bergantung pada mekanisme pasar tapi putusan ada di tangan pemerintah. Ini sekadar mengakali keputusan MK?

Tidak. Itu betul-betul penafsiran substansif. MK menyatakan harga BBM ditetapkan atau diputuskan pemerintah. Misal, ekstremnya seluruh harga BBM dilepas ke harga keekonomian. Asal itu ditetapkan pemerintah, itu tidak menyalahi undang-undang. Jadi, ini bukan retorik.

Ketika kita bicara harga Premium, Solar, atau bahkan Pertamax sebenarnya campur tangan pemerintah adalah menetapkan formula harga dasar dan mendefinisikan apa harga dasar itu.

Illustration

Jika katakanlah harga minyak dunia kembali melambung di atas $100 per barel, ada peluang pemerintah memberi subsidi kembali?

Itulah peran negara untuk melindungi rakyat banyak. Kenapa kami memunculkan policy review tiap sebulan sekali, itu untuk memberi ruang kalau sewaktu-waktu pemerintah harus kembali mengintervensi atau support rakyat. Jadi, ruang untuk itu ada. Jadi benar, terbuka kemungkinan itu.

Hanya saja, menurut studi Kementerian Keuangan dan ESDM, kelihatannya pada tahun ini harga minyak tidak mungkin naik ekstrem. Tapi kalau terjadi kenaikan, toh masih ada ruang untuk meninjau kembali.

Di kebijakan baru ini, Premium ditempatkan di dua kategori: BBM penugasan dan BBM umum. Ada perbedaan formula penghitungan harga di mana di wilayah penugasan ada komponen distribusi 2 persen tetapi harga jual eceran ditetapkan sama. Jadi, siapa yang menyerap biaya distribusi ini?

Dua persen itu diserap Pertamina atau Badan Usaha lain yang mendapat tugas itu, entah perusahaan swasta atau asing. Tapi, pelaku utamanya adalah Pertamina karena sebagian besar jaringan distribusi masih dalam pengelolaan Pertamina.

Ini sempat didiskusikan dengan Menkeu dan Menko Perekonomian. Uangnya dari mana? Tentu disediakan oleh APBN. Ini esensi sebenarnya adalah subsidi. Kembali membuktikan bahwa kebijakan ini bukan retorik. Kami pemerintah tetap mengelola harga.

Soal tarif listrik. Ada pencabutan subsidi untuk pelanggan rumah tangga dengan batas daya mulai dari 1.300 VA sehingga tarifnya sama dengan tarif industri dengan daya di atas 6.600 VA. Di sisi lain, industri skala besar dengan daya di atas 20.000 VA justru menikmati tarif lebih murah. Mengapa seperti itu?

Saya menafsirkan ini masa transisi atau normalisasi.

Normalisasi, artinya dalam bayangan saya ke depan masyarakat golongan bawah mendapat rate sangat rendah, makin ke atas makin tinggi. Tapi ada saatnya industri harus menikmati support dari pemerintah. Kita akan tinjau setiap tiga bulan. Saya mengakui, masih diperlukan fine tuning, penyelarasan bagaimana kita menerapkan tarif dasar listrik.

Menurut saya, masyarakat mesti diajari bahwa energi itu ada harganya. Jangan seperti selama ini, menaikkan harga energi itu selalu menjadi drama besar. Menaikkan harga energi itu seolah-olah sakral dan tidak boleh disentuh. Padahal, energi sama seperti tahu dan pisang, yang harganya bisa naik-turun sesuai supply-demand.

Lalu di mana peran negara? Peran negara adalah kalau ada kenaikan harga ekstrem, kita punya ruang untuk masuk mengintervensi.

Subsidi BBM sudah dicabut, listrik juga. Apakah subsidi energi lain juga akan dicabut?

Dalam roadmap-nya kan ada tiga tahap: subsidi, netral, dan suatu ketika dikenakan tax, seperti di negara-negara maju. Untuk apa pajak itu? Bujet kita dibiayai penerimaan pajak. Pajak itu harusnya digunakan untuk membiayai keperluan masyarakat dan memudahkan kegiatan ekonomi masyarakat.

Ini wilayah kebijakan yang sulit, tapi dibutuhkan di masa depan. Pemerintah sebelumnya selalu ingin populis, selalu menghindar dari hal ini. Akibatnya, kita seperti disandera. Akhirnya subsidi energi ratusan triliun rupiah terbuang. Padahal, itu bisa untuk menambah ruang fiskal, yang dampaknya besar untuk mendorong ekonomi.

Soal Production Sharing Contract (PSC). Saat ini harga minyak turun, bagaimana Anda membuat kebijakan yang bisa menarik investor asing ke sektor migas nasional?

Saya melihat investor di bidang migas yang mau serius adalah pemain global. Ini karena butuh size, teknologi dan kapital besar.

PR kita bukan harga. Itu urusan pasar. PR kita adalah kepastian hukum, ketahanan politik, masalah sosial, dan pembebasan tanah.

Menurut Pak Amien Sunaryadi (Kepala SKK Migas) yang sangat system-oriented, ada tiga kebijakan utama di tahun 2015. Pertama, mendorong eksplorasi secara agresif. Kedua, melakukan interaksi SKK Migas dan KKKS (Kontraktor Kontrak Kerja Sama, pelaku penambangan migas) dengan basis elektronik. Terdengar teknikal, tapi ini sebetulnya perombakan budaya organisasi yang luar biasa. Yang ketiga, SKK Migas akan merevaluasi aset wilayah kerja yang akan segera habis kontraknya. Revaluasi tidak hanya mengukur aset menurut ukuran kami, tapi juga bagaimana di mata investor.

Jadi, ke depan kedua pihak, baik negara maupun KKKS, punya posisi baru.

Kami sedang mempertimbangkan apakah rezim PSC ini perlu ditinjau kembali, apakah perlu insentif pajak, dan lainnya. Ini menjadi perhatian kami agar investasi migas di Indonesia jadi cukup menarik.

Pemerintah mengakui ini persoalan besar sudah terlalu lama tidak serius kita pikirkan. Banyak keputusan harus diambil tapi ditunda, diperpanjang, sampai akhirnya kepepet. Ini akan kami selesaikan.

Anda kok seperti gampang-gampang saja menetapkan berbagai kebijakan BBM dan reformasi di sektor energi. Padahal, dulu begitu ruwet dan berbelit. Rasanya kok too good to be true

Kalau tidak ada hidden agenda kan sebetulnya mudah saja. Saya meyakini tidak ada orang bisa berbuat jahat terus dalam jangka panjang. Kalaupun ada, survival rate-nya rendah. Siapa menyangka Ratu Atut dengan dinasti sekuat itu selesai. Akil Mochtar selesai. Hadi Purnomo yang katanya sakti, juga selesai. Saya optimistis negeri ini bisa menjadi makin baik.

Di banyak negara, minyak selalu jadi pelumas politik. Begitu pula di Indonesia selama ini. Bagaimana Presiden Jokowi dalam hal ini?

Saya kan tidak punya beban. Terus terang, hal ini sudah saya tanyakan langsung ke presiden. Saya tanya, dahulu kebijakan BBM dan energi itu seperti muter-muter dan akhirnya berhenti karena pimpinan puncak punya kebutuhan ongkos politik yang besar sekali; lantas sekarang Pak Presiden bagaimana?

Beliau (Presiden Jokowi) menjawab, “Saya ini ongkos politik apa? Saya tidak punya posisi di partai. Untuk kampanye saja, saya pakai dana sumbangan.” (Editor: Karaniya Dharmasaputra)

Pilihan Investasi di Bareksa

Klik produk untuk lihat lebih detail.

Produk EksklusifHarga/Unit1 Bulan6 BulanYTD1 Tahun3 Tahun5 Tahun

Trimegah Dana Tetap Syariah Kelas A

1.384,88

Up0,21%
Up4,05%
Up7,72%
Up8,08%
Up19,46%
Up38,34%

Trimegah Dana Obligasi Nusantara

1.095,38

Up0,14%
Up4,09%
Up7,18%
Up7,47%
Up3,23%
-

STAR Stable Amanah Sukuk

autodebet

1.084,98

Up0,55%
Up4,00%
Up7,61%
Up7,79%
--

Capital Fixed Income Fund

autodebet

1.853,59

Up0,53%
Up3,86%
Up7,19%
Up7,36%
Up17,82%
Up41,07%

Insight Renewable Energy Fund

2.287,69

Up0,82%
Up4,11%
Up7,35%
Up7,53%
Up19,98%
Up35,83%

Video Pilihan

Lihat Semua

Artikel Lainnya

Lihat Semua