Proses Penjualan Obligasi Rp2,5 T Indosat Lanjut Ditengah Ancaman Eksekusi Jaksa

Bareksa • 21 Nov 2014

an image
(Dari kiri ke kanan) Commercial Officer Indosat, Presdir dan CEO Indosat dan Pendiri Komunitas Isat BB memberi penjelasan pada acara Indosat Temu Komunitas dengan 3 komunitas pelanggannya yaitu Indosat Blackberry, Indosat Android dan Id-Iphone di Jakarta (ANTARA FOTO/Rudi)

Dalam waktu dekat kita ingin perbandingan antara utang rupiah dan dolar Indosat menjadi 50-50: Presdir Alexander Rusli.

Bareksa.com - Penyedia jasa telepon selular terbesar kedua PT Indosat Tbk tetap melanjutkan proses penjualan obligasi sebesar Rp2,5 triliun untuk melunasi lebih awal utang dolarnya, dalam rangka meningkatkan exposure utang rupiah terhadap utang dalam mata uang asing.

Penawaran obligasi Indosat ini dilakukan ditengah rencana Kejaksaan Agung yang akan melakukan eksekusi atas tagihan pergantian kerugian negara Rp1,36 triliun, terkait kontroversi perintah pengadilan atas tuduhan korupsi yang dinilai oleh banyak pihak -- termasuk pemerintah -- sebagai sesuatu yang tidak berdasar dan salah.

"Kita ingin pindah sebanyak-banyakya ke rupiah. Dalam waktu dekat kita ingin perbandingan antara utang rupiah dan dolar kita sebesar 50-50, dari yang sekarang 70-30 untuk mata uang dolar," Presiden Direktur Indosat Alexander Rusli mangatakan kepada Bareksa.com.

Indosat menawarkan yield antara sembilan sampai 10 persen kepada calon investor obligasi rupiahnya. Bagi Indosat, tingkat bunga ini cukup bagus untuk utang rupiah, dibanding utang dolar perusahaan sebesar $650 juta yang berada pada tingkat bunga antara 7,6 sampai 7,7 persen.

"Saat kita issue utang $650 juta tahun 2010, keadaan ekonomi sedang tidak baik. Makanya yield-nya agak tinggi. Kita akan perpay (lunasi lebih awal) secara bertahap," tambah Alexander. Penjualan obligasi Rp2,5 triliun untuk pelunasan lebih awal sebagian dari utang $650 juta ini diharapkan selesai pada awal Desember.

"Indosat lebih akan diminati investor jika dapat memiliki exposure utang dolar lebih rendah. Karena akan lebih stabil. Soal kasus hukum, kita sudah melakukan pencadangan Rp1,36 triliun sebagai bentuk langkah prudent kita," tambah Alexander.

Kasus-kasus hukum yang sangat sulit diterima akal sehat sepertinya selalu saja terjadi di Indonesia dari tahun ke tahun. 

Korban kali ini adalah Indosat dan anak usaha penyelenggara layanan internet Indosat Mega Media (IM2) yang dihadapi oleh keputusan denda yang kontroversial oleh pengadilan sebesar Rp1,36 triliun.

Indosat dan IM2 melakukan perjanjian kerjasama usaha layaknya banyak, bila tidak semua, perusahaan penyelenggara layanan internet lainnya.

Seperti kerjasama yang umumnya dilakukan, IM2 menggunakan frekuensi milik Indosat untuk menyediakan layanan internet secara mobile. IM2 membayar sewa kepada Indosat, sementara Indosat membayar Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi sebagai pemegang hak ke pemerintah.

Kerjasama seperti ini dianggap kejaksaan merugikan negara karena IM2 tidak membayar ke pemerintah, kemudian dua perusahaan ini didakwa bersalah oleh kejaksaan, kemudian pengadilan mengeluarkan keputusan denda yang sangat besar kepada IM2, sementara Direktur Utama IM2 saat perjanjian dibuat, Indar Atmanto, dijebloskan ke dalam penjara. 

"Yang dilakukan rekan kami Indar Atmanto adalah mengikuti semua aturan. Kejadian ini telah mengecewakan sekaligus mengkhawatirkan industri telekomunikasi secara keseluruhan,"  ujar Alexander.

Beberapa pengamat menilai kasus Indosat-IM2 bila dibiarkan akan menjadi sangat berbahaya bagi perekonomian Indonesia karena hal ini akan menyebabkan dunia usaha takut untuk mengambil keputusan maupun mengadakan perjanjian.

Jika diurut mundur ke belakang, masalah Indosat-IM2 terkait dengan kejadian dimana seorang bernama Deni A.K. memeras Indosat. Kemudian setelah dilakukan pelaporan ke polisi, berhasil dijebak dan ditangkap tangan. Deni masuk penjara dan sekarang sudah keluar. Tetapi kasus ini terus berlanjut.

Menariknya lagi kasus ini juga serupa dengan kasus-kasus lainnya -- termasuk kasus Chevron, PLN dan mantan Direktur Utama Merpati Hatosi Nababan -- yang diduga banyak pihak mengandung unsur 'legal harassment' oleh penegak hukum. Kasus-kasus ini, secara kebetulan atau mungkin juga tidak, ditangani oleh tim jaksa pidana khusus yang sama.

"Kejaksaan Agung sering berfikir seperti layaknya sebuah korporasi. Gimana caranya mendapatkan dana denda setoran ke negara sebanyak-banyaknya, bukan gimana caranya melakukan penegakkan hukum secara adil dan menciptakan ketenangan," ujar Arief Budisusilo pemimpin redaksi koran Bisnis Indonesia.

Akun Twitter: s_a_wahyu

Tambahan laporan oleh: Ni Putu Kurniasari