IQPlus - Dengan berbagai kondisi perekonomian global dan juga tantangan domestik membuat sejumlah pengamat cukup berhati-hati dalam memprediksi potensi pertumbuhan ekonomi nasional di sepanjang tahun ini. Dengan berbagai persoalan yang tengah dihadapi bangsa, pengamat pesimis pertumbuhan ekonomi bisa menembus angka 6%.
"Kalau melihat ke luar negeri, ada revolusi shale gas di AS yang membuat harga minyak bumi akan sulit diharapkan naik dalam 12-18 bulan ke depan. Dengan begitu ekspor komoditas tertekan. Sulit berharap adanya pertumbuhan ekonomi dengan ditopang oleh pertumbuhan ekspor yang sejatinya masih didominasi oleh ekspor komoditas," kata Managing Director & Senior Economist Standard Chartered Bank Indonesia, Fauzi Ichsan, di Jakarta, Senin.
Ia mengungkapkan kalau tidak hanya tekanan dari kondisi global, tapi juga kondisi defisit neraca transaksi berjalan ke depannya juga masih akan menimbulkan masalah karena posisinya yang masih cukup lebar.
Solusinya, lanjut dia, adalah dengan meredam aktifitas impor yang selama ini masih jauh lebih tinggi ketimbang catatan ekspor nasional. Salah satu upayanya adalah dengan cara menaikkan suku bunga.
"Kami tidak melihat kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang bisa mengurangi impor. Dengan situasi seperti ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan sulit mencapai enam persen. Yang bagus adalah kita ada stimulus pemilu. Jadi sedikit membantu," papar Fauzi.
Penyelenggaraan Pemilu pada tahun ini, memang diyakini Fauzi bakal mampu menyumbang 0,2-0,3% terhadap total pertumbuhan ekonomi Indonesia. Namun karena defisit transaksi berjalan semakin melebar, pemerintah justru dianggap berkepentingan dalam menurunkan pertumbuhan ekonomi nasional.
"Nah, agar defisit transaksi berjalan dapat terkendali, impor harus diturunkan, caranya dengan menurunkan porsi pertumbuhan ekonomi. Proyeksi kami pertumbuhan ekonomi tahun 2014 akan di kisaran 5,8% dan baru tahun 2015 bisa mencapai 6%," tutup dia.