Impak larangan ekspor bahan mineral mentah pada INCO dan ANT

Bareksa • 12 Dec 2013

an image
Natural gas purification (Reuters/Stringer)

Larangan ekspor bahan mineral mentah akan memperlebar defisit neraca berjalan dan memiliki impak positif pada INCO

Bareksa.com – Terkait dengan adanya penerapan larangan ekspor bahan mineral mentah, seperti biji nikel mulai 12 Januari 2014 mendatang mengundang berbagai pendapat. Dalam larangan tersebut disebutkan, produsen bahan mineral tidak boleh menjual biji mentah, melainkan harus produk setengah jadi yang telah diolah melalui smelter (mesin pengolah) seperti ferronickel. PT CIMB Securities Indonesia, dalam laporannya, mengkhawatirkan dampak negatif yang mungkin terjadi terhadap defisit transaksi berjalan karena berpotensi terhadap pelebaran defisit. Hal itu terjadi karena banyak produsen biji nikel yang tidak memiliki smelter dan hanya bisa mengekspor biji nikel. Sehingga, dengan larangan ini, maka produsen tersebut tidak bisa melakukan ekspor.

Sejalan dengan pendapat tersebut, PT CLSA Indonesia juga mengatakan bahwa kebijakan itu kurang tepat karena akan meningkatkan nilai defisit pada neraca berjalan, karena ekspor bahan mentah mineral berkontribusi 2-3 persen terhadap total ekspor. Selain itu, hal tersebut juga akan berakibat pada penurunan Foreign Direct Investment (FDI) karena banyak perusahaan tambang yang mayoritas investornya berasal dari luar negeri akan tutup produksi.

PT Deutsche Verdhana Indonesia, dalam laporannya memberikan tiga skenario terkait  implementasi peraturan tersebut. Skenario pertama, jika pelarangan ekspor bahan mineral mentah dilaksanakan, diproyeksikan terjadi penurunan ekspor bahan baku mineral mencapai USD0,5 miliar per bulan. Skenario kedua, jika larangan ekspor tersebut dikaji kembali, produsen bahan tambang mineral masih dapat melanjutkan ekspor biji nikel sambil menyelesaikan perluasan fasilitas produksi ferronickel. Skenario terakhir, menunda kebijakan larangan ekspor. Pemerintah sendiri menyatakan tidak akan menunda larangan tersebut, tanpa mengabaikan usaha untuk memperbaiki defisit transaksi berjalan.

PT Vale Indonesia Tbk (INCO) menjadi salah satu emiten yang diuntungkan aturan tersebut karena merupakan salah satu produsen yang pendapatannya 100 persen merupakan ferronickel, bukan biji nikel, karena INCO mempunyai smelter untuk pengolahannya. Dampak dari adanya larangan ini tentu akan mengurangi supply, sehingga akan meningkatkan harga nikel. Jika harga nikel meningkat sebesar satu persen, maka setara dengan 6 persen kenaikan pendapatan INCO.

Sementara, PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) justru terkena dampak negatif peraturan tersebut karena 33 persen dari total pendapatannya berasal dari ekspor biji nikel, karena kapasitas smelter yang kurang, menyebabkan ANTM tidak bisa 100 persen melakukan ekspor ferronickel.

Thamrin Sihite, Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, dikutip dari Bisnis.com, mengatakan, penerapan larangan ekspor bahan baku mineral akan memicu kenaikkan harga produk mineral olahan di pasar internasional. Dengan begitu, ekspor produk mineral olahan dalam negeri akan memberikan nilai devisa yang lebih banyak dibandingkan dengan nilai ekspor biji nikel. Meskipun begitu, Sihite juga mengakui bahwa akan terjadi penurunan ekspor di awal pelarangan itu, tetapi kedepannya, pemerintah optimis jika ekspor akan kembali naik, bahkan berpotensi surplus hingga USD9,1 miliar.

Dikutip dalam Kompas.com, Menteri Keuangan, M. Chatib Basri, mengatakan, meskipun porsi ekspor produk mineral mentah mengalami penurunan, tetapi ekspor produk mineral yang telah diproses diprediksi akan mengalami peningkatan yang cukup signifikan pada tahun 2015 mendatang. Lebih lanjut, Chatib menjelaskan agar pelaku pasar jangan melupakan beberapa kebijakan yang diambil pemerintah untuk mengkompensasi larangan ekspor tersebut, seperti penggunaan biodiesel yang ia yakini akan secara optimal berjalan pada tahun 2014.

Menurut data Bareksa.com (klik disini), saat ini INCO dan ANTM masing-masing diperdagangkan dengan PER sekitar 23,2 dan 20,5 serta PBV sebesar 1,21 dan 0,81. (np)