Berita / SBN / Artikel

The Black Swan Moment : Investor Harus Fokus pada Big Picture & Follow the Flow

Bareksa • 03 Feb 2020

an image
Budi Hikmat, Investment Management at Bahana TCW Investment Management. (Humas Bahana TCW IM)

Cermati Brazil sebagai “the big picture” yang mewakili negara berkembang

Bareksa.com - You see, but you don’t observe. The distinction is clear. --Sherlock Holmes, A Scandal in Bohemia, 1982

Teori Black Swan yang dipopulerkan oleh Nassim Nicholas Taleb memang bertutur tentang kejutan akibat terjadinya peristiwa tidak diramalkan yang berdampak negatif secara signifikan. Dulu orang kaget dengan kemunculan angsa hitam karena selama ini tahunya warna angsa itu putih.

Sejumlah peristiwa yang dikategorikan the Black Swan seperti tenggelamnya kapal pesiar Titanic, kejatuhan Uni Soviet, serangan 9/11, global financial crisis 2008, Brexit hingga terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat.

Melalui bukunya, Taleb sesungguhnya tidak menekankan upaya meramalkan peristiwa yang tidak dapat diprediksi. Tetapi menyarankan agar investor fokus membangun komposisi portfolio yang kuat (robustness) untuk mengantisipasi peristiwa yang berdampak negatif sementara tetap bisa mengkapitalisir peristiwa positif.

Taleb juga mengingatkan fenomena Black Swan sesungguhnya sangat tergantung pada sisi pengamat (observer). Seekor kalkun awalnya kuatir besok hari tidak mendapat makanan. Namun setelah setiap hari selama hampir satu tahun dia diberi makan oleh peternak, hewan itu sangat yakin esok hari akan mendapat makanan. Ternyata esoknya dia disembelih, suatu peristiwa dikenang kalkun sebelum mati sebagai the Black Swan.

Sebaliknya bagi peternak, penyembelihan itu suatu kepastian yang sudah direncanakan guna mendapat keuntungan atas upaya memberi makanan hewan tersebut.

Seperti halnya Watson yang kagum terhadap kemampuan Sherlock Holmes mengungkap berbagai kasus kriminal, investor perlu belajar menjadi pengamat yang lebih baik dan cerdik untuk mengamankan cuan berinvestasi.

Tahun 2020 sudah dimulai dengan kejutan. Pada awalnya bursa saham bergairah setelah ditabur aura positif pelonggaran likuiditas di China. Namun, keputusan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menyetujui pembunuhan seorang petinggi militer Iran menebar kekuatiran tekanan geopolitik di Timur Tengah.

Kemudian pasar global tersengat oleh peristiwa wabah nCov 2019 di Kota Wuhan, China. Bursa dalam negeri menghadapi kenyataan penurunan likuiditas pasar saham yang ditengarai terkait upaya penyidikan skandal gagal bayar perusahaan asuransi. Sementara di sisi lain, kita mengamati lonjakan dana investor asing yang tertarik berinvestasi dalam SBN.

Apa panduan terbaik investor? Di tengah sentimen negatif akibat merebaknya wabah corona virus, saya menyarankan investor fokus pada “big picturedan “follow the flow”.

Selama lebih dari 20 tahun di industri keuangan, saya mencermati ada pola rotasi investasi baik dalam lingkup antar kelompok aset dan antar regional.

Rotasi itu menunjukkan dinamika investor melakukan rebalancing dengan menjual aset yang sudah overvalued (harga melebihi nilai) yang sangat berkait dengan antisipasi risiko sistemik dan bacaan arahan kebijakan otoritas setiap negara.

Tabel berikut ini menunjukkan kinerja antar aset dan regional selama tahun 2019 yang bermanfaat sebagai acuan untuk proyeksi cuan selama tahun 2020.


Sumber : Materi Budi Hikmat : The Black Swan Moment Economic Outlook & Investment Strategy 2020

Pada kelompok asset currency, terlihat THB paling moncer dengan penguatan 8,5 persen, sementara lira Turki terpuruk dengan penurunan 11 persen. Indeks dollar DXY relatif stabil 0,31 persen yang dilatari pelemahan euro 2,1 persen, sementara yen Jepang menguat 1,1 persen.

Pada aset obligasi dan saham, ada baiknya investor bertanya mengapa Brazil paling moncer? Terlihat yield untuk tenor 10 tahun turun 184 basis, sementara indeks saham IBOV melaju 31,6 persen, lebih tinggi ketimbang indeks saham negara berkembang MXAPJ 16,5 persen. Juga mengapa bursa Thailand menjadi juru kunci yang lebih rendah ketimbang IHSG 1,7 persen.

Pada aset komoditas, terlihat kinerja CPO teratas sementara batu bara terhempas. Apakah kedua faktor ini turut melandasi penguatan rupiah dan peluang cuan saham di tahun depan (2020)?

Saya sarankan investor mencermati Brazil sebagai “the big picture” yang mewakili negara berkembang. Sebab negara ini begitu memanfaatkan limpahan likuiditas setelah the Fed menggelar berbagai aksi quantitative easing. Rasio debt to GDP Brazil melonjak dari kisaran 38 persen menjadi 84 persen dengan nominal utang US$1 triliun, atau setara dengan ekonomi Indonesia. Sangat bisa jadi Brazil menggunakan leverage untuk keluar dari middle income trap.

Lalu mengapa credit rating Brazil sejak tahun 2014 terus diturunkan hingga BB- atau jauh di bawah Indonesia yang BBB?

Ingatlah negara yang berutang luar negeri menghadapi tiga jenis risiko yaitu currency risk, interest rate risk dan income risk. Tren dolar AS cenderung menguat sejak pertengahan 2014 ketika the Fed mengisyaratkan penghentian quantitative easing, sementara BoJ dan ECB terus melanjutkan.

Suku bunga global cenderung meningkat hingga memuncak pada tahun 2018. Sementara itu harga minyak mentah yang menjadi andalan ekspor Brazil anjlok selama tahun 2015 dan cenderung stabil hingga sekarang. Selama tahun 2015 dan 2016 Brazil mengalami staglasi (pertumbuhan ekonomi minus yang disertai dengan lonjakan inflasi).

Ketiga faktor tersebut, indeks dolar global DXY, suku bunga global LIBOR dan harga minyak, merupakan faktor eksternal yang harus dicermati yang berdampak kepada profil makroekonomi negara berkembang, termasuk Indonesia.

Sementara faktor internal, tidak lain adalah defisit neraca berjalan. Kendati defisit itu menunjukkan hal yang positif berupa masih ada energi untuk mendorong pertumbuhan, namun kita harus mewaspadai bagaimana defisit itu dibiayai. Terbatasnya sumber pembiayaan melalui penjualan asset negara, mengharuskan defisit dibiayai oleh utang yang bila penyalurannya tidak produktif bakal memperburuk kerentanan ekonomi di kemudian hari. Investor asing tidak menyukai defisit neraca berjalan yang terus membengkak karena akan meningkatkan currency risk di samping supply risk utang negara.

Peraga berikut ini menghubungkan antara kondisi eksternal terkait tiga variabel diatas dan kinerja kurs rupiah, indeks saham dan indeks SUN Indonesia.

Terlihat saat kombinasi ketiganya cenderung negatif selama tahun 2015, rupiah terkena imbas akibat penguatan dolar dan sentimen yang negatif melandasi kejatuhan rupiah 11,5 persen dan IHSG (Jakarta Composite Index, JCI) terpangkas 12,1 persen. Sementara indeks SUN (Bloomberg: Abtrindo) hanya 3,1 persen yang masih diuntungkan oleh tingkat kupon yang mengimbangi kejatuhan harga.

Sebaliknya ketiga kombinasi ketiganya cenderung positif selama tahun 2017, arus masuk dana asing menjaga rupiah stabil kendati defisit neraca berjalan relatif tinggi sejalan dengan kebutuhan impor untuk proyek infrastruktur. Terlihat kinerja indeks saham dan SUN cemerlang.

Namun memasuki 2018, the Fed di bawah kepemimpinan Jerome Hayden "Jay" Powell melanjutkan pengetatan likuiditas ketika ekonomi AS memanas merespons insentif stimulus pemangkasan pajak Presiden Trump.

Powell juga mengindikasikan pengetatan berlanjut hingga 2019. Pada triwulan akhir 2018, bursa AS sebetulnya memasuki era bear market ketika indeks terpangkas 20 persen disertai peningkatan indikator credit risk. Sementara investor obligasi bersiaga melalui selisih imbal hasil negatif antara tenor panjang dan pendek.


Sumber : Materi Budi Hikmat : The Black Swan Moment Economic Outlook & Investment Strategy 2020

The Fed terlihat mengalah, tidak hanya dengan mempertahan bunga dan kemudian menurunkannya jelang paruh kedua 2019, tetapi juga memulai operasi quantative easing (QE) untuk meredakan kecemasan di pasar repo. Sangat boleh jadi aksi Fed balik badan inilah yang melandasi berlanjut kembali asset reflation pada tahun 2019 seperti yang terlihat pada tabel asset class and regional rotation tersebut.

Aksi QE the Fed ini akan menambah pasokan dolar yang diharapkan meredakan tren penguatannya. Bahkan banyak yang menilai dolar memasuki siklus pelemahan yang melatari rally asset emas.

Terkait faktor internal defisit neraca berjalan, terlihat negara berkembang mengalami perbaikan seperti terlihat pada peraga berkut ini. Umumnya defisit neraca berjalan cenderung menurun, seperti yang dialami Turki. Sejumlah negara masih menikmati surplus seperti yang dialami Thailand yang melandasi penguatan mata uangnya. Penguatan mata uang ini menjadi sumber atribusi rally di pasar obligasi dan saham.

Silakan cermati kembali tabel asset class and regional rotation sebelumnya. Jika dijumlahkan currency appreciation dan nominal bond yield antara Thailand dan Indonesia, misalnya, terlihat total return keduanya relatif berimbang.

Walau memang harus diakui Thailand lebih unggul sebab menikmati ongkos berutang yang lebih rendah ketimbang Amerika Serikat dan tentunya Indonesia.


Sumber : Materi Budi Hikmat : The Black Swan Moment Economic Outlook & Investment Strategy 2020

Kombinasi lingkungan ekternal yang lebih bersahabat dan penurunan defisit neraca berjalan memungkinkan sejumlah bank sentral di negara berkembang melakukan pemangkasan bunga lebih pesat ketimbang the Fed.

Pada peraga tersebut, kami tampilkan juga respons bank sentral selama tahun 2019, termasuk melalui penurunan giro wajib minimum. Adapun untuk proyeksi kebijakan selama 2020 kita dapat mengandalkan trend penurunan inflasi dan masih belum bergairahnya kinerja intermediasi perbankan.

The big picture berdasarkan kajian faktor eksternal dan internal tersebut mengindikasikan investor tidak perlu terlalu bearish terjadap prospek investasi 2020. Memang investor asing akan memilih terlebih dahulu less risky asset seperti SBN. Penurunan yield SBN ini merupakan prasyarat untuk peluang investasi di saham yang juga perlu ditopang oleh penguatan daya beli.

Harus diakui Indonesia masih extractive commodity producer. Peningkatan harga CPO dan karet telah diikuti oleh peningkatan laju pertumbuhan M1 (uang kartal dan giral) sebagai indikator daya beli efektif secara moneter. Memang investor sedang menanti sustainabilitas ketika Indonesia beralih menjadi eksportir manufaktur dan industri kreatif. Harapan ini sedikit banyak tertumpu pada penuntasan omnibus law yang masih melalui fase dialektika antar berbagai pihak.

Lalu terkait real Black Swan Moment 2020, saya menyarankan kita mencermati dinamika yang terjadi pada pasar repo terkait dengan upaya sejumlah bank besar membalikkan posisi (unwinding) di pasar derivatif. Walaupun publik tidak ada yang benar-benar tahu kerumitan seperti apa yang terjadi dalam derivative market, kita harus waspada sekira ini menjadi pemicu krisis keuangan yang lebih pelik ketimbang 2008.

Hal ini cukup beralasan mengingat sektor perbankan di Eropa mengalami underperformed yang cukup lama sejak ECB memberlakukan QE dan suku bunga negatif. Suku bunga deposito yang negatif menggerus kemakmuran masyarakat, dana pensiun dan perusahaan asuransi.

Big picture yang saya yakini untuk diantisipasi saat ini adalah risiko “crisis in the West that affecting the rest”, jadi berbeda dibanding dengan krisis moneter 20 tahun lalu. Risiko krisis berat biasa terkait tiga hal: penuaan penduduk, pengurangan beban utang dan tingkat pajak yang tinggi.

Lalu bagaimana menyikapinya?

Saya suka saran yang dikemukakan kolega “Dede” Chatib Basri yang pernah menjadi menteri keuangan. Ingat saya film Home Alone. If crisis happens in our home ground and we are alone, then you must also exit quickly.

Ingat ini pengalaman krisis moneter 1998. But if crisis does not happen in our home ground and we are not alone, just stay home. Semoga masih ingat krisis keuangan global 2008 ketuka bursa kita terpangkas 35 persen. Capitalize volatility for your prosperity. Berani?

*Penulis adalah Budi Hikmat, Director for Investment Strategy PT Bahana TCW Investment Management