Bareksa.com - Bank Indonesia (BI) menilai bahwa ketertarikan investor kepada Surat Utang Negara (SUN) masih ada meskipun nilai tukar rupiah bergerak melemah terhadap dolar Amerika Serikat. Imbal hasil surat utang Indonesia dinilai masih menarik dengan dukungan kondisi makro ekonomi yang terbilang stabil.
Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo mengatakan, selisih imbal hasil (yield spread) antara SUN tenor 10 tahun dan surat utang Amerika Serikat (US Treasury) saat ini masih menarik bagi investor.
Saat ini, US Treasury Yield tenor 10 tahun adalah 3,05 persen sedangkan yield obligasi negara Indonesia dengan tenor yang sama mencapai 7,49 persen. Sehingga, jika dikurangi akan menghasilkan diferensial yield 4,44 persen yang masih cukup atraktif.
“Hanya sekarang memang tinggal jaga depresiasi nilai tukar,” ujar Dody di kantor Kementerian Keuangan (Kemkeu), Senin (21/5) malam.
Ia melanjutkan, kondisi saat ini seharusnya positif bagi investor asing. Sebab, Indonesia tidak memiliki risiko domestik maupun risiko di fundamental ekonomi. “Spread-nya sekarang cukup lebar. Depresiasi per harinya sekitar di bawah 0,2 persen-0,3 persen, masih menutup return mereka. Pertumbuhan ekonomi kita juga masih terjaga,” jelasnya.
Dengan demikian, menurut Dody, kondisi saat ini tidak mengganggu penerbitan surat berharga negara (SBN) sebab, yang terjadi kini adalah sepenuhnya disebabkan oleh faktor eksternal. Faktor dari luar yang pertama adalah data dari AS yang menunjukkan bahwa ekonomi di sana tumbuh cukup tinggi. Kedua, ada juga pelemahan di euro sehingga memperkuat dolar AS.
Asal tahu saja, sepekan terakhir, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS malah melemah. Kemarin, Senin (21 Mei 2018) dolar AS sempat menembus Rp 14.200. Senin pekan lalu (14 Mei 2018), rupiah masih berada di Rp13.965 per dolar AS. Namun, keesokan harinya bergerak menembus Rp14.000 per dollar AS hingga kemarin menembus Rp14.200.
Dody mengatakan, tidak ada faktor domestik apapun yang membuat rupiah melemah. Sentimen di dalam negeri sendiri, menurut Dody, cenderung netral. “Berita positifnya juga tidak ada. Jadi netral. Di semua emerging market di regional juga tunjukkan arah netral di domestiknya,” kata dia.
Sebagai informasi, menurut data Kementerian Keuangan, target kebutuhan penerbitan SBN sepanjang tahun ini sebesar Rp856,4 triliun. (hm)