Bareksa.com - Kesadaran akan investasi semakin tinggi yang tercermin dari besarnya minat para ibu rumah tangga terhadap obligasi syariah (sukuk) ritel seri 007 yang mulai ditawarkan Pemerintah pada 23 Februari 2015 - 6 Maret 2015. Tidak hanya investor ritel, bahkan investor institusi juga tertarik membeli sukuk ritel di pasar secondary mengingat tingginya kupon (bunga) yang ditawarkan.
Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Resiko (DJPPR) mengumumkan kontribusi peminat dari kalangan ibu rumah tangga mencapai 15,6 persen dari total penjatahan Pemerintah. Sementara dari segi jumlah investor, kontribusinya mencapai 25,68 persen.
Hanny Softly salah satu broker obligasi di PT Succorinvest Central Gani, kepada Bareksa, 10 Maret 2015 mengatakan animo investor ritel terhadap obligasi sangat tinggi, bahkan peminat yang datang kepada Hanny tidak hanya berasal dari Jakarta namun juga banyak dari luar daerah. "Kupon yang ditawarkan menarik yakni 8,25 persen, lebih tinggi dari tingkat bunga deposito saat ini yang hanya berkisar 5 persen".
Tidak mengherankan jika jumlah permintaan SR007 melebihi kuota awal yang ditargetkan Pemerintah Rp20 triliun. Akhirnya Pemerintah pun menaikkan kuota penawaran menjadi Rp22 triliun. Tetapi dari permintaan yang masuk pemerintah telah memberikan hasil penjatahan senilai Rp21,96 triliun.
Investor institusi pun sudah banyak yang menawarkan minat menurut Gopal Nur Falah, manajer investasi dari sebuah perusahaan Re-Asuransi di Indonesia kepada Bareksa.com, 10 Maret 2015.
Pada saat awal penerbitan --pasar perdana-- dari Pemerintah, investor institusi tidak bisa melakukan pembelian atas sukuk ini karena tujuannya untuk ritel maka hanya boleh investor individu yang diperbolehkan melakukan pembelian. Sehingga investor institusi hanya bisa melakukan pembelian di pasar sekunder yaitu perdagangan antar investor dengan investor yang dilakukan di bursa maupun di luar bursa.
Jangka waktu SR007 hanya 3 tahun dan memiliki kupon 8,25 persen, sementara obligasi pemerintah yang memiliki jangka waktu yang sama saat ini yieldnya hanya sebesar 6,9 persen berdasarkan data Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA) per 9 Maret 2015.
"Harga SR007 jadi lebih murah, ada selisih yield sekitar 1,35 persen. Makanya walau baru penjatahan dan belum ada di pasar sekunder tapi harganya sudah ditawar di atas par, sampai 102 persen," tambah Gopal.
Dalam perdagangan obligasi, harga obligasi menggunakan persentase. Hutang pokok obligasi yang akan dikembalikan pada saat jatuh tempo disebut harga at par atau 100 persen. Sementara SR007 dijual pada harga at par sehingga jika setelah penerbitan awal harganya melebihi 100 persen artinya harga obligasinya mengalami kenaikan, begitupun sebaliknya. Maka jika investor melakukan penjualan di harga 102 persen, sudah memperoleh keuntungan --capital gain-- senilai 2 persen.
Menurut Hanny, jika memang harganya bagus maka investor akan melakukan penjualan di pasar sekunder. Tetapi banyak juga investor ritel yang memang akan menahan obligasinya hingga jatuh tempo.
Komposisi Peminat SR007
Kalangan wiraswasta mendominasi pembelian SR007 dengan kontribusi 40,51 persen dari total penjatahan dan 30,23 persen dari total investor. Diikuti pegawai swasta dengan kontribusi pembelian 24,17 persen, dengan jumlah investor sebesar 25,68 persen.
Diluar ibu rumah tangga, sisanya berasal dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan TNI Polri yang dari segi pembelian hanya mengkontribusi masing-masing 2,67 persen dan 0,55 persen. Sedangkan dari jumlah investor masing-masing 7,06 persen dan 0,72 persen.
Sementara itu, berdasarkan geografisnya, penyebaran investor individu Sukuk Negara Ritel seri SR-007 menunjukkan hasil yang cukup baik di berbagai wilayah Indonesia. Berdasarkan keterangan resmi Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko, Robert Pakpahan, total investor Sukuk Negara Ritel seri SR-007 mencapai 29.706.
Dari jumlah tersebut, sebagian besar investor berasal dari wilayah Indonesia Barat selain DKI Jakarta, dengan jumlah investor mencapai 57,79 persen dan nominal penjatahan sebesar 50,75 persen. Investor dari DKI Jakarta menduduki posisi kedua, yaitu mencapai 32,95 persen dengan nominal penjatahan sebesar 38,90 persen.
Investor dari wilayah Indonesia Bagian Tengah mencapai 8,73 persen dengan nominal penjatahan 9,95 persen, disusul investor dari wilayah Indonesia Timur yang sebesar 0,53 persen dengan nominal penjatahan 0,4 persen. (np)