Bareksa.com - Setelah melewati semester pertama 2023 yang positif, pasar obligasi Indonesia diperkirakan akan melanjutkan fase pemulihan, dengan risiko volatilitas yang membayangi. Hal ini dapat menjadi gambaran mengenai peluang investasi di reksadana pendapatan tetap yang berbasiskan obligasi.
Menurut Kepala Departemen Riset dan Informasi Pasar PT Penilai Harga Efek Indonesia (PHEI), Roby Rushandie, pasar obligasi Indonesia sepanjang 6 bulan pertama tahun ini positif. Hal ini terlihat dari Indonesia Composite Bond Index (ICBI) yang naik 6,48% sepanjang tahun berjalan.
Kinerja indeks acuan obligasi tersebut didorong oleh kinerja obligasi pemerintah dan obligasi korporasi. menurut data PHEI, indeks obligasi pemerintah (INDOBexXG-TR) mencatat return +6,61% sepanjang tahun berjalan. Sementara itu, indeks obligasi korporasi (INDOBexXC-TR) naik 4,64% dalam periode yang sama.
Lebih lanjut, naiknya harga obligasi ini juga tercermin dari menurunnya yield obligasi. Sebagai informasi, pergerakan harga dan yield obligasi berkorelasi negatif sehingga yield yang turun menunjukkan peningkatan harga di pasar.
Berdasarkan data PHEI, kurva yield PHEI-IGSYC juga menunjukkan pola bullish dengan penurunan rata-rata yield terbesar dialami kelompok tenor menengah (5-7tahun) yakni -59,95bps sepanjang tahun berjalan (YTD). Menyusul di belakangnya adalah kelompok tenor panjang (>7tahun) yang turun -57,25bps YTD, dan tenor pendek (<5tahun) yang turun -21,17bps YTD.
"Pergerakan positif pasar obligasi pada semester I-2023 ditopang oleh tren penurunan level inflasi di global terutama di AS, sehingga turut mendorong ekspektasi jika The Fed maupun Bank Sentral utama lainnya di global mulai akan memperlambat laju kenaikan suku bunga acuannya," ujar Roby dalam kegiatan Bond Market Update yang diselenggarakan oleh PHEI pada Kamis (27/7/2023).
Dia menambahkan, ekspektasi pelonggaran moneter di global juga dipicu oleh melambatnya ekonomi yang saat ini terjadi di global. Terjaganya fundamental ekonomi dalam negeri turut menjadi penopang penguatan pasar, seperti terkendalinya nilai tukar Rupiah.
PHEI menyampaikan bahwa selisih yield SBN Indonesia dibandingkan dengan US Treasury kini semakin menipis dari sebelumnya 765 bps di pada 2020 kini tinggal 277 bps. Hal ini menunjukkan bahwa valuasi pasar obligasi Indonesia semakin menarik, terutama bagi investor asing.
Grafik Yield SBN Indonesia vs. US Treasury (tenor 10 tahun)
Sumber: materi PHEI
Pergerakan pasar obligasi ini juga mendorong kinerja reksadana pendapatan tetap, khususnya yang berbasis obligasi negara (SBN). Sebagai contoh, di super app Bareksa reksadana yang mencatat kinerja (return) tertinggi setahun terakhir (per 27 Juli 2023) adalah TRAM Strategic Plus yang naik 10,66% dan Allianz Fixed Income Fund 2 yang naik 10,64%. Selain itu, Manulife Obligasi Negara Indonesia II Kelas A juga mencatat return 10,54% setahun terakhir.
Baca juga Cuan 11% Setahun, Ini Rahasia Reksadana Pendapatan Tetap Trimegah dan Allianz
Sementara itu, Roby menjelaskan bahwa valuasi pasar obligasi Indonesia berpotensi melanjutkan fase recovery hingga akhir tahun 2023 yang didorong oleh terjaganya kondisi makro domestik, dan adanya ekspektasi puncak siklus kenaikan suku bunga global dan dalam negeri.
Faktor yang dapat mendorong pasar obligasi termasuk inflasi yang mengarah ke rentang sasaran 2%-4%. Selain itu, terkendalinya nilai tukar rupiah juga dapat menjaga kinerja pasar. Kemudian, defisit fiskal yang lebih rendah juga positif serta rating yang terjaga juga mendukung kinerja pasar obligasi.
Di sisi lain, volatilitas diperkirakan masih membayangi pasar yang didorongoleh potensi persistennya inflasi negara-negara maju, arah kebijakan The Fed, dan wait & see geopolitik dan Pemilu 2024.
Berkaitan juga dengan outlook pasar obligasi Indonesia, PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) juga telah menyampaikan pandangan yang konstruktif bagi pasar obligasi ke depan. Katarina Setiawan – Chief Economist & Investment Strategist MAMI menyampaikan kondisi fiskal pemerintah yang sehat dengan kemungkinan penerbitan SBN dikurangi juga menjadi faktor positif bagi pasar obligasi.
"Pasar obligasi dapat menjadi pertimbangan bagi investor dengan profil risiko yang lebih konservatif, karena kondisi makroekonomi yang kondusif dengan inflasi terus melandai dan kebijakan suku bunga sudah di puncak merupakan iklim yang suportif bagi kinerja pasar obligasi," kata Katarina.
Sementara itu, Tim Analis Bareksa menyarankan investor untuk kembali berinvestasi di reksadana pendapatan tetap berbasis obligasi korporasi, menimbang risiko yang timbul akibat perbedaan kebijakan moneter antara Indonesia dan Amerika Serikat (AS).
Baca juga Bareksa Insight: Suku Bunga AS Bakal Naik Lagi, Diversifikasi di Reksadana Bisa Cuan Hingga 7%
Akan tetapi, investor juga perlu mengetahui bahwa seiring dengan pergerakan pasar yang terjaga dan yield cenderung rendah, kinerja reksadana berbasis obligasi kemungkinan tidak akan sebesar sebelumnya. Sebab, pergerakan yield lebih terbatas dan kupon obligasi yang ditawarkan juga semakin rendah, menyesuaikan dengan suku bunga ascuan.
Sebagai informasi, sejumlah reksadana pendapatan tetap berbasis obligasi korporasi yang tersedia dan menjadi produk eksklusif di super app Bareksa antara lain Trimegah Dana Tetap Syariah, STAR Stable Income Fund, Syailendra Pendapatan Tetap Premium dan Trimegah Fixed Income Plan.
Klik untuk Beli Reksadana Sekarang
(hm)
* * *
Ingin berinvestasi aman di emas dan reksadana secara online yang diawasi OJK?
- Daftar jadi nasabah, klik tautan ini
- Beli reksadana, klik tautan ini
- Beli emas, klik tautan ini
- Download aplikasi reksadana Bareksa di App Store
- Download aplikasi reksadana Bareksa di Google Playstore
- Belajar reksadana, klik untuk gabung Komunitas Bareksa di Facebook. GRATIS
DISCLAIMER
Kinerja masa lalu tidak mencerminkan kinerja di masa mendatang. Investasi reksadana mengandung risiko. Investor wajib membaca dan memahami prospektus dan fund fact sheet dalam berinvestasi reksadana.