Bareksa.com - Kondisi pasar keuangan Tanah Air belakangan mengalami tekanan cukup hebat disebabkan oleh beberapa sentimen negatif.
Dari pasar saham, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok 1,45 persen ke level 6.007,12 sepanjang pekan lalu. Sementara dari pasar obligasi, Indonesia Composite Bond Index (ICBI) juga mencatatkan penurunan 0,41 persen dalam periode yang sama.
Katalis yang membuat pelaku pasar cemas datang dari lonjakan kasus baru harian Covid-19 yang mencapai 12.990 pada 18 Juni 2021, dan naiknya potensi tapering off obligasi pemerintah Amerika Serikat (AS).
Terkait penamabahan kasus Covid-10 yang terus mencetak rekor, jika kondisinya tak terkendali maka pemerintah berpeluang melakukan pengetatan aktivitas masyarakat, yang akan berujung pada terhambatnya kembali aktivitas ekonomi dan memicu kontraksi ekonomi berkelanjutan pada kuartal II 2021.
Kemudian dari AS, The Fed saat mengumumkan kebijakan moneter Kamis (17/6/2021) dini hari waktu Indonesia mengejutkan pasar dengan memberikan proyeksi suku bunga akan naik di tahun 2023. Tidak hanya sekali, bahkan bisa ada 2 kali kenaikan suku bunga masing-masing 25 basis poin hingga menjadi 0,75 persen.
Proyeksi tersebut jauh lebih cepat dibandingkan yang diberikan bulan Maret, yakni kenaikan suku bunga di tahun 2024.
Mayoritas Reksadana Tertekan, Antisipasi dengan Diversifikasi
Kondisi pasar saham maupun pasar obligasi Indonesia yang melemah pada pekan lalu, secara umum tentu ikut menekan kinerja mayoritas jenis reksadana.
Berdasarkan data Bareksa, tiga dari empat jenis reksadana menorehkan kinerja negatif di mana reksadana saham (-3,21 persen), kemudian reksadana campuran (-1,82 persen), dan reksadana pendapatan (-0,42 persen).
Sumber: Bareksa
Alhasil hanya indeks reksadana pasar uang yang mampu bertahan di zona positif pada pekan lalu dengan kenaikan tipis 0,05 persen.
Kondisi pasar keuangan yang diselimuti sentimen negatif sebenarnya bisa diantisipasi pelaku pasar dengan mengalihkan atau menyebar (diversifikasi) portofolionya ke jenis reksadana yang lebih rendah risiko seperti reksadana pasar uang.
Satu cara yang paling umum dalam menyiasati risiko adalah dengan cara diversifikasi, alias membagi dana investasi dalam berbagai instrumen berbeda. Plus, kita juga bisa menikmati potensi imbal hasil beragam dalam berbagai kondisi pasar.
Seperti pepatah dalam bahasa Inggris menyebutkan, "Don't put your eggs in one basket," investor sebaiknya menaruh dana investasi tidak dalam satu instrumen yang sama.
Meskipun seorang investor bertipe agresif, dia bisa saja tidak menaruh 100 persen dananya di reksadana saham. Diversifikasi bisa dilakukan oleh investor ini untuk menghadapi fluktuasi, seperti saat pasar saham sedang bergejolak seperti saat ini.
Namun di sisi lain, potensi penurunan IHSG maupun harga obligasi belakangan ini justru dapat dijadikan kesempatan investor profil risiko agresif maupun moderat untuk melakukan top up ataupun pembelian dengan tetap mempertimbangkan risiko masing-masing.
Perlu diketahui, reksadana adalah wadah untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal (investor). Dana yang telah terkumpul tersebut nantinya akan diinvestasikan oleh manajer investasi ke dalam beberapa instrumen investasi seperti saham, obligasi, atau deposito.
Reksadana juga diartikan sebagai salah satu alternatif investasi bagi masyarakat pemodal, khususnya pemodal kecil dan pemodal yang tidak memiliki banyak waktu dan keahlian untuk menghitung risiko atas investasi mereka.
(KA01/Arief Budiman/AM)
***
Ingin berinvestasi aman di reksadana yang diawasi OJK?
- Daftar jadi nasabah, klik tautan ini
- Beli reksadana, klik tautan ini
- Download aplikasi reksadana Bareksa di App Store
- Download aplikasi reksadana Bareksa di Google Playstore
- Belajar reksadana, klik untuk gabung Komunitas Bareksa di Facebook. GRATIS
DISCLAIMER
Investasi reksadana mengandung risiko. Investor wajib membaca dan memahami prospektus dan fund fact sheet dalam berinvestasi reksadana.