Bareksa.com - Volatilitas yang terjadi pada US Treasury Bond dinilai tidak akan mempengaruhi pasar obligasi di Tanah Air. Hal ini juga dinilai tidak akan mempengaruhi instrumen investasi dengan underlying obligasi, seperti reksadana pendapatan tetap.
Plt Presiden Direktur PT Mandiri Sekuritas Silva Halim menjelaskan meski sempat terjadi capital outflow di pasar obligasi akibat pergerakan US Treasury Bond, namun hal ini tidak menyebabkan koreksi yang signifikan di pasar obligasi Indonesia. Pasalnya, investor domestik langsung menyerap arus modal asing yang keluar tersebut.
"Pasar obligasi di Indonesia saat ini cenderung lebih stabil karena didominasi oleh investor lokal, khususnya perbankan yang melakukan investasi hampir Rp400 triliun sepanjang tahun 2020," jelas dia dalam Konferensi Pers Virtual, Kamis (4/3).
Tren ini didorong oleh likuiditas perbankan yang melimpah akibat permintaan kredit yang turun. Sampai dengan bulan Februari 2021, perbankan kembali mencatatkan net buy obligasi pemerintah terbesar mencapai Rp80,5 triliun secara year-to-date, yang disusul oleh investor ritel yang tercatat membeli obligasi pemerintah Rp36,3 triliun.
"Ke depan, kami juga mempercayai bond market akan tetap menguat walaupun tidak sekuat tahun lalu," jelas dia.
Tahun lalu, Silva menjelaskan, pasar obligasi di Indonesia sempat mencatatkan kenaikan performa 14,5 persen. Kinerja tersebut melampaui kinerja saham maupun deposito.
Sebelumnya, Head of Economic Research PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) Fikri C Permana menjelaskan, penurunan BI 7 Day Reverse Repo Rate menjadi 3,5 persen berpengaruh positif terhadap pergerakan surat utang negara (SUN). Dia memperkirakan, yield (imbal hasil) SUN tenor pendek, di bawah 5 tahun akan menurun.
Namun untuk tenor 10 tahun, Fikri belum melihat dampak dari penurunan bunga acuan tersebut. Pasalnya, hal tersebut juga dipengaruhi oleh faktor lain, misalnya dari faktor eksternal. "Termasuk juga dampak terhadap obligasi korporasi, masih harus dilihat lagi karena faktor risikonya berbeda," kata dia.
Associate Director of Fixed Income PT Anugerah Sekuritas Indonesia Ramdhan Ario Maruto mengungkapkan, penurunan BI 7 Days Reverse Repo Rate bisa berpengaruh positif terhadap yield SUN. Apalagi, permintaan terhadap SUN ini juga relatif tinggi terutama dari perbankan karena berlebihnya likuiditas.
Dengan faktor tersebut, dia memperkirakan yield SUN bisa berada di bawah 6 persen tahun ini.
"Apalagi yield SUN lebih rendah dan harganya menguat, maka bisa berpengaruh positif terhadap instrumen pendapatan tetap seperti reksadana," kata dia.
Berbeda dengan Ramdhan, Head of Investment PT Avrist Asset Management Farash Farich menjelaskan, penurunan BI 7 Days Reverse Repo Rate bukan satu-satunya faktor pemicu pergerakan SUN. Faktor lainnya menurut Farash adalah pergerakan US Treasury Bond, perkembangan nilai tukar, inflasi dan likuiditas dalam negeri.
"Seperti sekarang US Treasury Bond naik, yield obligasi kita juga naik, walaupun BI Rate turun," ucap dia.
Perkembangan pasar obligasi ini tentunya berdampak positif terhadap instrumen investasi berpendapatan tetap. Dari 30 produk reksadana pendapatan tetap yang ada di Bareksa, rata-rata bisa memberikan hasil yang positif.
Bahkan, reksadana pendapatan tetap, Syailendra Pendapatan Tetap Premium dari PT Syailendra Capital bisa memberikan imbal hasil hingga 32 persen dalam 3 tahun. Selain Syailendra Pendapatan Tetap Premium, ada juga Sucorinvest Bond Fund, Capital Fixed Income Fund, dan empat reksadana pendapatan tetap lain yang bisa menberikan imbal hasil di atas 20 persen dalam tiga tahun.
(K09/AM)
***
Ingin berinvestasi aman di reksadana yang diawasi OJK?
- Daftar jadi nasabah, klik tautan ini
- Beli reksadana, klik tautan ini
- Pilih reksadana, klik tautan ini
- Belajar reksadana, klik untuk gabung di Komunitas Bareksa. GRATIS
DISCLAIMER
Semua data kinerja investasi yang tertera di dalam artikel ini adalah kinerja masa lalu dan tidak menjamin kinerja di masa mendatang. Investor wajib membaca dan memahami prospektus dan fund fact sheet dalam berinvestasi reksadana.