Bareksa.com - Sepanjang tahun berjalan, pasar saham domestik masih mencetak kinerja negatif tertekan oleh sentimen penyebaran virus corona secara global. Meski kondisi ini membuat sebagian besar investor panik, ternyata ada kesempatan untuk masuk ke reksadana dengan harga yang murah.
Sejak awal tahun hingga 2 Maret 2020, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang jadi acuan pasar modal sudah turun 14,89 persen. Rasio price to earning (PE) IHSG pun menyusut makin murah hingga mendekati levelnya di lima tahun lalu.
Isu penyebaran virus corona masih menjadi sentimen utama yang menekan pasar global, yang menular juga ke IHSG. Kejadian di bursa saham ini mirip dengan saat penyebaran SARS pada 2002-2004 lalu.
Chief Research and Business Development Officer Bareksa, Ni Putu Kurniasari menjelaskan, IHSG bukan kali ini saja terhempas akibat krisis yang terjadi secara global. Setidaknya ada enam krisis sebelumnya dalam jangka waktu 10 tahun ini, yang berakibat pada penurunan IHSG dan keluarnya dana investor asing.
Tabel Krisis dan Penurunan IHSG
Sumber: Bareksa.com
"Berkaca pada pengalaman krisis sebelumnya dalam periode 2010-2020, penurunan IHSG berkisar 12 persen sampai 27 persen, dan arus dana keluar investor asing berkisar US$300 juta hingga US$3,5 miliar," katanya dalam InvesTalk Bareksa dengan Nasabah Platinum Bareksa di Jakarta, 5 Maret 2020.
Seiring dengan penurunan ini, rasio harga terhadap laba (PE) IHSG menjadi 16,5 kali, semakin murah dan mendekati level 14,5 kali pada 2010. Pada saat yang sama, ekonomi Indonesia saat ini masih terbilang baik, yang tercermin dari PDB per kapita sebesar US$4.174,90, atau lebih dari empat kali lipat angka 10 tahun lalu di US$900,18.
"IHSG sudah murah sekali, ibarat toko sedang sale (diskon). Kapan lagi bisa membeli saham-saham bluechip dengan harga murah?" ujarnya.
Putu mengatakan dengan kondisi saat ini, reksadana indeks saham yang dikelola secara pasif patut dilirik. Sebab, menimbang kondisi sebelumnya, investasi di produk berbasis saham dalam 6 bulan setelah krisis bisa mencatat return tinggi.
Bahkan, kinerja IHSG dalam 6 bulan pasca krisis secara statistik jauh lebih baik bila dibandingkan dengan kinerja obligasi pemerintah yang risikonya lebih rendah.
Kinerja IHSG dan Obligasi dalam 6 Bulan Pasca Krisis
Sumber: Bareksa.com
Lantas, produk reksadana apa yang patut dipilih?
Reksadana jenis pasar uang yang stabil untuk pemula dan investor yang ingin menaruh dana jangka pendek. Kemudian, reksadana indeks saham juga bisa jadi pilihan bagi investor agresif dan jangka panjang.
Berikut produk reksadana pilihan Bareksa yang didasarkan pada analisis berdasarkan sejumlah parameter.
Top 5 Reksadana Pasar Uang Bareksa
1. Sucorinvest Money Market Fund
2. Syailendra Sharia Money Market Fund
Plus, alternatif untuk produk pasar uang syariah adalah Mandiri Pasar Uang Syariah Extra. Meski belum berusia setahun, reksadana pasar uang ini bisa dipilih karena memiliki kinerja dan daya tahan yang cukup baik. Tersedia tidak hanya di marketplace Bareksa, tetapi juga di Bareksa Umroh.
Top 3 Reksadana Indeks Saham Bareksa
1. Reksa Dana Indeks Syailendra MSCI Indonesia Value Index Fund
2. Reksa Dana Indeks BNP Paribas Sri Kehati
Ketiga reksadana indeks tersebut masuk dalam Top 3 pilihan Bareksa karena memiliki Sharpe Ratio yang tinggi. Rasio ini merupakan perbandingan antara excess return yang dihasilkan dibandingkan dengan total risiko portofolio reksadana.
Excess return yang dimaksud adalah selisih antara return portofolio dikurangi dengan return bebas risiko. Sementara total risiko dalam rasio ini tercermin dalam nilai Standar Deviasi (SD) yang meliputi risiko sistematis maupun risiko dari portofolio aset reksadana itu sendiri.
Semakin tinggi nilai sharpe ratio menunjukan semakin baik kinerja dari suatu reksadana. Begitu pun sebaliknya, semakin rendah nilai sharpe ratio menunjukkan semakin buruk kinerja dari suatu reksadana.
Kemudian, pilihan produk Top 5 dan Top 3 Reksadana Bareksa juga mengacu pada sejumlah parameter, yakni: correlation, standar deviasi, beating index, status suspend, dan related issue. Berikut penjelasannya.
1. Correlation
Correlation pada reksadana adalah pengukuran pergerakan reksadana terhadap Indeks Reksadana Bareksa. Ini menunjukkan bahwa semakin tinggi correlation-nya maka reksadana tersebut bergerak di arah yang sama dengan indeks.
2. Standar Deviasi
Standar Deviasi pada reksadana merupakan satuan risiko reksadana, yang menghitung penyimpangan rata-rata dari reksadana. Hal ini juga mencerminkan besaran return suatu reksadana jika standard deviasi dianggap sebagai proyeksi return ke depan. Angka standar deviasi pada reksadana yang jauh dari rata-rata diibaratkan memiliki risiko yang besar dan juga sebaliknya.
3. Beating Index
Beating Index merupakan seberapa sering kinerja produk Reksadana melampaui Indeks Reksadana Bareksa. Indeks Reksadana Bareksa merupakan rata-rata return reksadana per tipe Reksadana dalam periode tertentu.
4. Status Suspend
Status Suspend merupakan pernilaian terhadap produk yang pernah dihentikan sementara oleh pihak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) maupun Bareksa. Penilaian ini merupakan cerminan penilaian dari sisi tata kelola (governance).
5. Related Issue
Seperti halnya status suspend, penilaian Related Issue merupakan penilaian seputar isu yang beredar di media maupun forum. Penilaian ini merupakan cerminan penilaian dari sisi tata kelola governance.
Untuk diketahui, reksadana adalah wadah untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal (investor). Dana yang telah terkumpul tersebut nantinya akan diinvestasikan oleh manajer investasi ke dalam beberapa instrumen investasi seperti saham, obligasi, atau deposito.
Baca juga tips investasi saat portofolio minus akibat tekanan pasar di sini.
***
Ingin berinvestasi aman di reksadana yang diawasi OJK?
- Daftar jadi nasabah, klik tautan ini
- Beli reksadana, klik tautan ini
- Pilih reksadana, klik tautan ini
- Belajar reksadana, klik untuk gabung di Komunitas Bareksa Fund Academy. GRATIS
DISCLAIMER
Semua data return dan kinerja investasi yang tertera di dalam artikel ini tidak dapat digunakan sebagai jaminan dasar perhitungan untuk membeli atau menjual suatu efek. Data-data tersebut merupakan catatan kinerja berdasarkan data historis dan bukan merupakan jaminan atas kinerja suatu efek di masa mendatang. Investasi melalui reksadana mengandung risiko. Investor wajib membaca dan memahami prospektus sebelum memutuskan untuk berinvestasi