Bareksa.com – Kepala Makro Ekonomi dan Direktur Strategi Investasi PT Bahana TCW Investment Management, Budi Hikmat, menyampaikan kembali strategi investasi ala Nabi Yusuf agar hidup tajir sebelum tua. Terutama dalam hal pengelolaan alokasi aset investasi yang bertumbuh, seperti properti dan reksadana saham.
Budi menyampaikan rumusannya adalah “100 dikurang umur”. Rumusan ini sudah lama populer di negara maju. Pada mulanya, rumus itu untuk menjaga agar ketika memasuki usia pensiun, investor dapat menhindari penurunan target total nilai aset sekira terjadi penurunan tajam seperti yang terjadi pada 2008.
“Investor dengan demikian disarankan untuk memperbesar alokasi aset yang sifatnya konservatif seperti obligasi negara. Namun karena yield obligasi negara di sana relatif rendah dan sementara harapan usia investor lebih panjang, rumusan itu malah dimodifikasi seperti menjadi “110 dikurang umur”,” kata Budi dalam keterangan tertulisnya dikutip Selasa, 9 April 2019.
Berbeda di Indonesia, ungkap Budi, dimana masyarakat umumnya terbudayakan sebagai penabung, rumusan (100 – umur) terbilang mendesak untuk disosialisasikan.
“Data menunjukkan deposito tidak memberikan efek pertumbuhan (growth) bagi aset, bahkan kurang memberikan perlindungan (protection) terhadap inflasi. Memang bunga deposito pernah sangat tinggi, sekitar 65 persen, yang terjadi ketika perekonomian Indonesia sedang distabilkan setelah krisis moneter 1998,” ungkap Budi.
Selama 10 tahun terakhir, rata-rata total imbal hasil aset saham yang diukur berdasarkan capital gain dan dividen atas Indeks Harga Saham Gabungan mencapai 18,9 persen per tahun. Imbal hasil ini jauh melebihi rata-rata inflasi 4,7 persen per tahun pada periode yang sama. Laju pertumbuhan aset saham itu memungkinkan investor menggandakan pokok investasi hanya dalam periode empat tahun.
Walau Budi memproyeksikan imbal hasil aset saham menurun pada kisaran 10 persen per tahun, namun tetap lebih tinggi ketimbang inflasi yang berkisar 3,5 persen sesuai dengan proyeksi Bank Indonesia.
Rumusan Bagi Investor Milenial
Lalu bagaimana penerapan rumusan “100 – umur” untuk investor Milenial. Budi menyontohkan Adi yang berusia 30 tahun dengan pendapatan per bulan Rp10 juta.
Rumus itu menyarankan sekitar 70 persen total aset Adi dialokasikan dalam bentuk properti melalui fasilitas cicilan KPR dan juga reksadana saham yang diakumulasi secara berkala. Namun dalam pembentukannya, Adi perlu menjaga keseimbangan antara konsumsi dan investasi.
Bila Adi memilih properti sebagai aset jangka panjang yang akan ditinggali, maka dia sebaiknya membatasi cicilan KPR maksimum 30 persen pendapatan atau sekitar Rp3.000.000.
Sementara untuk alokasi investasi reksadana saham secara berkala, Adi dapat membatasi hanya 2,5 persen pendapatan seperti yang disarankan oleh David Bach penulis buku laris Automatic Millionaire.
Dengan penguatan karier memungkinkan pendapatan Adi meningkat yang secara otomatis menurunkan rasio cicilan KPR. Kondisi ini memungkinkan Adi meningkatkan alokasi pada reksadana saham yang relatif lebih likuid dibanding aset properti.
Budi juga menyarankan Adi memiliki aturan “ambil untung untuk realokasi antara aset” berdasarkan kenyataan sering kali harga aset saham dinilai overvalued. Seperti yang pernah terjadi pada tahun 2006 dan 2007 yang diwarnai oleh lonjakan imbal hasil aset saham sekitar 50 persen per tahun.
Adi dapat mengendalikan kerakusan yang mewabah saat itu dengan aksi ambil untung aset saham yang digunakan untuk mengurangi beban cicilan pokok dan bunga KPR.
Bahkan dapat digunakan untuk menambah alokasi aset properti dengan mengambil KPR baru. Pada kondisi seperti ini Adi lebih leluasa untuk menerapkan aturan “100 – umur”.
“Pengalaman saya dengan mencermati fundamental perekonomian Indonesia yang didominasi oleh penduduk muda yang senang belanja, lebih baik mengendalikan kerakusan ketimbang menuruti kecemasan dalam berinvestasi,” tegas Budi.
Budi sendiri kini berusia 53 tahun. Rumusan alokasi itu memungkinkannya mempersiapkan masa pensiun dengan strategi investasi konservatif melalui reksadana pasar uang dan SBN ritel.
Dia menyarankan agar anak muda belajar menyelami manfaat berinvestasi dengan terlebih dahulu mengendalikan tekanan sosial bertingkah konsumtif.
“Kepada anak-anak, saya selalu ingatkan bahwa hidup itu murah. Adalah gengsi yang memuatnya mahal. Mereka harus bisa membedakan antara looking rich dan being rich. Berinvestasi ala Nabi Yusuf pada hakikatnya dilakukan berkala dan bertahap,” ujar Budi.
(AM)