Bareksa.com - PT Federal International Finance (FIF), berencana menerbitkan obligasi senilai Rp1,5 triliun dari target nilai total Rp15 triliun pada 23 Juni 2019 mendatang.
Berbeda dari korporasi kebanyakan, anak usaha PT Astra International Tbk (ASII) yang bergerak di bidang pembiayaan tersebut akan menyasar investor ritel sebagai pembelinya.
Direktur Keuangan FIF, Hugeng Gozali, menjelaskan dalam 1 tahun terakhir, perseroan sudah menawarkan obligasi ke investor ritel. "Obligasi yang awalnya berdenominasi Rp1 miliar, sekarang sudah Rp1 juta," ujar Hugeng di Jakarta, Senin (13/5).
Menurut Hugeng, masuknya FIF ke pasar investor ritel bukan karena investor institusi sudah jenuh. Namun karena pasar investor ritel tersebut belum banyak disentuh.
Hugeng menyebutkan, sejauh ini cukup banyak peminat investor ritel terhadap obligasi FIF. "Pada penerbitan obligasi sebelumnya, tercatat ada peningkatan yang signifikan, yaitu 85 persen terhadap jumlah investor ritel yang berinvestasi di obligasi FIF saat ini dibandingkan pada penerbitan-penerbitan sebelumnya," jelas dia.
Meski begitu, kata dia, FIF memang masih menghadapi hambatan dalam menggarap investor ritel, terutama dari sisi edukasi. Menurut Hugeng, investor ritel yang terbiasa menabung di deposito akan terbiasa dengan investasi yang likuid. Sehingga akan cenderung tidak terbiasa dengan obligasi yang kurang likuid.
Namun Hugeng optimistis obligasi yang diterbitkan akan diserap pasar. Sebab FIF memiliki pengalaman sejak 17 tahun menerbitkan obligasi. Bahkan sejak 2012, obligasi yang diterbitkan oleh FIF sudah mendapatkan rating AAA.
"Kami sudah menerbitkan obligasi Rp42 triliun sejak 2002 dan Rp33 triliun dari obligasi tersebut sudah lunas pembayarannya, obligasi kami tidak ada yang meleset pembayaran bunga dan pokoknya," ucap dia.
Obligasi yang akan diterbitkan oleh FIF terdiri dari dua seri, yakni Seri A dengan tenor 370 hari dan Seri B dengan tenor 36 bulan. FIF menawarkan tingkat bunga 7,25-8 persen untuk Seri A dan 8-9 persen untuk Seri B. Masa penawaran akan dilakukan pada 13 sampai 27 Mei 2019 dan pencatatan dilakukan pada 26 Juni 2019.
Berdasarkan analisis Bareksa, investor ritel sejauh ini memang telah berkembang signifikan semenjak dibukanya penjualan Saving Bonds Ritel (SBR) secara online. Jumlah investor SBR seri SBR003, yakni ketika SBR dibuka secara online meningkat signifikan menjadi 7.642 dari 6.557 pada penerbitan SBR002.
Grafik Perbandingan Jumlah Investor SBR
Sumber: DJPPR, diolah Bareksa.com
Dengan dibukanya penjualan SBR secara online juga mendorong investor muda yang pada SBR002 baru mencapai 29,5 persen, meningkat menjadi 49,39 persen pada penerbitan SBR003 dan seterusnya ketika SBN ritel dibuka secara online.
Grafik Porsi Investor SBR Berdasarkan Usia
Sumber: DJPPR, diolah Bareksa.com
Hal lain yang mendorong masuknya korporasi ke investor ritel adalah karena adanya kewajiban Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terhadap asuransi dan dana pensiun untuk menempatkan dana investasi di surat berharga negara. Berdasarkan POJK No.1/POJK.5/2016, perusahaan asuransi jiwa dan dana pensiun wajib menempatkan 30 persen dana investasi di SBN, sedangkan asuransi umum wajib menyisihkan 20 persen dari dana investasinya.
Dengan adnaya peraturan tersebut, penempatan investasi asuransi dan dana pensiun meningkat signifikan. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, kepemilikan asuransi di SUN tercatat senilai Rp208,35 triliun pada Maret 2019, nilai ini tumbuh 24,97 persen year on year (yoy) dibandingkan Maret 2018 yang sebesar Rp166,71 triliun.
Begitupun dengan kepemilikan SUN industri dana pensiun tumbuh 8,33 persen yoy dari Rp 208,73 triliun menjadi Rp 226,13 triliun pada kuartal I 2019.
Sejauh ini, FIF menjadi satu-satunya korporasi yang sudah menawarkan surat utang ke investor ritel. Adapun korporasi yang lain, seperti PT Adira Dinamika Multifinance Tbk (Adira Finance) masih mengandalkan investor institusi. Meskipun perseroan harus bersaing dengan pemerintah yang juga menerbitkan surat utang, baik melalui lelang maupun Surat Berharga Negara ritel.
Direktur Keuangan Adira Finance I Dewa Made Susila menjelaskan Adira Finance sudah menerbitkan obligasi sejak 2003. Karena itu, dia optimistis masih ada peluang bagi Adira Finance untuk meraup dana investor melalui penerbitan obligasi.
Hal ini juga yang menyebabkan Adira masih berpegang pada investor institusi seperti bank, dana pensiun, manajer investasi lainnya. Sebab apabila harus mengandalkan investor ritel, biayanya relatif mahal. Perseroan juga harus bekerja sama dengan underwriter yang sudah memiliki jaringan ritel yang kuat.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga memandang korporasi belum banyak yang percaya diri untuk menawarkan obligasi ataupun sukuk kepada investor ritel. Sebab korporasi membutuhkan dana yang cepat, namun dengan risiko yang rendah.
Direktur Pasar Modal Syariah OJK, Fadila Kartikasasi, menjelaskan korporasi bekerja sama dengan underwriter ketika menerbitkan surat utang. Dari sana, underwriter akan menilai apakah dengan mengeluarkan surat utang ini ke investor institusi atau ritel, kebutuhan pendanaannya akan terpenuhi.
Dengan pertimbangan ini, korporasi belum terlalu percaya diri untuk menjualnya kepada investor ritel sehingga masih menyasar investor institusi. Menurut Fadila, korporasi belum siap menanggung biaya administrasi yang besar dan proses yang panjang ketika menawarkan surat utangnya ke investor ritel.
Hal ini juga yang menyebabkan investor institusi masih lebih banyak merebut penawaran sukuk ataupun obligasi korporasi di pasar perdana. "Kalaupun investor ritel mau bersaing di pasar perdana, yang bisa membeli sukuk korporasi mungkin tidak banyak karena denominasinya lumayan besar, minimal Rp500 juta. Jadi, ini semua sangat tergantung underwriter, apakah mau melayani yang kecil-kecil," ucap dia.
Menurut sumber Bareksa, sudah ada underwriter yang mewadahi korporasi yang ingin menyasar investor ritel. Infrastruktur dari perusahaan sekuritas tersebut pun sudah mumpuni dengan fasilitas online trading. Namun memang, investor masih harus diedukasi mengenai karakteristik obligasi korporasi yang tidak bisa langsung di-trading seperti saham.
Selain itu, mahalnya biaya penerbitan obligasi juga karena masih menggunakan metode konvensional. Jika menggunakan metode online, maka penerbitan obligasi akan jauh lebih efisien. Hal itu terbukti dengan obligasi pemerintah baik Saving Bonds Ritel maupun Sukuk Tabungan yang sukses menggaet investor ritel dari berbagai penjuru di Indonesia.
(AM)