Bareksa.com - PT Adira Dinamika Multifinance Tbk (Adira Finance) masih mengandalkan investor institusi dalam penerbitan obligasi perseroan. Meskipun perseroan harus bersaing dengan pemerintah yang juga menerbitkan surat utang, baik melalui lelang maupun surat berharga ritel.
Direktur Keuangan Adira Finance I Dewa Made Susila menjelaskan Adira Finance sudah menerbitkan obligasi sejak 2003. Karena itu, dia optimistis masih ada peluang bagi Adira Finance untuk meraup dana investor melalui penerbitan obligasi.
"Penerbitan surat berharga ritel dari pemerintah kan sudah lama, namun kami optimistis selalu ada peluang untuk Adira, karena kami juga sudah menerbitkan obligasi sejak 2003, reputasi kami bagus dengan rating yang mumpuni," kata dia di Jakarta akhir pekan lalu.
Hal ini juga yang menyebabkan Adira Insurance masih berpegang pada investor institusi seperti bank, dana pensiun, manajer investasi lainnya. Sebab apabila harus mengandalkan investor ritel, biayanya relatif mahal. Perseroan juga harus bekerja sama dengan underwriter yang sudah memiliki jaringan ritel yang kuat.
Karena itu, dia mengungkapkan, bagi investor ritel yang ingin membeli obligasi Adira Finance sebaiknya membeli melalui reksadana. "Kalau di reksadana juga risikonya juga tidak terlalu terkonsentrasi, karena ada obligasi yang lain," kata dia.
Tahun ini, Made mengungkapkan, pihaknya masih memiliki plafon obligasi senilai Rp1,2 triliun dari nilai total Rp9 triliun. "Kalau market, why not kami terbitkan tahun ini," terang dia.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebelumnya juga memandang korporasi belum cukup percaya diri untuk menawarkan obligasi ataupun sukuk kepada investor ritel. Sebab korporasi membutuhkan dana yang cepat, namun dengan risiko yang rendah.
Direktur Pasar Modal Syariah OJK Fadila Kartikasasi menjelaskan korporasi bekerja sama dengan underwriter ketika menerbitkan surat utang. Dari sana, underwriter akan menilai apakah dengan mengeluarkan surat utang ini ke investor institusi atau ritel, kebutuhan pendanaannya akan terpenuhi.
"Kalau mereka tidak yakin terserap pasar, mereka tidak akan menjualnya," ujar dia.
Dengan pertimbangan ini, korporasi belum terlalu percaya diri untuk menjualnya kepada investor ritel sehingga masih menyasar investor institusi. Menurut Fadila, korporasi belum siap menanggung biaya administrasi yang besar dan proses yang panjang ketika menawarkan surat utangnya ke investor ritel.
Hal ini juga yang menyebabkan investor institusi masih lebih banyak merebut penawaran sukuk ataupun obligasi korporasi di pasar perdana.
"Kalaupun investor ritel mau bersaing di pasar perdana, yang bisa membeli sukuk korporasi mungkin tidak banyak karena denominasinya lumayan besar, minimal Rp500 juta. Jadi, ini semua sangat tergantung underwriter, apakah mau melayani yang kecil-kecil," ucap dia.
Untuk menyiasati hal ini, menurut Fadila, investor ritel bisa mencoba peruntungannya melalui reksadana berbasis sukuk atau reksadana yang ada portofolio obligasinya. Di Bareksa, ada 11 reksadana campuran dan pendapatan tetap yang memiliki portofolio sukuk yang bisa menjadi pilihan investor.