Bareksa.com – Rencana penawaran obligasi korporasi secara ritel masih penuh tantangan. Tak hanya masalah supply dan demand, obligasi korporasi ritel membutuhkan fasilitas yang memadai.
Itulah pendapat dari industri perusahaan efek yang kerap kali menjadi penjamin emisi obligasi korporasi. Salah satunya adalah PT Mandiri Sekuritas.
Direktur Investment Banking Mandiri Sekuritas, Andy Bratamihardja, menyampaikan kunci ritel itu adalah likuiditas.
“Karena kalau tidak, bagaimana mau minta ritel untuk hold to maturity?” ungkap Andy kepada Bareksa, Kamis, 9 Mei 2019.
Likuiditas itulah, kata Andy, yang membedakan antara Surat Utang Negara (SUN) dengan obligasi korporasi. Pasar SUN likuid, sementara obligasi korporasi sangat tidak likuid.
Lalu, bagaimana dengan minat masyarakat dan korporasi itu sendiri? Andy bilang, emitennya mau menerbitkan, tapi animo investor ritel untuk obligasi korporasi masih rendah.
Andy bahkan menyebut beberapa kali sudah dicoba. “Tapi yang masuk tidak sampai Rp100 miliar. Kan kasihan emitennya, capek tapi tidak dapat size. Lalu, ritel mana yang mau invest hold korporasi sampai 5 tahun?” imbuh dia.
Andy melihat ada dua masalah dalam penerbitan obligasi korporasi ritel. Pertama, size tidak dapat. Kedua, tenor tidak bisa panjang. “Dua-duanya terutama karena tidak ada likuiditas,” kata Andy.
Agar akhirnya obligasi korporasi ritel sukses, Andy melihat harus ada secondary market, harus aktif diperdagangkan, serta supply dan demand juga harus ada.
“Kalau secondary, harus ada market makernya. Terus tidak bisa menerbitkan 5 tahun sekali atau 6 tahun sekali,” ucapnya.
Jika mau berhasil, lanjut Andy, maka penerbitan obligasi korporasi ritel kalau bisa setiap tahun atau minimal 2 tahun sekali. “Jadi, nanti ada yield curvenya,” tambah dia.
Selain itu, obligasi korporasi ritel juga harus mulai dari yang ratingnya paling bagus atau mendekati pemerintah agar ritel tidak pusing memikirkan risiko kreditnya.
Dihubungi terpisah, Director and Head of Investment Banking PT Indo Premier Sekuritas Rayendra L. Tobing menyampaikan, pasar dan prospek obligasi korporasi ritel ada.
“Tergantung korporasinya, ada yang minat ada yang tidak. Karena kalau ritel tidak semua mampu beli dengan nilai besar,” tutur Rayendra.
Rayendra mengungkapkan, obligasi di pasar sekunder diperdagangkan dengan nilai minimal Rp1 miliar. Jadi, katanya, kalau investor ritel berinvestasi di bawah nilai tersebut, kemungkinan besar dia tidak bisa jual apalagi saat butuh uang. “Jadi, pegang sampai jatuh tempo,” tambah dia.
Rayendra menyontohkan kalau korporasi ingin cari dana Rp1 triliun lalu ada yang beli Rp1 juta, maka sisanya Rp999 juta siapa yang beli? Kata Rayendra, ada korporasi yang tidak masalah, tapi ada yang tidak mau angkanya tidak bulat.
Untuk itu, Rayendra menilai keberhasilan obligasi korporasi ritel lebih ke pasar. “Ada pembeli dan penjual. Kalau korporasi mau angka yang ganjil tidak masalah. Atau pemain ritel cukup banyak jadi angka ganjil tidak terjadi,” pungkasnya.
Sebagai informasi, saat ini memang belum ada korporasi yang berhasil menerbitkan obligasi untuk ritel. Hanya saja, pada September 2018 lalu, PT Federal International Finance merilis Obligasi Berkelanjutan III Federal International Finance, obligasi dengan bunga tetap ini memiliki nilai emisi senilai Rp1,3 triliun. Investor ritel dapat memiliki obligasi tersebut sekurang-kurangnya senilai Rp20 juta.
(AM)